Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Siapakah yang Menyebabkan Anak Fobia Matematika?

×

Siapakah yang Menyebabkan Anak Fobia Matematika?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Kamaliyah Kadir
Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, Guru SMPN 2 Sampit_Kalteng

Pernah suatu waktu saya bertanya kepada siswa, “Nanti ketika kamu kuliah akan masuk jurusan apa?”. Siswa tersebut menjawab, “Saya ingin mengambil jurusan yang tidak ada matematikanya”. Mungkin orangtua dan guru lain pernah mengalami hal tersebut. Ketika bertanya tentang studi lanjut anak, maka mereka akan menjawab hal yang sama, yaitu tidak ingin ketemu matematika. Matematika sampai hari ini masih menjadi pelajaran nomor 1 yang paling ditakuti siswa.

Baca Koran

Matematika ibarat sesuatu hal yang sangat mengerikan dan selalu ingin dihindari. Sedangkan kita ketahui bahwa matematika pelajaran yang tidak bisa dihindari. Matematika akan selalu ada di setiap jenjang baik SD, SMP, SMA bahkan di bangku kuliah. Kita tidak bisa menghindari matematika karena matematika sangat berkaitan dengan aktivitas sehari-hari manusia. Seperti halnya diungkapkan oleh Matematikawan Belanda- Freudental yang mengatakan “mathematics as a human activity”. Artinya bahwa matematika itu adalah kegiatan manusia karena setiap kegiatan manusia mengandung unsur matematika. Matematika bukan hanya persoalan pertambahan, penjumlahan, perkalian atau pembagian akan tetapi juga mengandung kebajikan intelektual: ketelitian, keberanian dalam mengambil keputusan dan lain sebaginya. Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan matematika dilakukan, siswa pergi ke kantin menghitung harga jajan yang dibeli, menghitung uang kembalian (intelektual/kognitif); ketika berangkat ke sekolah pun sudah menghitung dan memutuskan kapan berangkat agar tidak terlambat sampai ke sekolah (kebajikan intelektual), dan banyak kegiatan yang berhubungan dengan matematika.

Sangat disayangkan, kebanyakan siswa tidak suka dengan matematika. Hal ini dapat dilihat ketika membaca buku matematika, mereka merasa mengantuk, merasa stress atau bahkan merasa takut ketika belajar matematika, takut ketika tidak bisa menjawab pertanyaan guru, takut ketika tidak mengerti apa yang disampaikan guru, takut ketika tidak dapat mengerjakan tugas matematika, apalagi ketakutan itu datang ketika menghadapi ujian matematika. Ketakutan yang terjadi ketika belajar matematika mengakibatkan “kemampuan matematika menurun”.

Ketakutan yang terjadi itu disebut fobia matematika atau kecemasan matematika. Fobia matematika adalah perasaan takut, tegang, dan cemas tentang kemampuan seseorang dalam melakukan matematika. Fobia matematika ini tentunya akan mempengaruhi cara belajar anak dan performance dalam matematika. Kecemasan menghambat kemampuan untuk belajar matematika secara efektif, karena ketika kecemasan itu hadir dalam diri maka kecemasan itu menciptakan reaksi fisik yang mengubah otak kita (penurunan kinerja otak dalam matematika).

Tidak ada kata terlambat untuk mengembangkan keterampilan matematika dengan mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan kecemasan dan mengetahui alternatif penyelesaiannya. Dengan mengetahui dan menyelesaikannya, maka siswa akan cenderung percaya diri dan tidak lagi merasa cemas.

Penyebab Fobia

Secara tidak sadar orang dewasa, orangtua, kakak, saudara, keluarga, bahkan guru sekalipun menjadi salah satu penyebab terjadinya fobia matematika terhadap anak. Mengapa hal itu terjadi? Berikut beberapa hal yang mempengaruhi pola pikir anak terhadap matematika, yakni :

