Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

HIV/AIDS Remaja Meningkat, Generasi Sekarat

×

HIV/AIDS Remaja Meningkat, Generasi Sekarat

Sebarkan artikel ini
Iklan

Oleh : Gita Pebrina Ramadhana, S.Pd, M.Pd
Dosen STAI Darul Ulum Kandangan, HSS

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan laporan bahwa sebanyak 1.188 anak Indonesia positif HIV pada 2022. Data diperoleh selama periode Januari-Juni 2022. Dari laporan IDAI tersebut, kelompok usia 15-19 tahun yang dikategorikan sebagai remaja menjadi kelompok paling banyak terinfeksi HIV. Sebanyak 741 remaja atau 3,3 persen terinfeksi HIV.

Baca Koran

Data IDAI mengungkapkan remaja usia 15-19 tahun jadi kelompok paling rentan terinfeksi HIV. Mayoritas, penularan HIV pada remaja bisa disebabkan oleh penggunaan narkoba suntik dan seks bebas, terutama dengan sesama jenis. (https://www.republika.co.id/berita/rhmo0v349/data-idai-741-remaja-tercatat-terinfeksi-hiv-sepanjang-2022)

Di Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Kotabaru, kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syindrom (AIDS) mengalami kenaikan. Menurut dr Noventius Tobing, akumulasi kurun waktu sejak 2012-2022 mencapai 115 kasus. Ia mengatakan, di Kotabaru, data kasus HIV sebanyak 75 orang dan AIDS sebanyak 40 orang. Ibu rumah tangga mendominasi sebanyak 23 persen, hal ini menunjukkan telah terjadi penularan di tatanan keluarga. (https://matabanua.co.id/2022/12/12/hiv-aids-di-kotabaru-meningkat/)

Buah Sekulerisme

Mengetahui HIV/AIDS yang semakin meningkat, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Imran Pambudi menegaskan komitmen Kementerian Kesehatan berkomitmen mengakhiri endemi HIV pada tahun 2030. (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20221129/5041895/cegah-hiv-aids-kemenkes-perluas-akses-pencegahan-pada-perempuan-anak-dan-remaja/)

Pencegahan demi pencegahan dilakukan untuk menurunkan kasus HIV/AIDS. Salah satunya dengan mensosialisasikan rumus ABCDE. A (abstinace) adalah tidak berhubungan seks di luar nikah, B (be faithful) adalah saling setia pada pasangan. C (condom), yaitu penggunaan kondom saat berhubungan seksual, D (don’t use drugs) atau tidak memakai narkoba dan E (equipment) yang artinya menggunakan peralatan steril. (https://health.kompas.com/read/2016/12/02/150000823/.abcde.pencegahan.penularan.hiv).

Program yang disosialisasikan ke sekolah yaitu Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) sekaligus membangun hidup sehat melalui kader kesehatan remaja diharapkan dapat berdampak terhadap turunnya angka kasus HIV/AIDS di kalangan remaja.

Ada juga kebijakan yang sedang di ujicobakan yaitu Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP). PrEP adalah metode untuk melindungi diri dari penularan HIV dengan mengonsumsi obat-obatan khusus setiap hari yang dianjurkan bagi orang yang berisiko tinggi terkena HIV, seperti pekerja seks, pria yang melakukan hubungan sesama jenis, orang yang memiliki pasangan pengidap HIV, serta pasangan heteroseksual dengan HIV yang ingin memiliki anak.

Baca Juga :  MENGGALI KEMAMPUAN DIRI

Melihat upaya yang telah dilakukan, nyatanya sangat jauh dari harapan. Kasus HIV/AIDS terus mengalami peningkatan. Pertanyaannya, mengapa kasusnya semakin meningkat? Apakah solusi yang diberikan memang tidak sepenuh hati untuk diberantas?

Memang benar, selama ini kebijakan dan strategi penanganan HIV/AIDS, baik di Indonesia maupun secara global menggunakan pemahaman sekuler liberal. Penanggulangan HIV/AIDS melalui kondomisasi, subsitusi metadon, dan pembagian jarum suntik steril dan Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP) semuanya adalah kebijakan yang tidak realistis dan rasional.

