Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Cepat lah Pulih, Bangkit Bangsaku

×

Cepat lah Pulih, Bangkit Bangsaku

Sebarkan artikel ini

Oleh : Salasiah, S.Pd
Pendidik & Founder RuFidz Ahmad

Berkibarlah bendera sang merah putih, tanda Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat, 77 tahun sudah memproklamirkan kemerdekaan bangsa. Kemerdekaan yang diperoleh setelah rakyat dalam negara ini berjuang melawan penjajahan fisik yang penuh siksaan, keringat darah, dan cucuran air mata.

Baca Koran

Penjajahan fisik yang mengoyak daging darah rakyat sudah pergi menjauh terbirit oleh gelegar teriakan proklamasi. Kesejahteraan terbayang di hadapan rakyat. Tapi ternyata seakan tidak rela, para penjajah itu tidak sepenuhnya pergi dan mengalah.

Para penjajah tidak kembali dengan invasi militer, tetapi seolah datang sebagai teman yang membantu. Mereka datang bersama sebuah ideologi yang mempromosikan kesejahteraan yang semu, ambigu dalam limpahan sumber daya alam.

Sosialis yang dipimpin kekuatan adidaya Rusia kala itu mulai datang ‘bertamu’ dengan misi penjajahan gaya baru, neokolonialisme menyerang untuk merebut kekuasaan dengan jalan gerakan komunis. Pergerakan keji ini berhasil ditumpas juga dengan kekuatan militer bersama geraka politiknya. Sekali lagi kehormatan Indonesia sebagai negara merdeka lepas dari ancaman penindasan.

Merdeka Atau Mati

Sejatinya kalau sudah merdeka, pastinya kondisi yang jauh lebih baik dari masa penjajahan layak kita rasakan. Sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bahwa kesejahteraan, kesempatan kerja, pendidikan untuk semua, pelayanan kesehatan yang memadai, hingga rasa aman sudah saatnya kita nikmati.

Ironisnya, kondisi ekonomi negeri kita masih dilanda krisis. Lihat saja, secara keseluruhan bangsa Indonesia saat ini memiliki utang sekitar Rp 7.000 triliun. Meskipun begitu, Luhut menegaskan utang tersebut merupakan utang produktif (Kompas, 8/8/2022).

Bahwa tidak ada makan siang yang gratis, menjadi prinsip pertemanan dalam sekularis kapitas. Hutang memang harus dimainkan secara kalkulasi sebagai hutang produktif, karena jika tidak, maka kebangkrutan negeri ini akan semakin lebih cepat. Jadilah negara selayaknya perusahaan yang menjalankan bisnis. Kolonialisme hadir dalam bentuk investasi asing yang harus dikalkulasi untung rugi untuk membayar hutang.

Setiap legalitas hutang tentu harus menyertakan jaminan yang nilainya lebih besar dari hutang yang di ambil. Maka ketika sebuah negara mengambil hutang ke pada negara lain, juga harus memberikan jaminan atas hutangnya. Jaminan yang diberikan tentulah sumber daya alam dengan dalih investasi dan kebangkrutannya adalah jalan kolonialisme baru negara yang memberi hutang. Bunga hutang yang sebegitu besar pun akan pati diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Baca Juga :  KEBERHASILAN

Begitulah kapitalisme hadir membawa kolonialisme baru di negara berkembang. Meskipun bangga merdeka dengan warisan sumber daya alam yang melimpah ruah. Hanya saja warisan itu tidak boleh dinikmati langsung oleh ahli waris, namun harus diserahkan kepada asing untuk mereka ambil manfaatnya terlebih dahulu.

Demi melunasi utang, rakyat jadi korban. Tidak berdarah dan penuh kepasrahan luar biasa. Subsidi terhadap BBM dihapus, sehingga harga BBM dan barang kebutuhan pokok pada naik. Subsidi terhadap pendidikan juga dikurangi, sehingga biaya pendidikan mahal. Produk asing bebas masuk, sehingga produk dalam negeri dan home industry tersisihkan. Demi memancing investor asing, pemerintah membebaskan perusahaan swasta dari kewajiban pelayanan sosial terhadap kesejahteraan buruh.

