Pemko Banjarmasin belum memiliki peralatan pengelolaan limbah medis, padahal banyak rumah sakit dan puskemas yang memerlukan untuk memusnahkan limbah berbahaya dan beracun.
BANJARMASIN, KP – Sekretaris Komisi IV DPRD Kota Banjarmasin Mathari mengungkapkan, Banjarmasin belum memiliki peralatan pengelolaan limbah dari bahan berbahaya dan beracun (B3).
Padahal peralatan itu sangat dibutuhkan, agar limbah medis yang dibuang oleh rumah sakit maupun puskesmas di kota ini dapat dimusnahkan dengan pengelolaan atau proses yang benar.
“Karena limbah medis termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan beracun sehingga sangat berdampak bagi kesehatan manusia,” ujar Mathari kepada KP, Rabu (10/8/2022).
Ia mengungkapkan, sebagian besar rumah sakit apalagi Puskesmas di Kota Banjarmasin hingga saat ini umumnya belum memiliki peralatan tersebut secara memadai, seperti incinerator.
Kalaupun ada rumah sakit yang memiliki incinerator atau alat pembakaran limbah B3, namun belum memiliki izin operasional.
“Padahal jumlah rumah sakit di Banjarmasin cukup banyak, termasuk rumah sakit swasta. Belum lagi puskesmas yang mencapai 26 Puskesmas,” ujarnya, yang mengakui untuk membangun incinerator dibutuhkan biaya sangat mahal.
Mathari menyebutkan berdasarkan laporan, hingga kini baru ada tiga buah sakit di Kota Banjarmasin yang memiliki izin pengoperasian incinerator, yaitu RSUD Ulin, RS Ciputra Mitra Hospital dan RSUD Anshari Saleh.
“Sementara rumah sakit lainnya diduga masih melakukan sendiri pembakaran limbah B3 meski tanpa izin. Atau bekerjasama dengan pihak ketiga untuk memusnahkan limbah medis dengan cara mengirimnya keluar daerah,” kata Mathari.
Saat ini, RS Sultan Suriansyah harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pemusnahan sampah medis, karena pemusnahan limbah medis dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak ketiga dengan biaya mencapai Rp1,3 miliar per tahun.
Anggota dewan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengakui, untuk mengurus perizinan incenerator tidaklah mudah, karena banyak berbagai persyaratan yang wajib dipenuhi, termasuk soal persyaratan Amdal.
Persyaratan itu sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Lebih jauh ia mengatakan, guna mengantisipasi ancaman pencemaran lingkungan serta menjaga dan melindungi kesehatan masyarakat dari dampak pembuangan limbah B3, sebenarnya Pemko Banjarmasin mengeluarkan Perda Pedoman Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Regulasi ini atas inisiatif dewan, karena Pemko memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan serta dalam upaya menjaga dan melindungi kesehatan masyarakat.
Ditegaskan, semakin tingginya kerusakan lingkungan akibat berbagai kegiatan usaha di sejumlah kota besar, termasuk Banjarmasin menjadi sebuah ancaman membahayakan yang mendesak untuk diatasi dan diantisipasi.
Lebih jauh ia mengakui, rencana Pemko membangun incinerator atau alat pembakar sampah medis sudah diusulkan pada 2021 lalu melalui rencana kerja atau program kegiatan oleh Dinas Kesehatan.
“Rencananya incinerator akan dibangun di sekitar kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Basirih Lingkar Selatan,” ujarnya.
Mathari menyatakan optimis, jika Pemko Banjarmasin mampu merealisasikan pembangunan incinerator, maka bisa mendatangkan PAD karena dalam operasinya nantinya akan melayani permintaan pembuangan limbah medis dari rumah sakit lainnya yang ada di Banjarmasin. (nid/K-7)