Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Salat Berjemaah di Masjid Kampus

×

Salat Berjemaah di Masjid Kampus

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Pengurus Yayasan dan Badan Pengelola Masjid Besar At-Taqwa Banjarmasin

Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof Ahmad Alim Bahri belum ini mengeluarkan surat edaran (SE) Nomor 142/UN8/TU/2023, yang isinya menghimbau agar seluruh pejabat dan civitas akademika muslim di lingkungan ULM menghentikan semua aktivitas pada saat tibanya waktu salat fardlu, guna meningkatkan kemakmuran masjid dan mushola melalui salat berjemaah. Himbauan ini disambut positif warga kampus, baik dosen, karyawan maupun mahasiswa.

Baca Koran

Jika mengamati masjid kampus ULM Baitul Hikmah Banjarmasin, dan masjid kampus ULM Al-Baithar Banjarbaru, selama ini sudah cukup ramai dengan salat jemaah dan kegiatan lainnya. Dengan adanya SE ini, tampaknya pimpinan ULM menghendaki agar salat berjemaah lebih dioptimalkan lagi dan tepat waktu. Tugas perkantoran atau perkuliahan dapat ditinggalkan sebentar, sebab sudah ada payung hukum pendukungnya.

Sebenarnya sudah lama melihat fenomena keberagamaan yang positif dan bergairah di lingkungan perguruan tinggi. Umumnya kampus besar memiliki masjid. Sekedar menyebut, kampus UI lama di Jalan Salemba Jakarta ada Masjid Arief Rahman Hakim, kampus ITB Bandung ada Masjid Salman, kampus UGM Yogyakarta ada Masjid Shalahuddin, kampus UIN Antasari Banjarmasin ada Masjid KH Abdurrahman Ismail MA, kampus Uniska Banjarmasin ada Masjid KH Gusti Abdul Muis dan banyak lagi.

Apakah masjid-masjid kampus tersebut juga memiliki semacam surat edaran di atas, penulis tidak tahu persis. Yang jelas salat berjemaah sudah berjalan, dengan jumlah jemaah yang relatif sedikit atau banyak. Hanya saja fenomena umum selama ini, baik di dalam kampus seperti kuliah dan seminar, atau kegiatan apa saja di luar kampus, jika adzan berkumandang, dosen dan narasumber memberi jeda sebentar, lalu suasana hening, sesudah itu perkuliahan, seminar dan aktivitas lain berlanjut. Bagi yang terbiasa salat tepat waktu akan pergi sebentar untuk salat, selebihnya menunggu kegiatan selesai baru salat. Yang dikehendaki oleh adzan, tentu segera mendatangi panggilan salat, bukan sekadar berdiam, atau menyahut, tetapi tidak beranjak dari tempat duduk dan kegiatan.

Memang ada kampus yang mengistirahatkan kegiatan perkuliahan saat tiba waktu salat, diantaranya Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang. Di sini tidak hanya aktivitas perkuliahan S1 hingga S3 yang dimiliki, tetapi juga rumah sakit Sultan Agung yang berbasis syariah dan bernaung di bawah Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung (YBWSA) Semarang. Begitu tiba waktu salat, civitas akademika dan pegawai rumah sakit tumpah ruah ke masjid, kecuali yang sedang dalam tugas-tugas emergensi. Penulis lupa bertanya, apakah optimalisasi salat berjemaah di lingkungan kampus ini dipayungi oleh semacam surat edaran, atau memang karena sudah kebiasaan dan kesadaran.

Baca Juga :  Profesor Uras Tantulo dan Budidaya Ikan Gabus

Amal Utama

Tidak diragukan salat adalah amal wajib paling utama, dan menjadi kata kunci diterima atau tertolaknya amal-amal lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits, “Awwalu ma yuhasabu bihil ‘abdu fi yaumil qiyamah ash-shalah, wain shaluhat shaluha sairu amalihi wain fasadat fasada sairu amalihi”. Artinya, yang pertama dihisab dari amal hamba pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalnya dan jika shalatnya buruk maka buruklah seluruh amalnya.