Selain itu, banyak kekayaan alam yang dikeruk habis oleh pihak asing. Ada Freeport yang menguras emas dan tembaga di Papua, Newmont Minahasa Raya yang menguasai tambang emas di Sulawesi Utara, atau Exxon Mobil Oil yang kebagian jatah mengelola Minyak Bumi di Blok Cepu, Jateng. Tidak bedanya dengan masa penjajahan dulu. Padahal kalo dikelola sendiri, kekayaan itu bisa membantu meningkatkan ekonomi negara.

Secara sosial dan budaya, gaya hidup sekular Barat kian bebas menyapa masyarakat Indonesia. Kebebasan dalam berperilaku, berpendapat, kepemilikan, atau beragama menjadi tren yang tak tersentuh hukum negara. Sampai-sampai pemerintah pun tak berkutik untuk mencegah beredarnya majalah Playboy yang menjadi simbol pornografi dunia. Akibatnya, masyarakat jadi egois bin individualis. Lebih mementingkan diri sendiri daripada pusing mikirin fenomena gaul bebas yang makin beringas atau pemakaian narkoba yang makin merajalela.

Secara militer, Indonesia masih di bawah tekanan pemerintah AS. Tawaran kerjasama dan bantuan militer dari AS yang diterima pemerintah malah bikin persenjataan dan masa depan militer kita kian tergantung pada negeri Paman Sam. Secara politik, pembuatan undang-undang tidak lepas dari kepentingan asing. Seperti yang diakui oleh USAID (United States Agency for International Development) yang terlibat dalam penyusunan UU Migas. “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000”.

Baca Juga :  TEGUH PENDIRIAN

Secara fisik, bangsa ini memang sudah merdeka. Tapi dalam pengurusan ekonomi, sosial, politik, dan budaya, ternyata masih ada tangan-tangan asing yang ikut mengurusi. Tanpa mengeluh kita rela dijajah secara lembut sebagai teman oleh ideologi kapitalis. Sehingga suara kita tidak berdaya lagi untuk meneriakkan ‘merdeka atau mati’.

Segeralah Pulih

Bangsa rakyat Indonesia harus membangun kekuatan bersama. Miris ketika penguasa sebagai pemimpin yang dipercaya mengomando kemerdekaan ini hanya mengobarkan semangat memperoleh kesejahteraan dalam arti kekayaan pribadi. Koropsi dan tradisi suap yang sudah menjadi kesepakatan berjamaah harus segera dikiikis.

Kekuatan ruhiyah remaja kembali di tegakkan, karena kemerdekaan bangsa ini sejatinya dikomandoi oleh kekuatan ideologi yang bersumber dari ilahi. Kemanjaan hedonis dan glamour fhationable hanya akan menjerumuskan remaja ke dalam jurang kebebasan. Di usia 77 tahun Indonesia merdeka, saatnya kita kembali membangun majelis-majelis generasi pejuang untuk kembali pulih dari keterputukan.

Kekuatan bangsa kembali digenggam kemerdekaan yang tidak hanya dari penjajahan fisik, tapi juga bebas dari tekanan penjajahan gaya baru; bebas dari jeratan utang luar negeri; bebas dari mental inlander alias terjajah yang selalu “bermanis muka” di hadapan musuh-musuh negara demi menyenangkan mereka; bebas mengelola sumber daya alam yang berlimpah untuk kepentingan dalam negeri; dan terbebas dari hawa nafsu untuk mengatur rakyat dengan aturan buatan manusia yang korup. Kekuatan akan cepat kita raih ketika generasi dan masyarakat indonesia konfrehensif menerapkan sebuah ideologi secara kaffah. Merdeka! Wallahu’alambishawab

Iklan
Iklan