Banjarmasin, KP – Pendidikan kaum perempuan di Kalsel masih menjadi pekerjaan rumah (PR) dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia ke depan, mengingat masih rendah, terutama di daerah pelosok.
“Pendidikan perempuan masih menjadi kendala untuk memperbaiki kualitas generasi ke depan,” kata Wakil Ketua DPRD Kalsel, Hj Mariana kepada wartawan, berkaitan dengan peringatan Hari Ibu pada 22 Desember, Rabu (21/12), di Banjarmasin.
Menurut Hj Mariana, pendidikan kaum perempuan memegang peranan sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan maupun kesehatan generasi berikutnya.
“Karena dari ibu yang pintar lah, maka akan lahirnya anak-anak yang sehat dan pintar pula,” ujar politisi Partai Gerindra.
Namun sayangnya di Kalsel, pendidikan bagi kaum perempuan banyak terkendala berbagai hal, khususnya wawasan dan pengetahuan masyarakat, termasuk kondisi ekonomi.
“Masyarakat tidak menyadari kaum perempuan juga perlu mendapatkan pendidikan, walaupun tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga, karena sekolah pertama anak berada pada ibunya,” tambah Hj Ana, panggilan akrab Mariana.
Apalagi di daerah pelosok Kalsel, kaum perempuan umumnya tidak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan, minimal lulus SMA sederajat, sebagai dampak tidak meratanya pendidikan.
“Dampaknya, perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan ini terpaksa harus bekerja ataupun menikah, walaupun usianya masih dini,” jelas Ketua Partai Gerindra Kalsel.
Hal inilah yang menyebabkan angka pernikahan dini di Kalsel masih cukup tinggi, dan ketidaksiapan menjalani rumah tangga berdampak pada masalah lainnya, mulai dari ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), stunting, perceraian dan lainnya.
“Untuk mengatasi ini, maka pendidikan bagi kaum perempuan harus menjadi perhatian serius,” tegas wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalsel VII, meliputi Kabupaten Tanah Laut dan Kota Banjarbaru.
Lebih lanjut Hj Ana mengungkapkan keprihatinan banyaknya perempuan yang berusia muda, bahkan di bawah umur yang terpaksa bekerja di warung-warung ‘jablai’, yang rentan terjerumus pada perkawinan dini, prostitusi dan kekerasan seksual.
“Mereka masih muda terpaksa harus berjualan, karena tuntutan ekonomi, padahal seharusnya belajar untuk memperoleh masa depan yang lebih baik,” tambah Hj Ana. (lyn/KPO-1)