1. Anggapan bahwa orang yang pintar matematika adalah orang yang hebat Banyak orang menganggap bahwa anak yang pintar adalah anak yang bisa matematika. Kenapa? Apakah Anda termasuk orangtua yang melihat pertama kali nilai matematika? Sangat banyak orangtua yang mengecek nilai matematika pada saat pembagian rapor, seakan-akan matematika adalah segala-galanya. Anak yang memperoleh hasil tidak memuaskan merasa minder atau tidak percaya diri dan akhirnya fobia matematika. Padahal kecerdasan seseorang tidak dilihat dari satu mata pelajaran. Harus disadari setiap anak punya kelebihan masing-masing. Anggapan bahwa matematika adalah tolak ukur kepintaran seseorang mengakibatkan banyak orangtua yang memaksa anaknya untuk hebat dalam matematika. Segala cara dan upaya dilakukan agar anaknya sukses dalam pelajaran matematika, mengikutkan les, pelajaran tambahan dan lain sebagainya;

Baca Juga :  MAMA KHAS BANJAR; “MEMILIH MATI”

2. Ucapan orang dewasa “mengapa yang seperti ini saja kamu tidak mengerti?”. Kadangkala orang dewasa apakah itu orangtua, kakak, ataupun guru ketika mengajarkan matematika kepada anak atau siswa dan mereka tidak mengerti, maka akan mengeluarkan kata-kata “mengapa yang seperti ini saja kamu tidak mengerti?”. Sebagai orang dewasa kadang menjadikan apa yang mereka cepat pahami (zaman dulu), itu harus sama dengan yang harus dipahami anak sekarang. Secepat apa mereka memahami materi (zaman dulu), harus sama dengan kecepatan anak memahami materi saat ini. Mengukur bahwa zaman dulu itu sama dengan zaman sekarang;

3. Mindset bahwa matematika itu susah. Salah satu faktor fobia matematika adalah karena cara pandang anak bahwa matematika itu susah. Cara pandang ini, karena kontribusi orang dewasa, yang mengucapkan “matematika itu susah, jadi kamu harus belajar lebih giat”. Ketika hal itu terucapkan maka anak pun akan mengingat bahwa matematika itu susah;

4. Anggapan “Untuk Apa Belajar Matematika? Tidak Ada Manfaatnya”. Anak kadangkala merasa bahwa matematika tidak ada manfaatnya. Matematika hanya dianggap pelajaran yang hanya butuh hafalan saja. Matematika hanya melibatkan angka saja dengan operasi-operasinya. Mereka sama sekali tidak merasa bahwa pelajaran matematika itu penting. Hal ini terjadi karena pelajaran matematika disajikan dengan alur seperti biasanya: dijelaskan, diberi contoh, dan diberi latihan. Tidak ada keterlibatan anak dalam mengeksplor diri untuk membangun pemahaman matematika. Contoh ketika belajar luas dan keliling bangun datar, maka siswa langsung dikasih rumus, contoh soal rutin (aplikasi rumus), dan latihan soal rutin (aplikasi rumus). Mereka tidak diberikan kesempatan untuk memahami bagaimana proses mendapatkan rumus luas dan keliling tersebut yang sesuai dengan pengalaman mereka atau kehidupan nyata;

5. Metode/strategi pengajaran yang tidak tepat, guru masih banyak yang mengandalkan metode-metode klasik di dalam mengajar seperti belajar dari buku, mengandalkan hafalan, hanya menggunakan latihan-latihan rutin yang hanya melatih apa yang sudah dipelajari. Matematika hanya dianggap sebagai pelajaran benar dan salah saja. Ketika anak memiliki jawaban berbeda dengan guru maka dianggap tidak mengikuti pelajaran. Metode pengajaran ini sangat penting karena ketika matematika disajikan dengan cara yang tidak tepat, siswa tidak mampu memahami konsep, maka pertanyaan atau masalah apapun yang diberikan akan sulit untuk diselesaikan. Akibatnya siswa tidak tertarik terhadap matematika, kehilangan kepercayaan diri dan ketakutan akan matematika akan terjadi.