Karena itu di kalangan muslim Syiah, kedudukan salat sebagai amal yang paling baik dimasukkan dalam kalimat adzan, “hayya ‘ala khairil ‘amal”, ini diajarkan Rasul. Penghilangan kalimat ini terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab. Yang berlaku kemudian, hanya ada sebutan salat lebih baik daripada tidur dalam adzan Subuh. Sekiranya kalimat itu tetap ada tentu baik, agar tahu bahwa aktivitas atau amal apapun tidak ada yang lebih baik selain salat (berjemaah) apabila waktunya sudah tiba.

Payung hukum salat berjemaah sudah ada seiring perintah salat fardlu yang diterima Rasulullah SAW saat peristiwa Isra dan Mikraj (Rajab tahun ke-10 kenabian). Ayat-ayat Al Qur’an menggariskan, salat diwajibkan atas orang-orang yang beriman pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Maksudnya, waktu mendirikan salat harus tepat sesuai ketentuan. Kalau tidak tepat berarti tidak menaati aturan tersebut. Hal ini diperkuat lagi oleh hadis Nabi SAW, “Bahwa salat yang paling afdhal adalah di awal waktu, bukan di tengah atau akhir waktu. Kemudian salat fardlu tersebut dilaksanakan secara berjemaah di masjid/musala dimana adzan dikumandangkan, bukan di kantor, rumah atau toko. Salat berjemaah demikian pahalanya 27 derajat lebih tinggi nilainya daripada salat sendirian”. (HR al-Bukhari).

Di dalam kitab Fadhail Amal diterangkan banyak sekali keutamaan salat berjemaah, makin banyak jemaahnya makin disenangi Allah SWT. Salat berjemaah delapan orang saja lebih disenangi Allah daripada 100 orang yang shalat sendirian. Sebagai umat Islam dikecam, karena dalam urusan ekonomi, kerja atau hal-hal yang berkaitan untung rugi, kita suka sekali berhitung dengan cermat. Tetapi giliran urusan ibadah suka abai, pahala salat berjemaah 27 derajat sering ditinggalkan karena berbagai alasan, sehingga lebih suka salat sendirian agar cepat, padahal pahalanya hanya 1 derajat.

Baca Juga :  HAK

Pesan Isra Mikraj

Menggairahkan salat berjemaah dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, secara top-down (dari atas) maupun bottom-up (dari bawah). Yang efektif tentu kemauan dan kesadaran dari bawah, dari setiap pribadi muslim/muslimah sendiri. Kalau sudah ada kesadaran, disuruh atau tidak orang siap salat berjemaah, bahkan menyongsong sebelum waktunya tiba. Membangun kesadaran ini tidak mudah, karena itu keteladanan dan imbauan dari atas juga penting, termasuk diantaranya melalui SE dan sejenisnya. Bahkan beberapa tahun lalu, ada kepala daerah yang memberi hadiah kepada pegawai dan masyarakat yang aktif shalat subuh berjemaah. Di masjid Besar At-Taqwa Banjarmasin, panitia juga rutin menyediakan makanan-minuman sehabis salat dan kuliah Subuh.

Khalifah Umar bin Khattab dulu juga pernah membuat semacam surat edaran, beliau mewajibkan para gubernur dan pejabat di seluruh negeri agar salat tepat waktu dan berjemaah. Alasan beliau, jika salatnya baik, maka urusan dan kegiatan lain akan baik, begitu juga sebaliknya. Kalau orang berani meninggalkan atau mengabaikan salat, yang notabene perintah Allah, orang juga akan berani dan gampang mengabaikan aturan, perintah dan amanah manusia.

Sudah waktunya para penceramah tegas dalam urusan salat ini. Kegiatan ceramah dan pengajian jangan sampai melewati waktu salat fardlu. Yang sering melanggar ini (maaf) adalah jemaah kaum ibu. Ada baiknya panitia masjid atau penceramah mewajibkan jemaah ibu-ibu membawa peralatan shalat ketika ikut kegiatan. Dengan begitu kalau kegiatan sedang berjalan lalu waktu salat tiba, salat harus dikerjakan/didahulukan, sesudah itu disambung kembali. Rasanya janggal, kalau isi ceramah menganjurkan salat di awal waktu dan berjemaah, seperti dalam peringatan-peringatan Isra Mikraj, tetapi di saat yang sama salat fardlu tidak dikerjakan tepat waktu dan tidak pula berjemaah. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan