Apa Kabar MinyaKita?
Oleh : Diya El-Haq
Pemerhati Sosial Ekonomi
Tersiar kabar MinyaKita, yang merupakan salah satu jenis minyak goreng besutan pemerintah yang dirilis pada 2022 lalu, mulai langka di pasaran. Kalau pun ada, harganya dibanderol tinggi mencapai Rp20 ribu per liter. (tempo.co). Jelas kondisi seperti ini cukup meresahkan konsumen pengguna migor yang setia. Siapa lagi kalau bukan emak-emak dan pedagang gorengan.
Padahal, berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 49 tahun 2022, minyak goreng rakyat terdiri atas minyak curah dan MinyaKita yang diatur oleh pemerintah dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp14.000 per liter. Untuk minyak curahnya Rp15.000 per kilogram.
Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan meluncurkan MinyaKita pada 6 Juli 2022 lalu, untuk mengatasi kenaikan harga minyak yang pada saat itu sempat menyentuh harga Rp25.000 per liter kala itu.
Walaupun pemerintah, dalam hal ini Mendag telah merespon langkanya migor MinyaKita di pasaran menjelang puasa Ramadan. Dengan mengambil langkah agar stok minyak goreng di dalam negeri bertambah. Kebijakannya dengan menaikkan domestic market obligation (DMO) untuk minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO).
MinyaKita diproduksi oleh perusahaan-perusahaan minyak goreng untuk memenuhi kebijakan domestic price obligation (DMO) demi mendapatkan izin ekspor. Jadi sederhananya, perusahaan produsen minyak sawit yang beroperasi di Indonesia diwajibkan memproduksi minyak murah kemasan MinyaKita agar bisa mendapatkan izin kuota ekspor CPO. Makin banyak ekspor maka segitulah mereka memproduksi MinyaKita (kompas.com)
Saat ini, minyak goreng merk selain MinyaKita harganya jauh di atas HET. Disparitas harga seperti ini sangat mungkin menyebabkan aksi borong beberapa pihak, dan kemudian dijual kembali dengan harga yang mendekati harga minyak premium. Nah, gagallah rakyat menikmati subsidi.
Sebagaimana, analisa Mendag kelangkaan MinyaKita di pasaran bukan karena stok minyak goreng yang menipis. Tapi akibat banyak masyarakat yang mulai beralih dari minyak goreng premium menjadi MinyaKita, karena kualitasnya yang tidak berbeda jauh. Padahal MinyaKita hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.
“Semua orang beli itu ya jadi habis. Nanti kalau semua yang beli premium jadi beli ini, ya enggak akan cukup juga. Karena udah bagus semua mau beli MinyaKita, dijualnya di retail modern, online padahal kan ini untuk pasar-pasar,” ujarnya.
Akhirnya, pemerintah dan produsen telah sepakat untuk meningkatkan tambahan suplai minyak goreng (migor) kemasan dan curah sebanyak 450.000 ton per bulan selama tiga bulan, yaitu Februari-April 2023. Setelah sebelumnya hanya 300.000 ton/bulan. Upaya ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat jelang puasa hingga Lebaran 2023.
Terus berulang?
Dari realitas di atas, bisa disimpulkan pemerintah hampir selalu mengambil langkah-langkah berikut :
Pertama, mendistribusikan migor dengan harga subsidi. Bisa dengan operasi pasar murah atau hanya dilepas ke pasar tradisional. Hasilnya ada upaya borong dari beberapa pihak bermodal besar untuk dijual kembali. Kedua, kebijakan satu harga atau pematokan HET untuk MinyaKita. Ketiga, Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Kebijakan DMO dan DPO mulai berlaku pada 27 Januari 2022. Eksportir memiliki kewajiban memasok minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari total volume ekspor masing-masing setelah aturan itu terbit. Sedang sekarang total volume ekspor musti setara dengan jumlah produksi MinyaKita.
Selain itu upaya mendistribusikan minyak goreng bersubsidi terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus menyeimbangkan harga minyak agar tidak terus melonjak. Namun sayang mekanisme pendistribusian model ini belum mampu menyelesaikan persoalan migor.
Jika ditelisik, sebenarnya pangkal persoalannya adalah penguasaan usaha kelapa sawit dan juga minyak goreng, serta berbagai produk turunannya berada di tangan korporasi ( swasta). Oleh karena itu operasi pasar, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) komoditas pangan sama sekali tidak efektif untuk menstabilkan harga justru menimbulkan kondisi distorsi ekonomi. Sedangkan Kebijakan DMO hanya menunjukkan ketakberdayaan negara di hadapan korporasi yang akhirnya harga minyak goreng untuk kebutuhan rakyat tergantung pada korporasi.
