Fenomena Dai Muda Muhammad Yannor
Oleh: Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel, asal Kelua Tabalong.
Akhir-akhir ini masyarakat Kalsel, Kalteng, Kaltim, termasuk Kota Banjarmasin sering menghadirkan dai muda dari Kelua-Tabalong, Ustadz Muhammad Yannor. Ia tergolong dai serba bisa, mulai dari khutbah dan pengajian rutin, tabligh akbar, ceramah hari-hari besar Islam, haulan dan manakib, hingga saprah amal (pekan amal) dan sebagainya. Rata-rata pengunjung yang hadir sangat banyak, tua muda, lelaki perempuan. Belum lagi yang mengikuti melalui media sosial karena ceramah ustadz ini cukup viral.
Ada beberapa hal menarik digarisbawahi dari kehadiran Muhammad Yannor dalam blantika dakwah di daerah ini. Usianya masih muda, belum 40 tahun. Dengan usia muda, ketahanan fisik masih kuat. Ia dapat memenuhi undangan berbagai daerah dengan jam terbang dan volume tinggi. Selain kawasan Hulu Sungai, ia tampil di Banjarmasin, Kuala Kapuas, Palangka Raya, Pangkalan Bun dan sebagainya, tanpa terlihat kelelahan seperti sering dialami dai dan ulama tua. Bahkan ia juga diundang berceramah di Jambi dan Tambilahan, di mana terdapat banyak keturunan perantau Banjar.
Ust Yannor, begitu biasa dipanggil di kampungnya Pasintik-Kelua, satu kampung dengan asal penulis, memiliki ciri khas tersendiri, yaitu bahasa daerah Keluanya masih sangat kental. Bahasa Kelua, satu sub-dialek bahasa Banjar Hulu, sering mengundang tawa orang yang mendengarnya. Artinya, tanpa sengaja pun orang mudah tertawa ketika mengikuti ceramahnya. Ust Yannor sendiri mengaku bangga dengan bahasa Kelua dan tidak merasa perlu mengubah atau menyesuaikan dengan bahasa lain di mana ia berceramah. Urang Banjar Hilir dan Kalteng umumnya berasal dari Hulu Sungai juga, jadi tidak sulit memahami. Lagi pula mengubah kebiasaan berbahasa sehari-hari (lingua-franca) tidak mudah.
Hal seperti ini juga terlihat dari ceramah KH Fakhruddin Noor asal Riau, yang juga berceramah dengan bahasa Banjar, karena memang berasal dari keturunan perantau Banjar di sana. Ustadz yang humoris ini juga sering diminta berceramah hingga ke Kalsel, kini juga sedang viral. Kelihatannya ada saling rindu masyarakat Banjar di sana dan di sini. Ust Yannor diminta berdakwah hingga ke Tambilahan Kepulauan Riau, sementara Fakhruddin diminta berdakwah ke Banjar. Sebelumnya KH Ahmad Bakeri (Guru Bakeri) juga sering berdakwah lintas daerah dan pulau.
Ust Yannor, mampu menyelingi ceramah dengan humor-humor segar. Cerita dan anekdot yang diungkapkannya, mampu mengundang tawa semua usia. Humor demikian, asal jangan bernuansa porno, penting juga dalam dakwah, sebagai selingan dan hiburan bagi jemaah/masyarakat. Saat tensi dakwah dan politik sekarang terkadang membuat orang panas, tegang dan kesal, dakwah yang mencairkan suasana tetap perlu tanpa kehilangan esensi dari materi dan pesan dakwah itu sendiri.
Tidak kalah penting, Ust Yannor lulusan pondok pesantren, menguasai bahasa Arab dan mampu membaca kitab kuning, orang Banjar menyebutnya Arab gundul tanpa baris. Dulu umumnya masyarakat lebih senang dengan penceramah tua, karena ilmunya lebih matang. Sekarang, dai muda pun disenangi, asalkan mampu membaca kitab. Itu sebabnya para dai muda lulusan Tarim-Hadramaut-Yaman juga mudah diterima, karena rata-rata menguasai kitab.
