Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Space Iklan

Space Iklan
Opini

Refeksi Sistem pada Kenaikan BBM : Membebani Rakyat

×

Refeksi Sistem pada Kenaikan BBM : Membebani Rakyat

Sebarkan artikel ini
Space Iklan

Oleh : Ira
Remaja Komunitas Muslimah Bahalap

Pasca pemerintah resmi mengumumkan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pada 3 September 2022 lalu, rakyat kini meneriakkan protes di berbagai media. Mulai dari demonstrasi mahasiswa, buruh, serta elemen masyarakat lainnya yang kini sudah memadati jalanan ibukota. Penolakan juga terdengar dari media sosial baik komentar dan tagar penolakan yang beberapa kali trending di Twitter. Adapun sebelum keputusan tersebut diresmikan, masyarakat telah diterpa isu kenaikan harga BBM bersubsidi jauh hari, bahkan adanya penundaan keputusan tersebut demi meredam gejolak reaksi masyarakat. Pemerintah beralasan jika kenaikan ini disebabkan pembagian subsidi yang tidak merata serta beban APBN yang semakin membengkak ke angka Rp503 triliun hingga Agustus 2022. Pemerintah menilai kenaikan harga subsidi BBM merupakan solusi tepat untuk memulihkan perekonomian secara cepat.

GBK

Pemerintah Membebani Rakyat

Kenaikan harga BBM bersubsidi tentu menjadi beban yang berat bagi seluruh kalangan masyarakat terutama masyarakat kecil. Kenaikan ini jelas berdampak ke semua sektor kehidupan diantaranya harga kebutuhan pokok masyarakat. Distribusi barang kebutuhan memerlukan transportasi dimana pihak inilah yang menghitung kembali kisaran modal yang mesti dikembalikan imbas kenaikan BBM. Pada akhirnya, kenaikan BBM merambat pula dengan kenaikan harga barang pokok lainnya. Akan banyak masyarakat yang mengeluh jika semuanya serba naik. Harga kebutuhan naik namun UMK buruh tak kunjung naik. Ironis.

Perlu dihimbau kembali bahwa selain kenaikan harga BBM, pemerintah juga beberapa kali mengangsurkan kenaikan tarif tagihan listrik, PDAM, serta fasilitas kesehatan atau lainnya yang dilakukan secara berkala. Dibalik itu, pemerintah sering kali membebankan APBN pada sesuatu diluar prioritas utama dari kepentingan rakyat seperti pemasangan gorden, gaji DPR yang tidak masuk akal, pembangunan IKN dan kereta cepat. Seharusnya pendanaan semacam ini dapat dihentikan dan lebih baik disalurkan pada kebutuhan rakyat sehingga jebloknya beban APBN baru bisa dibilang wajar. Oleh karena itu, hal semacam ini semestinya mendorong masyarakat untuk kritis terhadap kebijakan Pemerintah ketika bukannya memakmurkan rakyat justru membebani rakyat.

Baca Juga :  Mencari Pemimpin yang Berintegritas

Tak Didengar

Keputusan akan kenaikan harga BBM merupakan keputusan yang zhalim dibawah sistem oligarki yang memandang negara bersistem untung rugi. Negara seakan sebagai lahan bisnis yang dikelola demi keuntungan beberapa pihak terkecuali rakyat. Pemerintahan yang menjunjung nilai demokrasi dengan katanya dari, oleh, dan untuk rakyat terbukti hanyalah bualan. Faktanya pada Selasa (6/9/2022), massa dari kelompok buruh melakukan demonstrasi penolakan kenaikan BBM di kawasan gedung DPR RI. Di tengah hiruknya suara rakyat yang meminta keadilan justru saat bersamaan di ruang Paripurna anggota DPR sibuk merayakan dan menyanyikan lagu ulang tahun kepada Puan Maharani, Ketua DPR RI. Sungguh kejadian yang sangat memilukan sebagai pihak yang katanya berpihak pada rakyat malah sebaliknya. Pemerintah seakan menutup mata dan telinga dari kritikan dan keluhan rakyatnya sendiri.

Masyarakat Harus Sadar

Negara yang bersistemkan kapitalis sekuler akan selalu menimbulkan permasalahan yang tak kunjung selesai. Solusi yang diberikan pun tidak solutif dan tertuju demi kepentingan penguasa. Alih-alih menunjukkan sisi keadilan, sistem demokrasi yang selama ini diagungkan menuntut keberpihakan masyarakat kepada kepentingan penguasa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Hak kebebasan dan perlindungan individual hanya sebatas angan-angan sebab solusi yang dicetus juga menjurus pada keterkekangan rakyat dalam bersuara. Semua tergantung pada tingkat kekuasaan yang dimiliki. Lantas bagaimana nasib masyarakat kalangan bawah?

Seperti halnya dalam kasus ini, pemerintah tetap saja bersikeras menaikkan harga subsidi BBM meski rakyat bulat menolak. Pemerintah justru mengalihkan subsidi BBM dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) BBM yang hanya berkisar Rp600.000 kepada warga miskin. Tentu saja solusi ini sangat tidak sebanding dengan kerugian yang akan didapat rakyat. Kemelaratan dan kesenjangan sosial akan semakin membentang luas. Ditambah peluang korupsi sudah di depan mata. Bercerminlah pada kasus korupsi bantuan sosial Covid-19. Dalam keadaan darurat seperti pandemi pun masih ada saja yang bermain curang sehingga tidak menutup kemungkinan jika BLT BBM ini akan menjadi sasaran korup. Belum lagi klasifikasi penerima BLT yang tidak mungkin merata ke seluruh rakyat.

Baca Juga :  NAIK HAJI, HAJI NAIK

Sejatinya semua masalah ini terjadi karena sistem bernegara kita ini telah berlepas dengan apa yang diperintahkan Allah SWT. Sistem yang memisahkan kehidupan sosial politik dengan agama (sekuler) akan berakibat fatal. Manusia ditunjuk sebagai hamba sudah seharusnya tugasnya hanyalah menjalankan apa yang Tuhannya perintahkan. Penerapan aturan Islam haruslah kaffah atau menyeluruh dengan menegakkan syariat secara utuh. Dengan kata lain tidak memilih-memilih syariat atas dasar hawa nafsu. Oleh karena itu, masyarakat harus sadar jika sistem kehidupan tanpa diikat dengan aturan agama menjadikan rakyat akan terus dizhalimi meskipun pemimpinnya silih berganti. Bersikaplah objektif dengan melihat akar masalah yakni tertuju kepada sistem yang melandasi sebuah keputusan.

Iklan
Iklan
Ucapan