Dikuasainya lahan-lahan secara terpusat oleh segelintir orang menciptakan oligarki. Hal ini adalah dampak diberlakukannya aturan kapitalisme yang memiliki paradigma keliru yang menilai segala sesuatu termasuk pangan sebagai komoditas untuk diperdagangkan. Produksi pangan bertujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi demi mendapatkan pendapatan, walaupun hanya segelintir orang yang merasakannya.
Dari kekeliruan paradigma, menimbulkan kesalahan fatal tataran praktis di lapangan. Seperti kesalahan tata kelola lahan. Saat ini tidak ada mekanisme yang mengatur pengelolaan lahan untuk menghilangkan dominasi korporasi terhadap penyediaan suplai bahan pangan termasuk lahan sawit.
Hal ini terlihat dari data penguasaan lapangan usaha di sektor ini yang memang didominasi oleh korporasi-korporasi besar, sementara negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Saat ini cenderung korporasi mengambil alih kekuasaan terhadap lahan milik umum.
Bagaimana seharusnya?
Kondisi ini tentu berbeda dengan aturan Islam yang mendudukan pangan sebagai persoalan berkaitan erat dengan politik dan peran strategis sebuah negara. Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan primer (pangan, sandang, papan) sehingga sangat memperhatikan pentingnya memperbanyak produksi sekaligus memiliki konsep bagaimana distribusi hasil produksi ini sampai ke masyarakat.
Negara di dalam Islam, menetapkan kebijakan untuk rakyat guna menjalankan kewajiban sebagaimana ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yaitu untuk mewujudkan pengurusan yang benar dan tepat terhadap segala urusan rakyat.
Yaitu dengan menjalankan syariat Islam secara kaffah, termasuk pengurusan pangan. Mulai dari hulu, yaitu sektor produksi hingga pada konsumsi, bagaimana agar setiap individu rakyat mampu dan bisa mengakses bahan kebutuhan pokok mereka terkait kebutuhan minyak goreng ini.
Sistem Islam meniscayakan adanya peran utama negara sebagai penanggung jawab atas seluruh urusan dan kebutuhan rakyat, serta tidak bergantung pada pihak mana pun. Ada beberapa kebijakan utama yang akan diambil oleh negara.
Pertama, mengatur kembali masalah kepemilikan harta yang sesuai Islam dengan menerapkan tata kelola lahan sesuai syariat Islam. Individu dan swasta tidak diperbolehkan menguasai harta milik umum, seperti hutan misalnya, yang hari ini dijadikan sebagai perkebunan milik pribadi oleh para korporasi. Apalagi kemudian hutan-hutan dibuka dengan cara-cara yang merusak sehingga dampak dari kerusakan itu diderita oleh masyarakat secara umum.
Kedua, negara melaksanakan politik pertanian Islam untuk menjamin ketersediaan pasokan barang di dalam negeri, terutama mengupayakan dari produksi dalam negeri dengan mengoptimalkan para petani dan para pengusaha lokal. Di dalam Islam politik pertanian sendiri memiliki dua kebijakan yang khas yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi.
Intensifikasi lahan yang sudah ada harus dioptimalkan untuk penyediaan suplai bahan pangan dan mencegah alih fungsi lahan pertanian. Hal ini perlu disokong dengan sarana kemajuan teknologi pertanian yang dapat diadopsi para petani secara langsung.
Selanjutnya ekstensifikasi pertanian yang bertujuan untuk memperluas atau menambah lahan pertanian. Jika dengan lahan yang ada kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi, harus ada pertambahan lahan. Misalnya dengan cara mendorong masyarakat menghidupkan semua lahan-lahan yang mati atau tandus untuk produktif atau bisa juga memberikan tanah milik negara kepada para petani yang tidak memiliki lahan.
Ketiga, negara menjalankan politik distribusi perdagangan dengan melakukan pengawasan terhadap rantai niaga sehingga tercipta harga kebutuhan atau barang-barang secara wajar dengan pengawasan.
Pasar akan terjaga dari tindakan-tindakan curang, seperti penimbunan, penetapan harga, penipuan, dan sebagainya. Pengawasan ini pun ditetapkan oleh negara dengan adanya struktur tertentu di dalam negara Islam, yakni Qadhi Hisbah.
Dari sini jelas, persoalan stabilitas pangan termasuk minyak goreng hanya bisa diselesaikan dengan solusi Islam melalui penerapannya secara sempurna dengan Islam Kaffah. Wallahu’lam.
