Oleh : Nailah, ST
Pemerhati Sosial Politik
Harga mayoritas pangan mengalami kenaikan jelang natal dan tahun baru (Nataru) dan hari-hari besar lainnya. Kenaikan harga terjadi pada beras, telur ayam hingga bawang merah dan bawang putih. Kondisi ini jelas menyusahkan rakyat.
Seharusnya hal ini bisa di antisipasi, dengan menjaga rantai stok dan mencegah praktek yang berdampak pada naiknya harga, seperti menimbun atau monopoli.
Problem rutin tahunan ini jelas menunjukkan lemahnya sistem ekonomi yang diterapkan dan lemahnya negara mengantisipasi kondisi ini.
Persoalan Mendasar
Sebenarnya, problem tingginya harga pangan dan turunnya daya beli masyarakat ini tidak bisa terlepas dari akumulasi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Kebijakan yang demikian tidak bisa pula dilepaskan dari penerapan ekonomi kapitalisme, diakui atau tidak, telah menjadi pakem dalam melahirkan seluruh kebijakan.
Kebijakan intensifikasi pertanian, misalnya, malah makin membuat lesu produktivitas pertanian. Pengurangan subsidi pada pupuk, benih, dan saprodi jelas membuat ongkos produksi jadi makin mahal. Pada saat yang sama, kebijakan impor pangan malah dibuka lebar-lebar.
Walhasil, harga pangan lokal kalah bersaing dari harga pangan impor. Jika sudah begitu, gairah petani untuk menanam pun memudar. Terjadilah penurunan produksi yang menyebabkan ketersediaan pangan turut berkurang. Bukankah ini ancaman bagi kedaulatan pangan?
Kebijakan ekstensifikasi pertanian juga tidak sejalan dengan cita-cita swasembada pangan nasional. Alih fungsi lahan pertanian besar-besaran untuk pemukiman real estate, ataupun pembangunan jalan dan kawasan industri, malah makin masif. Bukankah ini pula penyebab menurunnya produksi pangan?
Selain kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, kebijakan yang dilandasi sistem ekonomi kapitalisme hanya berfokus pada produksi, sedangkan distribusinya diserahkan pada mekanisme pasar. Uang menjadi pengendali tunggal dalam distribusi. Akhirnya, pangan hanya akan mengalir lancar pada orang mampu, tetapi tidak pada kaum miskin.
Seluruh kebijakan yang berlandaskan sistem ekonomi kapitalisme ini didukung dengan sistem pemerintahan demokrasi yang rapuh yang hanya bisa menghasilkan penguasa rasa pengusaha. Seperti terkait memberantas mafia beras, pemerintahan sekolah mandul Dan kondisi ini telah nyata membuat rakyat menderita.
Sungguh berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang berdiri di atas hukum syara’ yang seluruh kebijakannya akan berfokus pada kemaslahatan umat.
Sistem ekonomi Islam memiliki cara untuk menjaga distribusi pangan dan menjaga gejolak harga.
Solusi Islam
Dalam sistem Islam, pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat merupakan tanggung jawab negara. Kebutuhan dasar masyarakat merupakan hal fitrah yang menuntut adanya pemenuhan secara pasti. Atas dasar itu, negara menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan sebagai bagian dari pelayanannya terhadap rakyat.
Negara juga berkewajiban menjaga transaksi ekonomi rakyat agar jauh dari hal yang melanggar syariat. Oleh karenanya, terdapat sejumlah skenario yang berpijak pada syariat dalam memenuhi kebutuhan rakyat, bahkan saat kondisi permintaan sedang tinggi.
Pertama, pemenuhan kebutuhan secara fitrah. Sistem ekonomi kapitalisme yang berjalan hari ini menyuguhkan fakta minimnya peran negara dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara mencukupkan diri sebagai fasilitator kebijakan, tetapi luput dalam memastikan tercukupinya kebutuhan rakyat, individu per individu. Walhasil, rakyat sendirilah yang berjibaku dalam memenuhi seluruh kebutuhannya.
