Infrastruktur Megah Membawa Berkah?
Oleh : Haritsa
Pemerhati Sosial
Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali disorot. Salah satu persoalan krusialnya adalah besarnya biaya proyek ini dari awal perencanaan yaitu US6,071 miliar dolar atau setara Rp86,5 triliun. Anggaran fantastis tersebut ternyata tidak cukup dan mengalami beberapa kali pembengkakan hingga menjadi Rp114 triliun (kompas.com, 29/07/2022). Terakhir ada penambahan Rp18 triliun yang harus disepakati antara pemerintah Indonesia dan Cina. Tentu biaya dan hutang akibat dari proyek ini menjadi beban negara. Namun apakah worth it atau sepadan? Pemerintah seperti terjebak melanjutkan proyek ini dengan alasan klise, sudah kepalang basah karena pengerjaan sudah mencapai 83 persen. Urgensi proyek ini kembali dipertanyakan mengingat sudah tersedianya moda kereta Jakarta-Bandung serta jalan tol. Apakah Indonesia membutuhkan kereta cepat? Layakkah infrastruktur dibangun dengan banyak pertaruhan termasuk hutang yang kian bertambah?
Kemewahan dan Kerusakan
Pemerintah melalui proyek strategis nasional mentargetkan sejumlah pembangunan infrastruktur konektivitas seperti kereta cepat, MRT dan LRT, jalan tol, pelabuhan serta bandara. Infrastruktur konektivitas tersebut ditujukan untuk peningkatan ekonomi, penyerapan tenaga kerja hingga alih teknologi.
Sepintas proyek-proyek tersebut memang berdampak positif pada rakyat. Namun infrastruktur konektivitas tetaplah berfungsi sebagai penunjang. Moda transportasi seperti KCJB adalah kebutuhan sekunder bahkan bisa dikatakan tersier atau barang mewah.
Sebagai barang mewah, keberadaannya tidak prioritas. KCJB tidak bersentuhan serta berpengaruh langsung pada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Justru banyak hal yang menentukan kesejahteraan rakyat. Kebutuhan mendasar publik yang harus diberikan pemerintah adalah pendidikan dan kesehatan. Sarana-sarana tersebut justru tidak memadai dari sisi jumlah dan kualitas. Jumlah gedung sekolah masih belum sesuai dengan jumlah anak generasi yang harus mengenyam pendidikan yang diselenggarakan negara. Selain jumlah, kualitas sarana pendidikan banyak dalam kondisi memprihatinkan dan jauh dari standar pendidikan unggul. Kondisi yang sama berlaku pada sarana fasilitas kesehatan dan rumah sakit.
Untuk menunjang ekonomi, rakyat justru sangat memerlukan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan pasar. Namun pada 2016, BPS melaporkan lebih dari 10 ribu desa di Indonesia masih memiliki infrastruktur jalan yang buruk. Lebih dari 5.000 desa/kelurahan mempunyai jalan yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun. Ada yang hanya bisa dilalui saat musim kemarau, tetapi tidak di musim hujan. Sebagian kondisi jalan nasional rusak berat sepanjang 47.017 kilometer, alias sepanjang pulau Jawa. Dan beberapa waktu lalu terjadi kemacetan hampir 22 jam di jalan di provinsi Jambi yang sampai menimbulkan kerugian ekonomi miliaran rupiah bahkan korban jiwa. Belum lagi jika melihat kondisi pasar-pasar di Indonesia yang terkenal kumuh dan kalah jauh dari pasar modern yang dibangun korporasi. Tentu realitas ini membuat publik bertanya apakah KCJB, MRT dan LRT atau bandara diperlukan?
Rakyat juga membutuhkan kota dan pemukiman yang kondusif dengan sarana mendasar, seperti saluran limbah dan pengolahan sampah. Sarana dasar ini justru sangat minim di kota-kota di Indonesia. Mayoritas kota di Indonesia masih mengolah sampahnya secara tradisional. Persoalan sampah dan saluran drainasi yang tidak memadai sering menjadi sebab kejadian banjir rutin pada berbagai kota, disamping pelanggaran tata ruang dan tata wilayah. Di sisi lain, banjir rutin tersebut juga membuat jalan-jalan semakin parah kerusakannya.
Pemerintah seharusnya serius mengelola kebutuhan rakyat. Orientasi menjawab kebutuhan rakyat akan memobilisasi sumber daya manusia anak bangsa, dana mandiri dan teknologi. Pembangunan untuk memberi solusi kepada rakyat dengan sendirinya mendorong perbaikan ekonomi, pembukaan lapangan kerja dan kemajuan teknologi. Pembangunan ini bukan berfokus pada proyek mercusuar untuk membangun monumen kebanggaan yang dibiayai utang.
Dalam Islam, pembangunan infrastruktur akan dilakukan negara dalam rangka meriayah atau memgelola urusan rakyat. Berdasarkan syariah Islam, penguasa adalah roin, periayah, pengelola dan penanggung jawab urusan rakyat. Negara bukan semata sebagai perumus regulasi tapi juga sebagai operator dan pelaksana. Ini adalah prinsip keberadaan penguasa dalam Islam. Pemerintah akan memobilisasi SDM, dana dan kemampuan teknologi. Negara tidak akan membangun proyek karena motivasi rendah seperti kemegahan dan sebagai quick result, prestasi instan penguasa. Pemerintah juga tidak membangun sebagai proyek bancakan negara-negara kreditor. Negara akan mempertimbangkan prioritas kebutuhan rakyat karena rakyat dan harta rakyat adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat.
Selain itu prinsip kedaulatan negara juga harus dipegang. Sistem ekonomi Islam dengan pengaturan kepemilikan akan memampukan negara dalam hal pendanaan. Negara tidak akan mengandalkan pajak dan hutang luar negeri ribawi yang mengancam kedaulatan negara sebagai sumber dana. Dana pembangunan infrastruktur akan diperoleh dari hasil pengelolaan harta milik umum (milkiyah ammah) seperti sumber daya tambang mineral, hutan dan sumber energi. Selain kepemilikan umum, sumber kepemilikan negara (milkiyah daulah) seperti jizyah, fai dan kharaj juga menjadi sumber dana bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur.
Jika rakyat dan penguasa berpegang pada hukum syariah dalam pembangunan, tidak saja akan mengangkat kehidupan rakyat dan kemajuan negara. Yang lebih penting dari itu adalah kebaikan dan keberkahan bagi negeri ini.
Wallahu alam bis shawab.
