Oleh : Gumaisha Syauqia Azzalfa
Aktivis Dakwah Muslimah
Dilansir pada KedaiPena.Com – Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI memberikan pandanganya terkait ulasan soal kenaikan biaya rata-rata perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Hal ini merespons ulasan kabar nasional baru-baru ini tentang peningkatan gaji orang Indonesia yang tidak mampu mengimbangi biaya pendidikan tinggi untuk anaknya di masa depan.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengakui jika memang biaya kuliah di tanah air saat ini masih terbilang mahal. Dede Yusuf mengungkapkan, banyak orang tua tak melanjutkan studi kuliah sang anak lantaran benturan biaya. “Iya memang biaya kuliah masih mahal, banyak orang tua yang tidak melanjutkan anaknya kuliah karena benturan biaya,” ungkap Dede saat berbincang, Sabtu,(30/7/2022).
Biaya mahal tersebut, kata Dede Yusuf, tidak cukup tertutupi dengan sejumlah program pemerintah baik dari beasiswa Kartu Indonesia Pintar atau KIP. “Walaupun negara sudah menyiapkan beasiswa KIP Kuliah, untuk bantu uang semester. Namun ternyata untuk masuk kuliah ada uang lain seperti uang bangku, uang duduk, uang bangunan dan lain-lain yang besarnya bisa mencapai belasan juta. Apalagi prodi-prodi favorit, teknik dan kedokteran apalagi,” jelas Eks Wagub Jawa Barat ini.
Dede Yusuf mengatakan hal ini sedianya telah menyebabkan biaya pendidikan perguruan tinggi menjadi mahal. Hal ini pula yang membuat para orang tua enggan menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. “Ini menyebabkan pendidikan jadi mahal, akhirnya ortu enggan menyekolahkan anaknya. Rasanya harus ada peraturan khusus tentang biaya- biaya tambahan lainnya dari kampus,” ungkap Politikus Partai Demokrat ini.
Dede Yusuf menegaskan, diperlukannya intervensi negara mengenai pembiayaan kuliah saat ini. Pasalnya, hal ini diperlukan jika memang Sumber Daya Manusia atau SDM menikmati bonus demografi. “Artinya kalau kita ingin SDM kita Bonus Demografi, maka negara harus mampu mendorong angkatan kerja kita pada 2030 sebanyak 20 persen yang lulusan diploma atau sarjana. Baru kita akan mampu menembus industri 4.0 dan Bonus Demografi. Artinya harus ada intervensi negara mengenai pembiayaan yang mahal ini,” jelas Dede Yusuf.
Dede Yusuf menambahkan, untuk mewujudkan hal itu juga diperlukannya perubahan mindset dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atau Dikti. “Mindsetnya harus dirubah dulu di Dikti, bahwa pendidikan/ilmu tidak harus mahal. Bukan gratis, tapi tidak mahal dan tidak memberatkan,” tandas Dede Yusuf.
Dikutip dari KOMPAS.com – Media sosial belakangan ini tengah diramaikan mengenai tingginya biaya masuk universitas melalui seleksi mandiri. Adapun informasi ini banyak beredar di media sosial, termasuk Twitter.
Salah satunya akun Twitter @mudirans yang mengunggah foto berisi persyaratan Jaminan Kemampuan Keuangan (JKK) bagi calon mahasiswa Institut Teknologi bandung (ITB) pada Sabtu (18/7/2020).
Diketahui, JKK tersebut yakni orangtua atau wali mahasiswa harus mencantumkan rekeningnya dengan nominal minimum Rp 100 juta. Selain itu, akun Twitter @bacteriofaggh juga mengunggah twit yang berisikan informasi rincian biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sejumlah warganet menilai jika calon mahasiswa baru mendaftar jalur seleksi mandiri tersebut, biaya yang dikenakan cukup besar.
