Penjualan Beras ke Ritel Modern, Bagaimana Nasib Rakyat Kecil?

Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan, pihaknya telah menggelontorkan sebanyak 100.000 ton beras melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) atau operasi pasar awal Januari 2023. Hal ini berdasarkan arahan Presiden Jokowi dalam rangka segera meredam kenaikan harga beras. (Kompas, 19-1-2023). Buwas mengimbau agar masyarakat tidak perlu khawatir karena Bulog menjamin kebutuhan beras tersedia di masyarakat dengan harga terjangkau walau di pasaran ada kenaikan harga.

Terlebih, kata Buwas, kondisi sekarang ini belum musim panen raya jadi ketersediaan barang di pasar tidak banyak sehingga ada sedikit kenaikan harga, itu sebabnya operasi pasar berlangsung intensif. Lebih lanjut Buwas mengatakan, kebijakan mengimpor beras sebanyak 500.000 ton melalui Perum Bulog juga telah dilakukan dengan tujuan menahan laju kenaikan harga beras. Dengan adanya impor beras dan terpenuhinya pasokan cadangan beras pemerintah (CBP), maka harga beras di pasaran dipastikan akan terkendali.

Menurut Buwas, kedatangan beras impor menjadikan stok CBP di Bulog kini menjadi 683.000 ton. Tambahan beras impor ini diklaim memperkuat cadangan beras nasional sampai datangnya musim panen raya pada Maret 2023.

Permasalahan Bulog begitu kompleks. Misalnya, penumpukan beras di gudang yang mengakibatkan kualitas beras menurun. Bahkan, kita kerap menemukan beras tidak layak konsumsi masih ada di gudang. Selain itu, ada kebijakan impor pemerintah yang tanpa perhitungan. Sering kali kebijakan impor terjadi saat musim panen raya. Walhasil, stok menumpuk dan beras dari petani lokal tidak terserap dengan baik. Setidaknya ada dua alasan.

Pertama, buruknya koordinasi antarkementerian, seperti Kementerian Pertanian dan Perdagangan yang kerap kali kebijakannya saling kontraproduktif. Kedua, adanya mafia impor. Alasan kedua inilah yang diduga kuat mengontrol arus impor. Jamak kita ketahui bahwa politik transaksional dalam sistem demokrasi tidak bisa terhindarkan. Sudah rahasia umum bahwa para politisi yang akan bertarung dalam pemilihan akan melibatkan cukong dalam kontestasinya. Inilah penyebab kebijakan pemerintah khususnya pangan menjadi di bawah kendali pengusaha.

Fungsi Bulog menjamin pangan pun sudah makin tergerus. Kini Bulog malah fokus memperbesar bisnis komersial dengan alasan untuk menutupi kerugian dari Public Service Obligation (PSO). Selain itu, Bulog menggandeng ecommerce seperti Shoppe untuk membuat panganan[dot]com. Namun realitasnya, permasalahan Bulog tidak kunjung usai. Tidak bisa kita mungkiri juga, terdapat tekanan asing terhadap kebijakan perdagangan internasional.

Penentuan tarif bagi komoditas pangan misalnya dan pemberian sanksi pada negara yang memproteksi negaranya oleh WTO menjadi sandera negara-negara berkembang untuk mandiri dalam menyelesaikan permasalahan dalam negerinya. Inilah sederet permasalahan Bulog yang tidak bisa selesai hanya dengan membenahi manajemennya. Bukan kali ini BUMN terjerat utang, pun Bulog bukan satu-satunya yang terjerat utang. Bahkan, seluruh BUMN bernasib serupa.

Oleh sebab itu, bisa kita pastikan permasalahannya bukan sekadar buruknya manajemen, melainkan lebih dari itu, yaitu landasan tata kelola yang berideologikan kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme memang cacat dari lahir karena asas pijakannya adalah sekularisme, yakni pemahaman yang menegasikan peran pencipta dalam mengatur kehidupan. Walhasil, semua aturan yang lahir dari ideologi ini berlandaskan pada akal manusia semata yang lemah dan terbatas. Wajar jika tidak akan menyolusi permasalahan manusia.

Dalam konsep negara, sistem ekonomi kapitalisme memosisikan peran negara hanya sebagai fasilitator bertemunya korporasi dan rakyat. Rakyat butuh sejumlah pelayanan dan barang untuk memenuhi hajat hidup mereka, sedangkan korporasi menyediakan kebutuhan rakyat. Pemerintah tinggal menjadi wasit yang mempermudah bertemunya swasta dan rakyat, tentu wasit yang berat sebelah sehingga kerugian dalam bertransaksi selalu saja pada rakyat. Oleh karenanya, jangan pernah berharap sejahtera dan bahagia dalam sistem ini karena rakyat selalu menjadi pihak yang terzalimi.

Dalam konteks perdagangan internasional, sistem ekonomi kapitalisme telah menjerat negara-negara berkembang untuk sekadar berperan sebagai pasar atas kelebihan produksi negara-negara makmur. Tidak aneh jika tekanan impor pada negeri berkembang begitu masif. Selain menjadi pasar, negara berkembang yang biasanya memiliki SDA melimpah, dibuat sedemikian rupa agar eksploitasi terhadap SDA bisa mudah terjadi. Pembangunan infrastruktur, misalnya, yang memudahkan korporasi mengeruk SDA sebagai bahan baku murah bagi perusahaannya.

