Banjarmasin, KP – Tradisi ngayau yang melegenda dari Suku Dayak di Kalimantan, bakal disajikan melalui penampilan musik, tari hingga teater, pada 17 September mendatang.
Rencananya, pertunjukan itu digelar di Gedung Balairung Sari Taman Budaya Provinsi Kalsel, oleh Sanggar Seni Demokrat (SSD) Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisip) dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin.
Mereka mengangkat legenda tersebut dalam dalam kisah ‘Ritus Head Hunter, The Story of The Djongkang’.
Sutradara dari pementasan tersebut, Alfiandri Ulfa atau yang akrab disapa Aceh menjelaskan bahwa dalam penampilan nantinya, pihaknya tidak hanya akan terfokus pada budaya ngayau.
Atau yang lebih dikenal dengan tradisi penggal kepala yang umumnya dilakukan hampir oleh seluruh Suku Dayak.
Tapi, juga akan lebih menampilkan segi filosofi mengapa mereka menjadikan kepala sebagai tumbal. Lalu, ada pula budaya mangkok merah dan lain sebagainya.
“Termasuk, perjanjian Tumbang Anoi yang menjadi rapat akbar untuk mengakhiri tradisi ngayau, itu,” ungkapnya,di Lecture Theatre Fisip ULM Banjarmasin, Senin (29/8) petang
Aceh juga menjelaskan mengapa pihaknya tertarik untuk mengangkat kisah tersebut. Di samping, ketertarikannya dengan Suku Dayak, ia menilai bahwa ditinjau dari segi seni dan budaya, Suku Dayak sangat menarik untuk diulik.
“Kami pun lantas berpikir, bila dikombinasikan dengan kesenian, kami yakin akan sangat menarik sekali,” yakinnya.
“Lebih dari itu, kami ingin mengenalkan bahwa Kalimantan itu punya suku dan budaya, yang dilihat orang seram justru sebetulnya bukan seperti yang mereka bayangkan,” tekannya.
Adapun bila berbicara dari segi penampilan nantinya, pihaknya mengusung konsep kontemporer alias kekinian.
Kendati demikian, pihaknya berupa semaksimal mungkin agar tidak menghilangkan unsur cerita yang diangkat di dalamnya.
“Properti yang disiapkan sudah ada. Tapi lebih ke permainan simbol. Banyak makna artistik dan memiliki filosofi tersendiri. Ada makna khusus,” ungkapnya.
“Ambil contoh seperti mengapa kepala? Kenapa bukan kaki dan sebagainya? Itu pun akan kami jelaskan melalui pementasan. Bila penasaran, bisa langsung tonton saja pementasannya,” tutupnya, kemudian terkekeh.
Terpisah, Pimpinan Produksi Ritus Head Hunter, The Story of The Djongkang, Marshel menuturkan, yang ditawarkan pihaknya adalah lebih pada pementasan yang apik.
Membawa para penonton, ke pengalaman menyaksikan teater yang sarat akan nilai sejarah, namun tidak terlepas dari penampilan seni pertunjukan di panggung.”Itu yang kami jual ke khalayak alias ke penonton,” tekannya.
Dalam proses penggarapannya sendiri, Masrshel mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Yakni, empat bulan persiapan. Dimulai dari melakukan riset dan sebagainya.
“Jadi semuanya kami perhitungkan. Tari benar-benar tari, musik benar-benar artistik, dan teaternya,” ucapnya.
Lantas, apakah penggarapan Ritus Head Hunter, The Story of The Djongkang itu kedepannya juga bakal dibuat dalam bentuk film?
Disinggung terkait hal itu, Marshel mengatakan bahwa pihaknya saat ini masih fokus pada penampilan pertunjukan langsung.
“Memang harapan kami untuk melangkah ke sana (dunia film) ada. Tapi, kami cuma tak ingin berekspektasi saja,” pungkasnya.
Perlu diketahui, pada 17 September mendatang itu, Ritus Head Hunter, The Story of The Djongkang bakal ditampilkan dalam dua sesi.
Sore hari dimulai pada pukul 17.00 dan malam hari pada pukul 20.00 Wita, di Gedung Balairung Sari Taman Budaya Kalsel.Pembelian tiketnya sendiri sudah dibuka sejak 25 Agustus tadi. Dengan harga Rp40 ribu. (Kin/K-3)