Konsultan Pendidikan dan Karier Ina Liem menyampaikan, penyebab mahalnya biaya masuk jalur seleksi mandiri di universitas disebut karena beberapa universitas negeri tengah didorong untuk berbadan hukum. “Sejak sebelum pandemi, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memang didorong untuk berbadan hukum supaya bisa menerima dana dari masyarakat, agar bisa lebih berkembang,” ujar Ina saat dihubungi Kompas.com, Selasa (21/7/2020).
Mengenyam pendidikan tinggi adalah cita-cita setiap insan. Sayang, meningkatnya biaya di pendidikan tinggi mengubah segalanya. Bukan hanya itu, pendidikan kini menjadi lahan bisnis para korporasi. Terbukanya jalan kerja sama antara pendidikan tinggi dan swasta membuat dunia pendidikan berorientasi profit.
Di sinilah titik kritis konsep triple helix yang menggabungkan unsur akademik, bisnis dan pemerintah (Academic, Business, and Government). Ini adalah prinsip penyelenggaraan pendidikan dan merupakan resep yang berasal dari Barat. Terlebih lagi, konsep ini bersenyawa dengan konsep World Class University (WCU) yang ramai digaungkan selama satu dekade terakhir. Salah satu standar PT yang layak disebut WCU adalah PT berbadan hukum.
Inilah wujud nyata liberalisasi pendidikan. Pemerintah berlepas dalam mengurusi kebutuhan rakyat terhadap pendidikan. Negara mengalihkan perannya ke pihak swasta dan mendudukkan diri sebagai regulator saja. Berdalih mewujudkan pendidikan bertaraf internasional, pemerintah menyerahkan dunia pendidikan dalam lingkaran bisnis para korporasi. Itulah mengapa gagasan ini seharusnya dikritik dari sisi konsepnya, bukan hanya dari sisi minimalisnya pelayanan dunia pendidikan saat pandemi.
Kapitalisme adalah akar masalah mahalnya biaya pendidikan. Sistem ini mendudukkan negara sebatas pembuat kebijakan, sedangkan korporasi mendapat wewenang menyelenggarakan pelayanan.
Pendidikan adalah kebutuhan dasar rakyat. Selayaknya negara menyelenggarakan pendidikan dengan penuh tanggung jawab. Pemahaman akan tanggung jawab tersebut menuntut negara untuk menyelenggarakan pendidikan berdasarkan syariat. Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan tersebut secara profesional.
Di sisi lain, pendidikan berperan penting dalam mewujudkan visi politik negara terdepan. Melalui pendidikan, negara dapat menstimulus inovasi, memaksimalkan riset, serta memotivasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Negara juga akan menciptakan atmosfer pendidikan yang tidak hanya mampu mengurai masalah di tengah masyarakat, tetapi juga menghasilkan teknologi yang mengukuhkan posisi negara Khilafah dalam pergaulan internasional.
Seluruh pembiayaan pendidikan berasal dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum. Jika sumber pembiayaan dari baitulmal tidak mampu menutupi kebutuhan terhadap biaya pendidikan, negara akan memotivasi kaum muslim untuk memberikan sumbangan. Jika sumbangan kaum muslim belum mencukupi, kewajiban pembiayaan untuk pos pendidikan beralih kepada seluruh kaum muslim.
Khalifah tidak bisa mengalihkan tanggung jawabnya kepada korporasi. Pengalihan tanggung jawab ini adalah pelanggaran syariat, pengkhianatan atas amanah, dan bukti negara melepas tanggung jawabnya mengurus rakyat.
Pendidikan adalah hak rakyat yang wajib diupayakan pemenuhannya oleh negara. Maka, negara seharusnya memberikan subsidi agar seluruh rakyat bisa mengkases pendidikan tersebut dengan murah, bahkan gratis jika memungkinkan.
Itulah yang akan diterapkan pada sistem pendidikan Islam dalam Khilafah. Pendidikan tinggi murah dan berkualitas tidak mustahil bisa diwujudkan. Hal itu karena negara memiliki anggaran mencukupi yang berasal dari tata kelola perekonominan dan sumber-sumber pemasukan negara yang diatur sesuai syariah Islam. Wallahu a’lam bish-shawabi