Banjarmasin, KP – Abdul Latif, mantan Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) periode 2016-2021, tetekan air mata ketika membacakan eksepsi atas pribadinya sendiri, Rabu (18/1).
Ini setelah JPU KPK yang dikomandoi Ikhsan Fernandi menyampaikan dakwaan atas dakwaan melakukan TPPU) (Tindak Pidana Pencucian Uang) dengan melakukan gratifikasi.
Hal tersebut disampaikan terdakwa Abdul Latif pada sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin di hadapan majelis hakim yang dipimpin hakim Jamser Simanjuntak.
Sidang yang dilakukan secara virtual, dimana terdakwa berada di Lembaga Pemasyarakat Suka Miskin Bandung.
Terdakwa sendiri didampingi oleh pengacara OC Kaligis yang berada langsung di lembaga tersebut.
Dalam pendampingi perkara ini terdapat 14 orang pengacara seluruhnya.
Menurut dakwaan, terdakwa dalam melakukan gratifasi tersebut selama menjabat bupati HST, telah mengumpulkan rupiah sebesar Rp 41,5 Milar lebih.
Dalam melakukan gartifikasi menurut JPU yang disetor melakukan dinas dina yang ada, sedangkan setoran dari pengusaha dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Hulu Sungai Tengah.
Uang yang diperoleh terdakwa menurut dakwaan JPU dipergunakan membeli kendaraan bermotor baik roda dua sampai mobil mewah dan jenis truk.
Selain itu juga terda[at pembelian lahan beserta bangunan yang berada di atasnya di Barabai.
Dalam eksepsi terdakwa menyebutkan selama menjabat sebagai Buotai selama kurang lebih 20 bulan tidak ada merugikan keuangan negara.
Tidak pernah menjual jabatan maupun menjual perizinan, harus dihukum tiga sprindik yang ilakukan secara di split.
Dibagian lain ia menilai penyitaan harta benda yang dilakukan KPK. Dinilanya tidak sesuai dengan perundangan undangan., membabibuta seperti perampok.
JPU pada sidang tersebut mendakwa terdakwa didakwa melanggar pasal 12 B juncto pasal 18 Undang Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kemudian dalam dakwaan kedua, JPU menjerat dengan pasal 3 Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Jaksa Penuntut Umum
Dalam dakwaan dipaparkan terdakwa Abdul Latif pada periode Februari 2016 hingga Desember 2017 menerima gratifikasi Rp 41. 553.554.006 di ruang kerjanya Kantor Bupati HST di Barabai.
Menurut JPU, harta kekayaan terdakwa Abdul Latif berupa uang di rekening Bank Mandiri KCP Barabai mencapai Rp8,2 miliar lebih dan uang lainnya di BTN Batara Cabang Banjarmasin atas nama H Fauzan Rifani segede Rp 2,5 miliar.
Termasuk, pembelian tanah dan bangunan senilai Rp2.851.350.000 atau Rp2,8 miliar di Kota Barabai.
Ada pula pembelian mobil mewah sebesar Rp 19,7 miliar lebih untuk Lexus type LC 570, moge BMW, mobil Hummer, Lexus, Toyota Kijang Inova, Cadillac dan lainnya
Sementara pensihat hukum terdakwa dalam nota keberatan atau eksepsi terdakwa Abdul Latif, dinilainya dakwaan JPU tidak cermat dan tidak jelas.
“Dakwaan JPU kami anggap kabur atau error’ in persona dan kami menganggap dakwaan JPU cacat hukum,” ungkap OC Kaligis dan rekan.
Seperti diketahui pada sidang di Jakarta terakwa yang dituduh melakukan korupsi terdakwa Abdul Latif divonis enam tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Ia dinilai terbukti menerima suap Rp3,6 miliar dalam proyek pembangunan ruang rawat RSUD Damanhuri Barabai.
Saat menjabat Bupati HST periode 2016-2021, pada medio 2019, justru hukumannya ditambah lagi oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan
Lainnya diceritakan Abdul Latif, saat kepala dinas (Dinas Kesehatan Kabupaten HST) datang ke kediamannya di Barabai, hadir pula Ketua KADIN.
“Kemudian, saya menanyakan bagaimana realisasi program APBD, kepala dinas menyampaikan bahwa kelompok kerja (pokja) ragu melaksanakan pelelangan karena takut tidak adanya perlindungan,” tutur Latif.
“Kebiasaan selama ini sebelum pelelangan kadis atau kabid selalu melakukan pendekatan dengan pihak penegak hukum dan LSM.
Ini agar pelelangan berjalan lancar dan kondusif, baik dengan memberikan dana maupun dengan menjanjikan memberi proyek, sehingga banyak terjadinya lelang rekayasa,” ucapnya.
Diungkapkan Latif, dirinya kemudian menyarankan Ketua Kadin Kabupaten HST, Fauzan Rifani agar membantu dengan melakukan pendekatan dengan pihak terkait. Caranya dengan meminta sumbangan operasional dengan kontraktor yang sudah mendapat pekerjaan dan disetujui.
“Dana bantuan kontraktor dikumpulkan oleh Ketua Kadin dan dikeluarkan sendiri oleh Ketua Kadin.
Kemudian, ia dibantu kepala dinas yang mengetahui jalur yang sudah dilakukan selama ini,” ucap Latif.
Ia mengatakan tidak pernah meminta atau mengambil dana dari sumbangan tersebut. “Utamanya, untuk kepentingan pribadi saya seperti membeli mobil, membeli tanah dan keperluan pribadi lainnya.
Malah sebelum Ketua Kadin HST mendapatkan dana sumbangan, saya sering kasih dana talangan untuk keperluan komitmen Ketua,” ujarnya.
Dirinya keberatan terhadap surat dakwaan JPU, karena sebagai tulang punggung keluarga.
Bahkan, saat ini, Latif masih menjalani masa hukuman atas kasus dugaan penerimaan suap. (hid/K-2)