Oleh : Astia Putriana, SE, MSA
Pegiat Pena Banua, Aktivis Dakwah, Akademisi
Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) masal karyawan meledak kembali beberapa waktu belakangan. Mengejutkannya PHK ini marak pada perusahaan startup atau rintisan. Diketahui di Indonesia, perusahaan Zenius, LinkAja dan JD.ID telah mengumumkan PHK atas ratusan pegawainya. Hal ini tidak hanya terjadi di dalam negeri. Perusahaan di luar negeri seperti Cameo, Netflix dan Robinhood juga melakukan hal serupa. Cameo memangkas 87 pegawai, Netflix memangkas 150 pegawai, bahkan Robinhood memangkas 300 karyawan.
Para ekonom dunia mengistilahkan fenomena PHK masal pada banyak perusahaan rintisan dalam waktu yang relatif berdekatan sebagai bubble burst. Fenomena ini terjadi ketika terjadi eskalasi cepat nilai pasar, terutama pada harga aset. Inflasi yang cepat ini diikuti oleh penurunan nilai yang cepat, atau konstraksi, yang terkadang disebut sebagai kecelakaan atau ledakan gelembung. (Investopedia, 2022).
Startup adalah bisnis berbasis produk aplikasi digital dan beroperasi melalui website. Dalam rangka menunjang keberlangsungan bisnis, dana besar diperlukan untuk menarik konsumen menggunakan produk, hingga kita mengenal istilah “bakar uang” dengan memberikan banyak diskon, gratis ongkir dan semacamnya agar konsumen terbius menggunakan layanan dalam jangka panjang. Dana ini diperoleh dengan menawarkan saham pada publik dengan harga yang “berani”. Perusahaan yang memiliki citra baik dan memenangkan pasar tentu memiliki daya tarik bagi investor. Harapannya perusahaan dan investor sama-sama untung lewat saham tersebut. Namun, seketika terdapat guncangan politik-ekonomi, gelembung ini cepat sekali meledak.
Secara umum, para ekonom berpendapat bahwa gelembung ini memang terkait erat dengan perilaku investor. Hal ini dikarenakan perusahaan startup sangat bergantung pada pendanaan investor. Setiap kali ada perubahan kondisi ekonomi global dan lokal yang berpotensi memberi dampak pada nilai saham, maka gejolak perilaku investor akan mempengaruhi perusahaan secara langsung, hingga tak sedikit yang memutuskan PHK terhadap karyawan demi memangkas biaya.
Kita bisa amati, sedikit saja gejolak yang datang semisal dari masalah pandemi covid-19, pelonjakan inflasi, peningkatan suku bunga, hingga kondisi keamanan dunia yang terganggu, maka menyebabkan investor mudah beranjak dari pendanaan kepada suatu perusahaan. Hingga meledaklah gelembung dengan tiba-tiba. Sebenarnya ini bukan hal yang baru, di tahun 2008 pun AS mengalami hal serupa ketika bisnis properti kolaps.
Memang, beginilah corak ekonomi kapitalisme yang bergantung pada struktur semu yakni sektor non ril yang bahkan berbasis ribawi. Sangat tepat jika Allah telah memperingkatkan dalam firmanNya, “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah : 275).
Pakar Ekonomi Syariah Ustadz Dwi Condro Triono, PhD menerangkan makna seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila dapat disandingkan dengan kondisi sistem ekonomi kapitalis yang hidup “sempoyongan” karena tunduk pada basis ribawi.
Hal ini sangat berbeda jika ekonomi dibangun dengan basis syariah. Sistem ekonomi Islam mewajibkan sektor ekonomi bertumpu pada sector ril, artinya bertumpu pada produk maupun jasa yang benar-benar nyata diperjualbelikan, bukan berfokus pada pasar saham yang spekulatif. Hanya saja memang menjadi pertanyaan bagaimana kemudian perusahaan startup sustain jika tak cukup sokongan dana untuk operasional, promosi dan inovasi teknologi?
Tentu saja, hal ini membutuhkan peran negara yang memiliki sistem keuangan yang kuat dan mapan dalam memberikan jaminan permodalan bagi industri dalam negeri. Negara yang mampu mengelola kepemilikan umum milik umat semata-mata untuk kepentingan publik, dan secara mutlak melarang penguasaan pribadi oleh swasta. Pengelolaan berbasis syariat inilah yang akan mendatangkan sumber pemasukan Baitul mal yang cukup untuk permodalan bisnis dan industri dalam negeri.
Ditambah lagi adanya investasi asing sangat berpotensi menjadikan adanya hegemoni ekonomi negara oleh negara lain. Jika sektor ril tidak diprioritaskan, maka akan nampak negara hidup dengan membeli oksigen dari negara lain. Negara akan senantiasa bergantung pada negara lain, terlebih pada negara adidaya yang berusaha menjadikan negara lain senantiasa menjadi negara satelit.
Ekonomi dunia yang hidup dari nafas ekonomi Islam tentu akan menjadi penuntas segala kekhawatiran atas bubble burst. Tidak hanya bubble burst, bahkan segala lini mulai dari masalah pemenuhan kebutuhan primer, kesehatan, pendidikan, pengangguran akan teratasi. Negara akan senantiasa fokus pada kenyataan untuk menegakkan ekonomi dengan pemahaman akan asas syariah akan cara pemerolehan harta (kepemilikan), pemanfaatan dan pengelolaan harta (kepemilikan) dan distribusi harta di tengah-tengah masyarakat. Hal ini akan menjaga kestabilan ekonomi dan membawa dampak kesejahteraan bagi umat. Wallahu alam bis shawab.