Oleh : Hana Amalia Putri
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang
Sejak 1 April 2022 Perdana Menteri Malaysia, Dato Sri Ismail Sabri Yaakob, mengeluarkan pernyataan tentang pengusulan penggunaan bahasa melayu sebagai bahasa resmi ASEAN yang sempat mengusik masyarakat Indonesia. Dalam kutipan setkab.go.id (1 April 2022) Perdana Menteri Malaysia dan Presiden Joko Widodo bersetuju dalam pengusulan bahasa melayu sebagai bahasa resmi baru ASEAN yang dalam kutipannya, “Saya berterima kasih kepada bapak Presiden, Karena bersetuju dengan Malaysia untuk memperkasakan bahasa Melayu yang merupakan bahasa serumpun dari beberapa kawasan Asia Tenggara. Jadi kami bersetuju di setiap serangan antarbangsa, saya seperti juga dengan Bapak Presiden akan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa perantara kita. Dan kita bersetuju jika kita bersama-sama memperkasakan bahasa rumpun melayu ini, bahasa rumpun melayu mungkin suatu hari nanti boleh dijadikan sebagai bahasa ASEAN”, ucap Perdana Menteri Malaysia Dato Sri Ismail Sabri Yaakob dalam pers bersama Presiden RI di Istana Merdeka. Beberapa dekade yang telah dijalani oleh ASEAN yang didirikan pada tahun 1967, bahasa Inggris secara de facto menjadi lingua franca atau bahasa perantara ASEAN. Penandatanganan Piagam ASEAN atau yang disebut dengan (ASEAN Charter) 2009, bahasa Inggris secra resmi dinyatakan sebagai ‘bahasa kerja’ ASEAN.
Topik mengenai kebahasaan ini tidak banyak dibahas di dokumen resmi ASEAN, Piagam ASEAN yang berfungsi sebgai perjanjian yang mengikat secara hukum antara sepuluh negara anggota, terdapat satu pasal berisi kalimat pendek yaitu Pasal 34 yang menyatakan bahwa, Bahasa kerja ASEAN adalah bahasa Inggris. Dalam Pasal 34 Piagam ASEAN tersebut jelas status bahasa Inggris merupakan bagian dari ‘bahasa kerja’ (working language), bukan bahasa resmi (official language). Jadi, bahasa Inggris tidak pernah menjadi ‘bahasa resmi pertama’ ASEAN. Sehingga pengusulan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua ASEAN tidak relavan. Disisi lain, kita perlu membedakan antara ‘bahasa resmi’ dan ‘bahasa kerja’. Misalnya dalam Persyarikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengartikan bahwa bahasa resmi sebagai bahasa yang digunakan untuk semua dokumen resmi PBB. Sedangkan bahasa kerja digunakan untuk komunikasi internal di antara pekerja. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa pas 34 tentang bahasa kerja ini sangat sederhana dan belum ada kebijakan yang melindungi keanekaragaman bahasa di Asia Tenggara.
Pasal 2(1) Piagam ASEAN juga mengingatkan anggota-anggota ASEAN untuk menghormati adanya perbedaan bahasa,budaya, dan agama yang dianut oleh rakyat ASEAN. Andy Kirpatrick Seorang professor bidang kebahasaan dari Griffith University, Australia mengatakan bahwa tidak ada kebijakan yang konkrit mengenai bagaimana merealisasikan dalam penghormatan terhadap keanekaragaman bahasa ASEAN, baik itu bahsa nasional ataupun bahasa lokal dan daerah. Adanya perdebatan kosong mengenai jagoan sebagai ‘bahasa kedua’ ASEAN, hal ini justru bisa mengancam keberlangsungan yang lebih dari 1.000 bahasa yang berada di negara ASEAN.