Adanya pembenaran terhadap sebuah penyimpangan perilaku atau kesalahan memunculkan banyaknya kerusakan, sehingga seharusnya upaya yang dilakukan adalah serius dalam penanganan terhadap penyimpangan yang terjadi, sekaligus menutup celah ‘muncul dan terpeliharanya’ penyimpangan perilaku tersebut di tengah-tengah masyarakat, sembari melakukan penanganan yang tepat kepada mereka yang sudah terlanjur terinfeksi agar tidak menularkan kepada yang lain.

Solusi Islam

Sistem sekulerime yang memisahkan agama dari kehidupan membuat sebagian masyarakat menjadi buta dalam berperilaku. Betapa tidak, standar untuk menilai apapun termasuk perbuatan manusia bukanlah halal haram, baik buruk, ataupun terpuji tercela seperti yang diajarkan oleh agama, tetapi akibat “kemanfaatan” (yang lebih bersifat fisik/materi), yang dijadikan ukuran sebuah perbuatan itu baik atau buruk, dilakukan atau ditinggalkan, dibolehkan atau dilarang.

Sebagai Negara yang mayoritas muslim, sudah selayaknya dalam menetapkan upaya penanganan HIV AIDS ini dengan merujuk pada tuntunan Islam, baik kebijakan promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitatif.

Kebijakan promotif adalah dengan melakukan edukasi dan meng-install pemahaman hingga membentuk pola perilaku yang benar sesuai tuntunan Islam, baik disampaikan melalui pendidikan di rumah, sebagai satu kesatuan dengan kurikulum sistem pendidikan formal yang ada, maupun melalui sistem media yang dimiliki Negara.

Baca Juga :  Pengembangan Sosial dan Emosional Siswa Melalui Bimbingan Konseling: Pentingnya Dukungan dalam Pendidikan

Solusi preventif lainnya yang bertujuan memutus mata rantai penularan, lanjutnya, adalah dengan memastikan perilaku menyimpang dan beresiko seperti praktik prostitusi, LGBTQI+, dan lainnya dihentikan (tidak lagi boleh sama sekali dilakukan). Maka, sistem sanksi Islam yang tegas dalam hal ini mengambil peran.

Tidak hanya itu, Negara wajib melarang laki-laki dan perempuan berkhalwat ataupun perilaku mendekati zina lainnya, melarang melakukan zina, mengharamkan seks menyimpang, mengharamkan laki dan perempuan melakukan hal yang merusak masyarakat, seperti pornografi dan pornoaksi serta mengharamkan khamar dan seluruh benda yang memabukkan/menghilangkan akal, seperti narkoba, mewajibkan amar makruf nahi mungkar dan mewajibkan negara memberi sanksi yang tegas bagi para pelaku penyimpangan/tindak criminal.

Kemudian tindakan kuratif, dilakukan dengan memberikan nasihat tentang tobat nasuha, yang seharusnya dilakukan para pelaku kemaksiatan agar mereka berhenti dari perilaku beresikonya, juga memberikan hak mereka untuk membersihkan diri dengan dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan, yaitu rajam bagi para pezina yang sudah menikah dan cambuk 100 kali dan diasingkan satu tahun bagi yang belum menikah, menghukum mati para pelaku gay/homoseksual, termasuk hukuman lain yang menjerakan bagi semua pihak yang terlibat dalam terjadinya penyalahgunaan narkoba.

Bagi mereka yang tertular dan sakit karena hal lain, bukan karena melakukan penyimpangan perilaku, seperti tertular saat tranfusi darah, tertular dari suami dan lainnya, berhak untuk mendapatkan layanan perawatan dan pengobatan terbaik, mendapatkan edukasi dan pendampingan bagaimana tetap bersemangat menjalani hidup dengan HIV secara lebih berkualitas, bebas dari stigmatisasi ODHA, tetap menebar manfaat dalam kehidupan yang dijalani, sembari melakukan strategi teknis sesuai perkembangan sains dan teknologi terkini yang dibutuhkan untuk mencegah penularan kepada orang lain.

Iklan
Iklan