Kitab kuning kaya dengan berbagai kisah, ibrah dan informasi keagamaan yang kalau diceritakan dengan polesan dunia kekinian tentu menarik. Ini salah satu tolok-ukur keulamaan tradisional yang tetap dianut di zaman kontemporer. Dengan catatan mampu memodifikasi dengan ilmu dan informasi modern, sehingga content kitab-kitab klasik tetap aktual dan kontekstual. Ditambah baju qamis dan serban sebagai pakaian yang disunnahkan Rasulullah, tentu tampilan dai muda lebih meyakinkan.
Regenerasi Dai
Kehadiran dai muda seperti Ust Yannor dan para dai muda lainnya, merupakan fenomena menggembirakan. Tongkat estafet dakwah terus berlanjut dari yang tua kepada yang muda, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tahun 1980-an, penulis mengikuti kuliah umum (studium general) di Auditorium IAIN Antasari Banjarmasin. Ketika itu Dr Husnul Aqib Soeminto, pakar ilmu dakwah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengemukakan sebuah ungkapan, “Patah Tidak Tumbuh dan Hilang Tidak Berganti”, sebagai lawan dari “Patah Tumbuh Hilang Berganti”. Hal itu dikemukakannya karena prihatin dengan wafatnya sejumlah ulama dan dai yang aktif berdakwah, namun generasi penggantinya kurang kelihatan. Ia mengharapkan lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya STAIN/IAIN/UIN atau Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) umumnya serta pondok-pondok pesantren, dapat mencetak kader dai guna mengganti para dai dan ulama yang wafat dan uzur dan mengisi kebutuhan dakwah dari masyarakat yang tidak habis-habisnya.
Harapan ini memang tidak mudah untuk dipenuhi, khususnya bagi PTKI. Menurut Rektor UIN Antasari, Prof Dr Mujiburrahman MA dalam orasi ilmiahnya pada wisuda ke-7 STIS Balikpapan 2021, PTKI dihadapkan pada dua tugas yang sulit dilaksanakan secara bersamaan. Satu sisi sebagai lembaga akademis yang para sivitas akademika khususnya dosen mengemban tugas ilmiah mengajar, meneliti dan berkarya ilmiah, dan di sisi lain juga dituntut mengabdi masyarakat dengan berdakwah. Apabila yang satu dijalankan, maka sering yang lain terabaikan. Kalau sekadar menjadi khatib, mengisi pengajian mungkin bisa saja, tetapi kalau berceramah keliling seperti dilakoni Ust Yannor tentu sulit, sebab terbentur waktu, tugas dinas dan kapasitas.
Problema ini juga dirasakan kalangan mahasiswa PTKI, yang masih besar kecenderungannya untuk menjadi pegawai negeri dan kerja formal lainnya. Hal ini berakibat mereka lebih mengejar nilai/IP, kuliah singkat dan kerja cepat, tanpa memerhatikan bobot kualitas dari segi penguasaan keilmuan khususnya bahasa Arab, Alquran, hadits dan ilmu-ilmu pendukung yang dibutuhkan untuk mendakwahi masyarakat.
Di tengah kondisi demikian, kita tidak bisa terlalu banyak berharap kepada PTKI. Kecuali mahasiswa dan lulusan PTKI mampu membekali diri dengan berbagai ilmu agama secara tulus ikhlas, barulah mereka akan menjadi dai. Kalau tidak, maka akan muncul keadaan seperti ungkapan urang Banjar “diulah salawar handap balabihan, diulah salawar panjang kada cukup”, alias serba tanggung.
Kita berharap lulusan pondok pesantren dapat menutupi keterbatasan PTKI dengan terus aktif terjun di dunia dakwah, khususnya dakwah bil-lisan sebagaimana dilakukan Uts Yannor dan kawan-kawan. Tentu kalangan lain pun dituntut mendukung dakwah, sebab lapangan dakwah sangat luas, ada bil-hikmah, bil-hal, bil-kitabah, dakwah virtual dan sebagainya. Islam agama dakwah universal. Tiada kata, usaha dan gerakan yang paling mulia dan tinggi nilainya bagi Allah, kecuali usaha dan gerakan dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar. Orang yang berperan di dalamnya akan beroleh keberuntungan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam.
