Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Membantu Anak Kuper Dalam Belajar dan Berinteraksi Sosial

×

Membantu Anak Kuper Dalam Belajar dan Berinteraksi Sosial

Sebarkan artikel ini

Oleh : Masitoh
Guru SDN Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu

Anak kurang pergaulan alias kuper dalam keseharian banyak mengalami masalah. Masalah tersebut tentu dialaminya di lingkungan sekolah dan rumah. Dalam hal bersosialisasi dengan teman sebaya atau teman sekelasnya pada waktu istirahat atau pun sebelum pelajaran dimulai. Waktu mengikuti pelajaran anak tersebut juga tampak kurang fokus. Seolah ada perasaan cemas dan gelisah. Baik dengan teman sekelasnya bahkan dengan guru yang sedang mengajar. Sehingga apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka anak mengalami kesulitan dalam belajar hingga prestasinya menurun.

Kalimantan Post

Menurut Orissa Anggita Rinjani, seorang psikolog mengatakan bahwa mudah atau sulitnya seorang anak berbaur atau berinteraksi dengan orang lain bisa disebabkan oleh temperamen bawaan. Ada anak yang esay going, artinya sifat anak-anak yang memiliki karakteristik kepribadian santai dalam menjalani hidup serta menanggapi masalah. Sifat tersebut dikenal sebagai kepribadian yang positif karena dinilai mampu lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Ada pula yang memang secara bawaannya slow to warm up. Ia lebih mudah cemas jika berpisah dari orang tua atau cemas ketika bertemu dengan orang baru atau berada di situasi yang tidak familiar baginya.

Menurut John Malouff, Ph.D, Associate Professor di School of Behavioural, Cognitive and Social Sciences, University of New England, Australia, mengatakan bahwa rasa malu dapat menghambat anak dalam berinteraksi sosial. Menurutnya, seorang anak dengan rasa malu yang besar seringkali hanya menjadi pengamat interaksi orang lain. Ia ingin menjadi bagian dari interaksi tersebut, namun enggan melakukannya. Sebenarnya anak tersebut ingin sekali bermain, tertawa, dan bersuka cita. Hanya saja anak sulit berinteraksi.

Yang menyebabkan anak sulit berinteraksi atau kurang pergaulan dengan teman sebayanya selain sifat pemalu adalah introvert. Introvert adalah jenis kepribadian yang tidak bisa hilang begitu saja. Anak-anak dengan kepribadian ini dapat bersosialisasi dengan normal, namun sebagian besar waktunya akan lebih banyak menyendiri. Anak dengan kepribadian ini tidak perlu untuk dipaksa bersosialisasi, namun orang tua atau guru di sekolah tetap dapat mengajaknya untuk beraktivitas di luar ruangan untuk melatih dan membiasakan kemampuan sosial dasarnya.

Baca Juga :  Energi Cinta dalam Agama

Anak yang kurang bergaul bisa disebabkan adanya perasaan minder atau rendah diri. Minder timbul dari pikiran-pikiran negatif yang ada di dalam pikirannya tentang dirinya sendiri. Orang yang minder akan mematikan segala potensi kemampuan yang ada dalam dirinya. Minder juga bisa terjadi karena mereka terlalu merendahkan dirinya. Tentunya, hal tersebut akan menghambat perkembangan dirinya. Misalnya; minder karena pekerjaan orang tua, penghasilan orang tua, keadaan rumah/tempat tinggalnya dsb.

Bisa juga kurang pergaulan disebabkan asyiknya bermain game di handphone. Bermain game bisa menyebabkan anak memiliki sifat individual, artinya apa yang dilakukan terasa asyik dan tidak mengganggu temannya. Konsekuensinya adalah waktunya habis hanya untuk menyendiri, tidak bersama teman seusianya.

Penyebab lainnya adalah orang tua yang protektif/rasa sayang yang berlebihan dapat menjadi tekanan tersendiri bagi anak dalam berinteraksi. Over proteksi dari orang tua bisa membuat anak mudah cemas, termasuk dalam hal bergaul. Banyak melarang anak untuk keluar rumah; misalnya temannya datang mau mengajak bermain ke pantai dilarang, mau nonton hiburan kuda lumping tidak boleh. Bahkan keluar rumah untuk kerja kelompok pun tidak diijinkan. Kurangnya bertemu dengan teman seusia seperti ini akan menyebabkan mereka minim kesempatan untuk membangun keterampilan sosial. Hal ini juga merupakan penyebab anak mengalami kesulitan bergaul.

Kurang bergaulnya si anak sebagai akibat anak pernah mengalami perundungan atau bully. Anak merasa takut/trauma bermain atau bergaul dengan temannya. Barangkali anak waktu bermain diolok-olok temannya, dipukul, diancam dsb. Sehingga anak malas berkawan dengan mereka dan memilih bermain dengan satu atau dua orang teman saja. Bahkan lebih banyak menyendiri. Pernah terjadi, suatu kasus bahwa anak tidak ditemani oleh kawan-kawanya karena yang bersangkutan tidak mau disuruh belanja. Sehingga si penyuruh mengajak teman-temannya untuk tidak menemani anak tersebut. Perilaku ini nyata ada di jenjang SD, sebagai pengalaman penulis; mengamati anak-anak bermain waktu istirahat. Sebagai guru melihat kondisi ini tentu segera menegur. Agar bermain yang baik. Bukan lantas nggak mau disuruh untuk membelanjakan sesuatu jajan, lalu tidak ditemani.

Baca Juga :  Pengangguran 88 Ribu di Kalsel: Mengurai Masalah dengan Syariah

Solusi permasalahan ini bagi orang tua di rumah, sebaiknya memantau anaknya belajar. Kalau anak saat belajar ditunggu atau ditemani orang tua tentu akan berbeda hasil belajarnya. Yang jelas jika ada kesulitan anak pasti minta bantu orang tua untuk mengajarinya. Dan apabila anak ada masalah di sekolah dengan temannya, akan bercerita dengan orang tuanya. Orang tua tidak harus selalu melarang jika anak bermain ke rumah teman. Apalagi saat ada tugas kelompok, lebih baik diijinkan untuk belajar bersama. Sesekali orang tua memberikan kepercayaan pada anak.

Jika di lingkungan sekolah, anak sudah tentu menjadi tanggung jawab guru kelas. Di dalam kelas jenjang SD guru melihat anak yang berperilaku diam, murung atau kurang bergaul mungkin dalam pembelajaran akan dibentuk kelompok. Tujuannya adalah agar anak yang pendiam, kurang bersosialisasi bahkan sering dibully bisa berinteraksi dengan temannya dalam belajar. Kalau dibiasakan maka anak tersebut lambat laun akan terbiasa berkomunikasi, berinteraksi dengan teman dalam kelompoknya. Demikian pula saat pembelajaran di luar kelas. Dengan harapan akan terbiasa terjadi pergaulan, terjadi interaksi yang baik antar siswa dalam kelas tersebut. Sehingga tujuan pembelajaran tercapai.

Iklan
Iklan