Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Untuk Apa batasan Usia Perkawinan Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan

×

Untuk Apa batasan Usia Perkawinan Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Yulia Sari,S.H
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 47 ayat (1) menyatakan, “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Menurut Undang-Undang Perkawinan, seseorang dinyatakan cakap untuk menikah adalah ketika mencapai umur 18 tahun atau lebih. Seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun maka masih dibawah kekuasaan orang tuanya. Kalau meneliti sebenarnya tidak ada masalah tentang batasan usia dewasa, akan tetapi yang perlu diteliti adalah untuk apa batasan dewasa itu.

Kalimantan Post

Disahkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berisi tentang batas minimal usia perkawinan untuk pria dan wanita adalah 19 tahun, dimana pada Undang-Undang sebelumnya UU No. 1 Tahun 1974 batas minimal menikah untuk perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki 19 tahun. Hal ini juga sebagai upaya Pemerintah menyinkronisasikan undang-undang perkawinan dengan undang-undang perlindungan anak yang menentukan bahwa anak ialah mereka yang berumur dibawah 18 tahun atau yang belum berusia 18 tahun.

Jadi, siapapun yang berusia di bawah 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak-anak, akan tetapi pada Undang-Undang Perkawinan secara tidak langsung memberikan celah untuk para pihak yang ingin melaksanakan perkawinan dibawah umur karena adanya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yaitu dengan adanya dispensasi dari pengadilan, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentangPerlindungan Anak melarang secara tegas untuk terjadinya perkawinan dibawah umur sesuai dalam ketetapan pada pasal 26 ayat (1) butir c bahwa orang tua berkewajiban serta bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan dibawah umur atau pada usia anak-anak.

Baca Juga :  Tingginya Anak Tidak Sekolah, Mari Kembali Pada Pengaturan Islam

Padahal dengan mengingat Pertimbangan disahkannya UU RI No. 16 Tahun 2019 diantaranya adalah untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan karena perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.

Seperti Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun”. Faktanya aturan ini tidak dapat menghambat atau tidak dapat menghalangi anak yang masih belum berusia 19 tahun hendak melakukan perkawinan, karena Pasal 7 ayat (2) tersebut memberi peluang dengan menyatakan bahwa “dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”

Aturan tentang batasan usia perkawinan pada anak tidak sepenuhnya dapat membatasi perkawinan anak karena ada pengecualian di Pasal 7 ayat (2) sehingga masih banyaknya perkawinan anak. Fakta sosiologisnya dapat kita lihat di Provinsi Kalimantan Selatan, permohonan dispensasi untuk melakukan pernikahan anak tercatat dari Data Kementerian Agama Kalimantan Selatan mencatat mulai tahun 2018 sampai dengan tahun 2020 pengajuan dispensasi pernikahan dini atau usia anak di kantor wilayah itu mencapai 1.219 orang. Data tersebut menjadi indikasi banyak anak yang melakukan perkawinan. Dan fakta lain adalah batasan usia perkawinan ini juga menyuburkan pernikahan tidak tercatat sebagaimana yang diharuskan oleh ketentuan Pasal 2 ayat (2) undang-undang perkawinan, karena tidak semua pihak keluarga yang hendak menikahkan anaknya mau repot untuk mengajukan permohonan dispensasi kepada Pengadilan.

Baca Juga :  Pemuda Moderat: Pemuda Berkualitas dan Bangkit?

Dengan melihat kondisi hukum dan masyarakat di atas menjadi sebuah keharusan bagi Pemerintah untuk dapat mengambil pilihan yang arif dan bijaksana untuk kembali melihat ketentuan di undang-undang perkawinan dan undang-undang perlindungan anak agar kepastian hukum dapat tercapai dan merespon kebutuhan masyarakat dalam hal kemudahan untuk mencatatkan perkawinan secara sah menurut agama dan undang-undang serta terpenuhinya perlindungan hukum terhadap anak berdasarkan amanat dari konstitusi UUD 1945.

Iklan
Iklan