Sementara itu, sistem Islam yang menjalankan politik ekonomi Islam akan memosisikan negara sebagai pengurus (raa’in) rakyatnya. Negara wajib memenuhi kebutuhan primer rakyat (sandang, pangan, dan papan) individu per individu serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu.
Politik ekonomi Islam diterapkan oleh negara melalui mekanisme dan kebijakan APBN untuk menjamin kesejahteraan umat manusia. Pendanaannya bersumber dari baitulmal. Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini bersifat harian dan tidak hanya untuk kaum muslim, melainkan juga nonmuslim yang menjadi warga negara Khilafah. Hak keduanya tanpa perbedaan.
Dengan sendirinya, pemenuhan kebutuhan ini tetap berjalan, bahkan pada saat rakyat menyambut hari-hari besar. Artinya, negara bertanggung jawab dalam distribusi berbagai barang kebutuhan masyarakat.
Kedua, mengantisipasi penimbunan. Penimbunan secara mutlak haram secara syar’i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadis secara gamblang. Diriwayatkan di dalam Shahîh Muslim dari Said bin Al-Musayyib dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang berbuat kesalahan.” Jadi, larangan dalam hadis tersebut berfaedah tuntutan untuk meninggalkan penimbunan.
Celaan terhadap orang yang menimbun (al-muhtakir) dengan menyifati dirinya sebagai orang yang berbuat kesalahan (al-khâthi’) adalah indikasi haramnya melakukan penimbunan. Al-muhtakir (orang yang menimbun) adalah orang yang mengumpulkan barang menunggu harganya mahal, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga menyulitkan masyarakat untuk membelinya. Jika barang tersebut tidak ada, kecuali pada di penimbun, negara bertanggung jawab untuk menyediakan barang tersebut di pasar. Dengan begitu, tidak seorang pedagang pun bisa mengendalikan dan memonopoli harga di pasar, baik pada hari biasa maupun hari-hari besar.
Adapun jika terjadi kenaikan harga ataupun barang tidak tersedia di pasar pada masa peperangan atau krisis politik, hal itu bisa karena dua sebab, yakni adanya penimbunan ataupun kelangkaannya. Jika ketiadaannya adalah akibat penimbunan, sungguh hal itu telah Allah haramkan sehingga akan ada sanksi atasnya. Jika ketiadaannya adalah akibat dari kelangkaan, Khalifah wajib menyediakan barang di pasar dengan mendatangkannya dari berbagai tempat.
Ketiga, kebijakan yang dapat memperkuat kedaulatan pangan, yaitu intensifikasi dengan mempermudah petani dalam hal produksi. Subsidi bukanlah beban, melainkan satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang akan menjaga ketersediaan. Begitu pun ekstensifikasi, pemerintah akan hadir untuk rakyat, bukan untuk korporasi. Pemerintah akan menjaga agar alih fungsi lahan benar-benar dilakukan untuk kepentingan seluruh rakyat.
Inilah bentuk perlindungan negara dalam mencukupi kebutuhan rakyat dan melindungi ekonomi negara, serta membebaskan pasar dari monopoli segelintir orang.
Sistem Alternatif Tunggal
Kenaikan harga kebutuhan saat Nataru—serta hari-hari besar lainnya—adalah kejadian berulang. Skenario antisipasi yang di jalankan sekarang sama dan harga di pasar tetap saja mengalami lonjakan.
Ini karena akar masalahnya adalah pada sistem ekonomi yang diterapkan dan lemahnya posisi negara dalam melakukan pemenuhan kebutuhan rakyatnya.
Tersebab masalah ini bersifat sistemis, maka butuh perubahan yang sistemis pula yang merombak paradigma kapitalisme dalam menjalankan pelayanan terhadap rakyat. Dalam hal ini, Islam adalah alternatif tunggal pengganti sistem sekarang untuk menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan rakyat secara hakiki dan komprehensif.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-A’raf : 96).












