Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kepatuhan Pelayanan Publik

×

Kepatuhan Pelayanan Publik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Muhammad Firhansyah
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi

Hasil penilaian kepatuhan pelayanan publik tahun 2021 lalu. di Pemerintah daerah Kalimantan selatan mengalami penurunan nilai yang cukup signifikan.

Kalimantan Post

Dan ini diterjemahkan juga terjadi penurunan kualitas pelayanan publik berdasarkan standar kepatuhan pada undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Faktanya hanya ada tiga pemerintah daerah (Pemda), yakni Kota Banjamasin, Kota Banjarbaru dan Kabupaten Tanah Laut yang masuk dalam zona kepatuhan tinggi atau berpredikat hijau.

Sedangkan sisanya 10 Kab/Kota, termasuk Pemerintah Provinsi Kalsel, masih masuk zona kuning atau kepatuhan sedang.

Temuan Ombudsman atas penurunan terhadap kepatuhan tersebut disebabkan, penempatan petugas pelayanan dan pengelola pengaduan yang tidak kompeten, tidak terpenuhinya sejumlah fasilitas pelayanan publik seperti tidak terpenuhi sistem, mekanisme, prosedur produk layanan, fasilitas disabilitas/ pelayanan khusus, ruang tunggu yang belum memadai, dan masih tidak berbasis pada digitalisasi pelayanan publik.

Selain faktor pemulihan pasca Covid-19 yang melanda dunia dan rendahya komitmen kepala daerah atau kepatuhan terhadap UU Pelayanan Publik.

Padahal selama kurun waktu delapan tahun ini, Ombudsman menggunakan metode yang sama, yakni menilai service delivery atau pemenuhan atas komponen standar, berupa persyaratan, sistem mekanisme, prosedur, jangka waktu pelayanan, biaya/tarif, produk pelayanan, aduan saran/masukan.

Ini juga menjadi sumber keluhan dan laporan ke Ombudsman tiap tahun semakin meningkat, bahkan di tahun 2021 lalu kalimantan selatan termasuk laporan tertinggi nasional dan sebagian besarnya di dominasi layanan publik pemerintah daerah.

Sebagaimana Pasal 15 huruf (a) UU Pelayanan Publik. Bahwa Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan. Namun, uniknya tak semua pemda bisa konsisten untuk mempertahankan hasil kepatuhan tersebut.

Pelayanan publik masih dianggap sebagai sebuah kegiatan biasa tanpa makna, melayani seadanya dan terkadang hanya di “ada-adakan” demi klise citra tanpa harga. Akhirnya, yang terlihat “ada” hanya layanan tanpa “rasa”, layanan “penuh sandiwara” banyak pungli sana-sini, sikap layanan bermasalah, penundaan berlarut, ketidapastian layanan dan perilaku maladministratif lainnya.

Baca Juga :  Islam Melindungi Perempuan dan Anak

Sekali lagi, yang menjadi korban adalah warga negara, yang inginnya hanya mendapatkan pelayanan publik prima sebagaimana ketentuannya. Tidak lebih. Sebab, mereka tahu ketentuan saja kadang di “kangkangi” apalagi ingin sesuai ekspektasi. Maka sekali lagi, siap siap kecewa dan kecewa lagi.

Kondisi ini diharapkan segera ditindaklanjuti, pemerintah daerah sebagaimana kewajibannya, harusnya patuh tanpa mengeluh terhadap UU No 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik. Karena lebih 12 tahun sejak produk hukum ini dikeluarkan, berganti pejabat dan wakil rakyat, keluhan masih tetap sama, pelayanan publik bernuansa maladministratif.

Kemauan dan kemampuan seolah menjadi alasan klasik yang mengiringi perjalanan pelayanan publik di negeri ini, bak menunggu hujan di musim kemarau, pemerintah masih belum maksimal berbenah. Maka dari itu, publik juga harus aktif mengawal, melaporkan saat pelayanan publik diabaikan. Setidaknya itu adalah ikhtiar untuk menjadi bagian membangun peradaban.

Di sisi lain pemerintah daerah jangan kalah berbenah, ingat terhadap janji sebagai wakil rakyat atau kepala daerah terlebih janji sebagai aparatur sipil negara (ASN), bahwa mengabdi dan melayani negeri ini adalah bukti “menghalalkan” rezeki yang diberi serta menjalankan amanat rakyat dan konsitusi di negeri ini.

Iklan
Iklan