Korporasi juga memanfaatkan SDM yang melimpah untuk menjadi buruh murah. Coba lihat korporasi multinasional yang membangun pabriknya di negara-negara berkembang, bukan untuk menciptakan lapangan kerja, tetapi untuk menekan biaya produksi dengan upah rendah. Jangankan menjamin kebutuhan rakyat, dalam sistem ini, harta rakyat pun terrampas dengan paksa.

Berita Lainnya
1 dari 738
loading...

Harga beras di Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN. Dengan harga yang menggiurkan ini, tentu banyak pelaku bisnis yang bermain di dalamnya, dalam hal ini adalah oligarki dan kaki tangannya atau bisa disebut mafianya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesempatan besar untuk meraup keuntungan karena dari sisi permodalan dan organisasinya sudah lebih siap untuk mengambil peluang itu.

Adalah sebuah bencana ketika persoalan beras dan energi telah berdampak langsung pada kemiskinan. Ini seharusnya menjadi alarm keras. Kendati keduanya komoditas strategis, tetapi harga beras dan BBM sangat tidak layak naik karena keduanya adalah kebutuhan asasi bagi kehidupan masyarakat. Jika harganya naik, bisa dipastikan tekanan ekonomi masyarakat juga meningkat.

Namun, apalah daya, kapitalisme tidak akan pernah peduli dengan kenaikan harga beras maupun BBM. Kenaikan harga kedua komoditas strategis tersebut justru sangat bermanfaat bagi para kapitalis, pemain di balik liberalisasi pangan dan migas. Mereka justru panen cuan ketika masyarakat kian tercekik oleh harga-harga yang naik. Kondisi kapitalisasi inilah yang menjauhkan berkah Allah Taala dari kehidupan manusia. Ini karena kapitalisasi adalah wujud tegaknya aturan buatan manusia, bukan aturan Allah.

Sungguh berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang berdiri di atas hukum syarak yang seluruh kebijakannya akan berfokus pada kemaslahatan umat. Setidaknya ada dua kebijakan dalam sistem Islam untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Pertama, kebijakan yang dapat memperkuat kedaulatan pangan, yaitu intensifikasi dengan mempermudah petani dalam hal produksi. Subsidi bukanlah beban, melainkan satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang akan menjaga ketersediaan. Begitu pun ekstensifikasi, pemerintah akan hadir untuk rakyat, bukan untuk korporasi. Pemerintah akan menjaga agar alih fungsi lahan benar-benar dilakukan untuk kepentingan seluruh rakyat.

Kedua, harga bukan satu-satunya hal dalam pendistribusian harta. Negara akan bertanggung jawab terhadap pemenuhan seluruh kebutuhan rakyat, termasuk pangan. Contohnya, negara menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan tanah mati dan pemagaran apabila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Kebijakan yang demikian ini bisa terwujud jika negara memiliki peran sentral dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Kebijakan yang berfokus pada umat hanya akan bisa kita dapatkan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), bukan demokrasi. Selain karena sejarah membuktikan bahwa hanya peradaban Khilafah yang dapat menyejahterakan penduduknya dengan sebaik-baik pengurusan, juga terdapat firman Allah SWT, bahwa suatu negeri akan sejahtera jika Islam diterapkan secara kafah.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96).

Aturan Islam menutup celah kapitalisasi sektor pangan. Islam juga memastikan setiap individu bisa makan dengan layak dan cukup, bukan malah menimbulkan dan meningkatkan angka kemiskinan sebagaimana kapitalisme. Satu orang saja yang hari itu tidak mampu makan, sudah menjadi genderang tanda bahaya dalam sistem Islam. Ini karena pangan adalah kebutuhan pokok dan asasi, sekaligus penunjang kehidupan. Oleh karena itu, penguasa Islam harus memastikan pemenuhan kebutuhan pangan setiap individu warganya.

Di sektor energi, Islam juga tidak akan memberi kesempatan terjadinya privatisasi migas. Ini karena status sumber daya energi adalah kepemilikan umum sehingga haram untuk diprivatisasi. Harga BBM di bawah pengaturan sistem Islam tidak akan ugal-ugalan sebagaimana pengelolaan di bawah kapitalisme. Dalam sistem Islam, BBM bahkan bisa gratis untuk masyarakat luas.

Paceklik beras memang terjadi karena banyak faktor. Secara makro, kapitalisme harus diakui sebagai biang kerok di balik semuanya karena rangkaian paceklik tersebut merambat hingga menjadi gelombang yang menimbulkan kemiskinan sistemis. Padahal, katanya tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu saja bisa jadi tanaman. Namun ternyata, rakyatnya malah dilanda kemiskinan.

Demikian halnya kenaikan angka kemiskinan, menunjukkan adanya ketimpangan yang tidak bisa lagi ditoleransi. Ini seharusnya menjadi alarm keras di berbagai sektor, termasuk sektor pangan maupun energi. Jika berkah Allah bagi negeri ini turun karena kita diharuskan menerapkan syariat-Nya secara sistemis, semestinya hal itulah yang kita upayakan. Islam sendiri memiliki aturan tegas perihal tata kelola komoditas strategis pangan dan energi. Pengaturannya sistemis dan diampu melalui format negara Khilafah. Ini sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Berlangganan via E-MAIL
Berlangganan via E-MAIL
Berita Menarik Lainnya

Situs ini menggunakan Cookie untuk meningkatkan Kecepatan Akses Anda. Silahkan Anda Setujui atau Abaikan saja.. Terima Selengkapnya