Diketahui bahasa Indonesia mempunyai keunggulan jika hendak dijadikan bahasa perantara ASEAN. Bahasa Indonesia yang digunakan dan dipelajari sebagian orang di dunia bahkan menjadi pembelajaran di universitas ternama luar negeri. Di kawasan Asia Tenggara sendiri memiliki hubungan erat dengan bahasa Indonesia seperti Brunei Darusalam, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan. Senada dengan Menteri Nadiem, yang mana beliau mengatakan bahwa bahasa Indonesia dipelajari di berbagai Universitas terkemuka di seluruh dunia. Namun, di luar perdebatan mengenai bahasa mana yang layak menjadi ‘bahasa resmi kedua’ ASEAN, ada isu kebahasaan lain yang lebih mendesak. Di ASEAN pun, tidak hanya ada bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Melayu saja, tetapi terdapat lebih dari 1.000 bahasa asli atau indigenous languages dan 700 di antaranya ada di Indonesia. jadi penetapan ‘bahasa resmi’ ini bisa saja berdampak pada promosi kebahasaan yang nantinya akan mengorbankan bahasa lain ASEAN.
Contonya, selama ini negara-negara ASEAN mempromosikan bahasa Inggris karena digunakan sebagai bahasa kerja ASEAN, yang akhirnya sekolah-sekolah menerapkan pendidikan bilinguan atau kebahasaan bahasa Inggris dan nasional, dan sering mengorbankan bahasa lokal. Petinggi-petinggi negara ASEAN tidak secara sistematis mempromosikan penggunakan bahasa asli, penggunaan bahasa lokal dapat kehilangan media untuk mengekspresikan identitas, pengetahuan dan budaya mereka.
Pernyataan tersebut menimbulkan polimelik karena bahasa melayu sendiri memiliki status yang berbeda dalam kedua negara. di Malaysia sendiri bahasa melayu merupakan bahasa nasional, sedangkan bahasa Indonesia sendiri bahasa melayu berstatus bahasa daerah. Oleh karena itu, dalam konteks bahasa Indonesia, bahasa Melayu bukanlah bahasa yang tepat untuk dipromosikan sebagai bahasa ASEAN. Bedasarkan sudut pandang Indonesia sendiri, bahasa yang layak untuk menjadi bahasa ASEAN adalah bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Selanjutnya, media massa dan media sosial Indonesia dipenuhi oleh pro dan kontra tentang kelayakan bahasa Indonesia ini sebagai bahasa ASEAN.
Keinginan negara-negara ASEAN untuk mengadopsi bahasa selain bahasa Inggris sebagai bahasa kerja atau bahasa resmi ASEAN pernah dilakukan oleh beberapa negara seperti Malaysia, Vietnam dan Indonesia. Namun ketiga usulan tersebut gagal. Saat itu Vietnam mengusulkan pengadopsian bahasa perancis pada 1995 dan Malaysia Mengusulkan bahasa Melayu pada 1997 sedangkan Indonesia mengusulkan bahasa Indonesia pada tahun 2011. Ketika itu negara Filipina langsung memberikan penolakan dengan alasan penduduknya hanya menguasai bahasa Indonesia hanya 5 persen. Belajar dari kegagalan tersebut, sebelum mengususlkan kembali bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN, ada baiknya kita memikirikan strategi yang dapat memperbesar peluang bahasa Indonesia untuk diterima oleh 9 negara ASEAN ini. Mengingat ASEAN sedang menggencarkan perwujudan identitas kolektifnya, pengusungan ide pewujudan identitas kolektif ASEAN melalui bahasa dapat kita jadikan wahana yang sangat baik. Bagi ASEAN, identitas dan kekuatan koleftif akan memperkuat ASEAN ketika berhadapan dengan dunia, baik itu dengan mengahadapi perkembangan baru sekaligus untuk menangkap peluang baru. Identitas ini diyakini mampu menyatukan ASEAN, yaitu dalam persamaan kondisi tradisi dan budaya, ekonomi dan kesamaan visi.