Mengurangi Fobia

Ketika orang dewasa (orangtua dan guru) menjadi salah satu penyebab fobia matematika pada anak, maka solusi yang dapat dikembalikan kepada orang dewasa. Adapun yang dapat dilakukan adalah:

1. Menghargai anak dengan segala keunikannya, tidak membandingkan anak satu dengan anak lainnya. Tidak semua anak terampil dalam matematika karena setiap anak memiliki kelebihan masing-masing. Orangtua dan guru dapat mencari kelebihan itu dan mengembangkannya. Orangtua dan guru harus dapat membantu siswa dengan meningkatkan kepercayaan diri dan memotivasi agar dapat berprestasi dalam hal apapun;

Baca Juga :  OMON-OMON

2. Mengubah mindset. Orang dewasa harus mengubah mindset terhadap matematika, sehingga penyampaian orangtua atau guru kepada anak pun akan mempengaruhi pandangan terhadap matematika. Ketika matematika dianggap susah, maka dengan sendirinya matematika akan menjadi susah. Ketika matematika dianggap mudah, maka dengan sendirinya matematika akan menjadi mudah. Perubahan mindset ini merupakan faktor yang sangat kuat dalam mengubah seseorang;

3. Menjadi sosok yang menyenangkan bagi siswa. Selama proses belajar mengajar, guru harus bisa menjadi guru, pendidik, orangtua, teman, orang yang pandai bercerita dan lain sebaginya. Seorang guru diharapkan dapat menjadi sosok menyenangkan bagi siswa sehingga merasa nyaman di kelas. Mengajar dan mendidik bukan hanya profesi, tetapi karena panggilan jiwa, sehingga guru dapat mengajar dengan hati, kelembutan sikap dan emosi tertata;

4. Jadilah motivator dan inspirator (idola) siswa. Ketika guru menjadi motivator dan inspirator atau idola, maka siswa akan berusaha mengikuti apa yang disampaikan. Motivasi berupa penghargaan kepada siswa yang sukses dalam melakukan sesuatu (dalam hal ini matematika), berupa kata-kata sanjungan atau tepuk tangan yang tulus dari guru dan juga teman-teman yang ada di kelas. Bagaimana dengan siswa yang belum berhasil dalam matematika? Maka seorang guru dapat memberikan motivasi dengan kata-kata misalnya “bagi siswa yang belum selesai kita beri tepuk tangan karena hari ini sudah berhasil mengerjakan sampai sekian persen, saya yakin pasti besok akan mencapai peningkatan lebih dari hari ini”. Jangan memberikan kata-kata yang membuat minder karena akan mempengaruhi motivasi belajar matematika;

5. Menjadikan matematika sesuatu hal yang menyenangkan dengan metode/strategi yang tepat. Guru dapat menggunakan metode atau strategi pembelajaran yang asyik bagi siswa melalui permainan, teka-teki, bernyanyi, bermain peran dan menggunakan media yang tepat dan lain sebagainya. Metode pembelajaran yang digunakan juga tidak monoton (ceramah) bisa dengan kerja kelompok, atau menggunakan model pembelajaran Project, berbasis masalah (PBL), Guided Discovery Learning, dan lain sebagainya. Setiap anak mampu belajar, tetapi kemampuan itu tergantung bagaimana matematika itu disajikan guru;

6. Mengintegrasikan dengan kehidupan sehari-hari. Anak lebih termotivasi jika menyadari matematika itu sangat diperlukan. Maka orangtua atau guru dapat mengintegrasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari, untuk membua t matematika lebih nyata dan bermakna. Misalnya ketika belanja di mall, ada tulisan diskon-kita bisa mengajarkan konsep diskon, ketika mengiris kue pizza-kita mengajarkan konsep pecahan, ketika melihat bentuk bangun di sekitar rumah-mengajarkan konsep bangun datar dan lain sebagainya. Kegiatan langsung semacam ini akan menjadikan pembelajaran lebih bermakna karena berdasarkan pengalaman mereka;

7. Kolaborasi orangtua dan guru. Keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak sangat mempengaruhi kesuksesan anak dalam belajar. Seperti halnya mindset terhadap matematika seperti yang disebutkan sebelumnya. Selain itu dorongan positif orangtua akan memberi semangat yang berbeda untuk anak. Sebagai orangtua kita harus mengetahui gaya belajar anak, ada anak yang suka belajar dalam kondisi tenang, ada yang suka mendengarkan musik, ada yang suka belajar sambil sandar di tembok atau belajar di kursi dan menggunakan meja untuk membaca buku. Dengan pengamatan, orangtua dapat memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan gaya belajar sesuai keinginan mereka. Selain itu memberikan penghargaan terhadap setiap pencapaian anak sebesar apapun pencapaian itu dan tidak memaksakan anak untuk hebat dalam matematika.

Iklan
Iklan