Oleh : Ummu Wildan
Pemerhati Anak dan Perempuan
RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak digadang akan memberi angin segar bagi para ibu. Ibu-ibu melahirkan akan mendapatkan tambahan tiga bulan sehingga total enam bulan. Ibu mendapatkan 100 persen gaji pada tiga bulan pertama dan 75 persen pada tiga bulan kedua. Ibu-ibu diharapkan dapat memulihkan kesehatan fisik dan mental, sekaligus memberi ASI eksklusif secara penuh. Para suami pun mendapatkan cuti 40 hari untuk mendampingi istri mereka menjalani fase baru kehidupan mereka.
Dengan RUU ini diharapkan angka stunting di Indonesia akan menurun. Begitupun angka kematian ibu melahirkan ditargetkan akan menurun. Hal-hal ini sesuai dengan target SDGs yang ditetapkan lewat forum PBB.
Meski dikabarkan bahwa tujuh fraksi sudah memberikan lampu hijau terhadap RUU ini, ada saja yang kontra terhadap RUU ini. Kekhawatiran muncul mengingat kerugian yang mungkin ditanggung para pengusaha yang harus membayar gaji sekian bulan tanpa timbal balik kinerja dari pekerja. Keberatan tak hanya diajukan oleh penguasa lelaki, tetapi juga oleh pengusaha perempuan.
Konsekuensi lanjutan adalah kemungkinan rekrutmen pekerja dengan prasyarat bersedia tidak menikah, ataupun prasyarat lain yang menghindarkan pengusaha dari kerugian yang harus mereka tanggung bila mempekerjakan perempuan calon ibu. Begitupun ketika harus memilih antara pelamar laki-laki dan perempuan dengan kualitas yang sama, kemungkinan pengusaha akan memilih laki-laki ketimbang perempuan.
Bekerja adalah pilihan tidak mudah bagi seorang ibu. Mendidik dan membesarkan anak selama tahun-tahun pertama kehidupan anak sejatinya adalah pilihan yang sesuai fitrah mereka. Rengekan dan tangisan anaknya ketika harus berpisah akan semakin mengoyak nuraninya.
Sayang keinginan bersama anak ini tak bisa dikabulkannya mengingat penghidupan yang semakin sulit. Terbaru untuk membeli minyak goreng curah saja yang diperlukannya untuk menghemat pengeluaran telah dipersulit. Padahal hadirnya seorang anak meniscayakan tambahan pengeluaran, dari tambahan nutrisi agar dia mengASIhi anaknya dengan baik selama 2 tahun hingga popok. Begitulah dalam sistem hidup saat ini perempuan dipaksa untuk turun tangan menyelesaikan masalah keuangan keluarga meski mengabaikan fitrah keibuannya.
Hal ini berbeda dengan Islam. Hukum perempuan bekerja adalah mubah. Kebolehan bekerja takkan memaksanya mengabaikan fitrahnya. Hal ini dimungkinkan mengingat nafkah baginya dan anaknya ditanggung. Dia dapat melaksanakan yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu membesarkan dan mendidik anaknya secara maksimal terutama di tahun-tahun keemasan dalam hidup anaknya. Dengan demikian generasi yang sehat fisik dan mental bukan impian semata.
Adapun nafkahnya menjadi tanggungjawab secara berurutan suami, para wali, hingga negara. Allah SWT berfirman, “Dan kewajiban bagi para ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan berdasarkan kadar kemampuannya”. (QS. Al Baqarah : 233). Jika sang suami meninggal, ataupun tidak mampu bekerja karena sakit maka tanggungjawab ini berpindah kepada wali, dimulai dari ayah, kakek, saudara laki-laki sekandung kemudian saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki, paman, hingga kemenakan laki-laki dari pihak ayah. Adapun bila dia tidak memiliki wali ataupun para wali tidak memiliki kesanggupan maka penafkahannya berpindah kepada negara melalui penafkahan baitul mal.
Penafkahan oleh negara ini sangat memungkinkan mengingat Islam menetapkan sumber pemasukan yang massif. Allah SWT mengharamkan penguasaan sumber daya alam yang jumlahnya melimpah kepada swasta. Tambang emas dan batu bara, juga luasnya hutan dikelola oleh negara yang keuntungannya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Zakat diperintahkan oleh Allah SWT atas penguasa untuk menariknya sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 103. Sebaliknya pajak tidak akan ada kecuali dalam situasi darurat. Dengan demikian dunia usaha pun dimudahkan dengan tidak adanya beragam pajak yang membelit selama ini. Selain itu ada pula pemasukan dari ghanimah, kharaj, jizyah, khumus, dan fa’i.
Demikianlah kesejahteraan ibu dan anak akan bisa dicapai dengan diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh. Ibu akan bisa menjalani kehidupan sesuai fitrahnya.
Beberapa lini kehidupan memang memerlukan kiprah perempuan, misalnya saja perawat dan dokter kandungan. Posisi-posisi seperti ini bisa saja diisi oleh perempuan yang belum menikah, sudah menikah namun belum dikaruniai anak, hingga ibu-ibu yang anaknya sudah siap untuk ditinggal. Rasulullah SAW sendiri menunda hukuman rajam sampai mati bagi seorang janda dari bani Ghamidi hingga anak hasil perzinahannya selesai masa persusuan bahkan hingga bisa makan sendiri serta ada yang sanggup untuk membantu merawat.
Demikian sempurna aturan yang telah ditentukan Allah SWT untuk kesejahteraan ibu dan anak. Maka nikmat Allah yang mana yang berani didustakan?