Oleh : Raudatul Jannah, SM
Pegiat Pena Banua
Sangat memprihatinkan melihat moral remaja/pelajar Indonesia kian kritis. Belum selesai masalah ratusan pelajar di Ponorogo meminta dispensasi nikah akibat hamil diluar nikah. Muncul lagi berita tentang bocah Taman Kanak-kanak (TK) di Mojokerto diduga telah menjadi korban perkosaan tiga anak sekolah dasar (SD). Korban mendapa perlakuan tidak senonoh secara bergiliran dan dugaan kasus ini sudah ini sudah ditangani aparat kepolisian setempat. (liputan6.com, 20/01/2023)
Peristiwa yang tidak senonoh ini mendapat perhatian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, yaitu Nahar turut prihatin dan sangat menyesalkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tidak hanya korban, tetapi ketiga pelaku juga berusia anak, yaitu 8 tahun. KemenPPPA berkomitmen akan mengawal dan memperhatikan pemenuhan hak-hak korban. Dari peristiwa ini ia juga berpesan kepada orang tua, keluarga, dan masyarakat untuk memberikan perhatian, edukasi, dan perlindungan terhadap anak dari tindak pidana kekerasan seksual.
Parah! Inilah sebagian potret buram krisis moral dan kepribadian generasi muda di Indonesia saat ini. Disaat orangtua berharap anaknya dengan berpendidikan bisa menjadi siswa yang berilmu, berprestasi dan memiliki moral yang baik. Namun nyatanya hari ini orangtua, tenaga pendidik dan masyarakat justru semakin khawatir terhadap kondisi generasi yang kian tidak bermoral.
Tentunya jadi bertanya-tanya mengapa bisa terjadi krisis moral pada remaja hari ini? Sebab pertama, karena penerapan sistem pendidikan sekuler. Agama bukan menjadi dasar pendidikan. Agama justru dipisahkan dalam kehidupan. Semakin kesini sekularisasi pendidikan semakin digencarkan lewat program moderasi beragama. Peran agama akan diminimalkan bahkan berusaha dihilangkan dalam dunia pendidikan. Padahal ini berbahaya. Jika negara terlalu fokus mencetak SDM yang unggul secara sains dan tekhnologi, namun lemah dari sisi pemahaman dan keterikatan dengan agama atau syariat. Tentunya hal ini akan berdampak buruk bagi generasi di negeri ini. SDM yang dicetak akan menjadi generasi yang liberal yang tidak peduli lagi perilakunya halal atau haram.
Kedua, remaja banyak terpapar konten pornografi lewat internet. Pada 2021, Kemen PPPA mengungkapkan 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia mengakses pornografi secara daring (online). Bahkan 38,2 persen dan 39 persen anak pernah mengirimkan foto kegiatan seksual melalui media daring. Menurut data 34,5 persen anak laki-laki dan 25 persen anak perempuan pernah terlibat pornografi atau mempraktikkan langsung kegiatan seksual. Belum lagi perbuatan pencabulan hingga pemerkosaan yang dilakukan remaja akibat pengaruh pornografi.
Dari peristiwa ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan sistem pendidikan saat ini untuk membentuk generasi yang berilmu dan bertakwa. Oleh karena itu untuk menangani masalah ini tidak hanya cukup dengan bimbingan orangtua saja. Tetapi, juga dibutuhkan sistem pendidikan Islam, kontrol dari masyarakat dan penerapan aturan islam secara sempurna oleh negara.
Dalam hal penerapan Islam, maka negara mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat, menundukkan pandangan dan melarang segala aktivitas yang mendekati pada perzinahan. Negara juga akan melarang penyebaran berbagai konten pornografi. Baik dalam bentuk cerita, gambar, video dll.
Selain itu, negara akan menerapkan sistem sanksi yang tegas kepada pelaku zina, baik yang belum menikah (ghayr muhsan) akan diancam 100x cambukan. Dan pezina yang sudah menikah (muhshan) akan dijatuhi hukuman rajam hingga mati. Perzinahan dalam Islam bukanlah delik aduan. Perzinahan mutlak haram hukumnya sekalipun dilakukan atas dasar consent (suka sama suka).
Oleh karena itu, dibutuh solusi hakiki yang bisa menyelesaikan permasalahan ini. Yaitu kembali pada sistem Islam. Islam tidak hanya kita diterapkan dalam perkara ibadah ruhiyah dan akhlak saja, namun juga Islam diterapkan dalam perkara seluruh kehidupan.