Oleh: Ahmad Barjie B
Penulis Buku Budaya Banjar
Apabila pernah menonton “Stand up Comedy Indonesia” Kompas TV, tentu akan melihat banyak orang (terutama mahasiswa) yang memiliki bakat dan kemampuan melawak. Mereka berhasil menyajikan materi lucu dan berkualitas tanpa harus mengubah gaya pakaian, rambut, mimik dan penampilan nyleneh lainnya.
Banyaknya orang di luar grup lawak yang mampu menghibur dan mengocok perut, seolah berbanding terbalik dengan grup dan pelawak resmi yang sering tampil di televisi. Lawakan mereka makin terasa hambar, isinya hanya ledekan sesama teman, tampil kebancian atau mempermak wajah agar tampak beda.
Lawakan bagus tentu yang memiliki visi dan misi, yang lahir dari otak kemudian divisualisasikan dengan kata-kata jenaka. Memang ada juga pelawak yang hanya mengandalkan sikap dan gerak tanpa bicara, seperti Mr Bean (Rowan Atkinson), tetapi itu keluar dari pikiran yang cerdas juga.
Ketika Mr Bean mau menyumbang pengemis misalnya, sementara di sakunya hanya ada uang besar, tak ada recehan, maka Mr Bean lebih dahulu ikut mengemis, menadahkan tangan dengan kepala menunduk agar dikasihani orang yang lewat. Setelah beroleh uang receh, itulah kemudian yang ia sumbangkan kepada pengemis di sampingnya.
Relativitas Kemampuan
Ilustrasi di atas sekadar menggambarkan bahwa orang yang pekerjaannya melawak tidak selalu mampu melucu dengan baik. Dan orang yang bukan pelawak profesional tidak jarang mampu membawakan lawakan berkualitas. Bahkan sering penceramah agama lebih mampu melempar humor ketimbang pelawak sungguhan.
Kondisi begini relatif sama dengan dunia perpolitikan kita dewasa ini. Mereka yang duduk di lembaga resmi (Legislatif) tidak selalu lebih ahli daripada orang yang berada di luar. Mereka yang berada di luar tak jarang mampu memerankan fungsi mewakili dan memperjuangkan nasib rakyat, meski bukan pejabat profesional pemegang kompetensi resmi.
Sebenarnya sudah banyak tokoh, sejak dari founding fathers negeri ini hingga para petinggi partai kontemporer menghimbau agar kalangan terpelajar, terdidik, para sarjana, cendikiawan, ulama dan figur publik mau terjun ke dunia politik. Ikut bergabung dalam sistem dan partai politik yang sudah tersedia, kemudian melakukan perbaikan bangsa dan negara dari dalam.
Tetapi kenyataannya, lebih banyak yang memilih di luar. Ditambah sistem perpolitikan kita yang lebih mengandalkan uang, relasi, jaringan dan tujuan pragmatis, kering ideologi dan idealitas, makin banyaklah orang yang tidak bersemangat ikut politik. Kebebasan berpolitik praktis yang dulu di era orde baru begitu didambakan, kini setelah kebebasan itu hadir di depan mata, ternyata tidak pula kita gunakan maksimal. Banyak tokoh, intelektual dan cendekiawan yang berintegritas memilih menjauh dari dunia politik. Kalau mereka ini enggan masuk ke gelanggang politik, lantas siapa yang akan memasukinya. Padahal politik amat-sangat penting karena kebijakan yang keluar dari lembaga politik terkait dengan kehidupan rakyat banyak.
Sekarang ini partai politik aktif merekrut para calon anggota legislatif di semua level, dari pusat hingga daerah. Mereka yang mencalonkan diri ini nanti kalau perolehan suaranya mencukupi akan duduk di Lembaga Legislatif. Diharapkan mereka adalah para tokoh yang dikenal dan mengenal rakyat, yang diharapkan dan diyakini mampu memperjuangkan aspirasi rakyat. Maslaahnya, jelang hari H Pemilu, banyak pemilih belum juga ketemu calon yang pasti karena tidak mengenal mereka secara memadai. Banyak calon tampil instan tanpa pernah mengabdi masyarakat secara intens. Akibatnya agar dicoblos dan rakyat mau mencoblos, uanglah yang bermain.
Melihat kebanyakan wakil rakyat selama ini, kita belum bisa bergembira. Seringkali sidang yang amat penting hanya dihadiri oleh kursi kosong, mayoritas absen entah ke mana. Banyak di antara mereka terlibat korupsi dan atau berperilaku yang bertentangan dengan kehendak rakyat, sehingga muncul berbagai julukan tidak baik yang dialamatkan kepada lembaga terhormat ini. Banyak pula produk UU serta Perda yang dianulir, dibatalkan, direvisi dan dijudicial-review karena tidak sesuai dengan UU di atasnya, tidak sempat diuji publik atau bertentangan dengan kepentingan rakyat. Termasuk sekarang, masyarakat khususnya mahasiswa sudah melakukan aksi demo berjilid-jilid untuk menentang UU yang terlanjur disahkan oleh DPR yang dianggap tidak sejalan kepentingan rakyat. Artinya wakil rakyat yang sudah digaji besar dan berbagai fasilitas dari uang rakyat belum sepenuhnya menjalankan amanah rakyat secara optimal. Terkesan mereka lebih mewakili partai dan pemerintah yang berkuasa ketimbang mewakili rakyatnya.
Ekspresi Maksimal
Seorang komedian biasanya mampu optimal kalau ia tampil solo, tidak bermain dalam grup. Kalau tampil bersama, terlebih banyak orangnya sering tidak optimal, sebab ucapannya bisa terpotong oleh kawan mainnya.
Diduga dunia politik hal sama juga terjadi. Kita melihat banyak wakil rakyat tidak optimal karena terkungkung oleh partainya, fraksinya, komisinya. Bahkan ada kalanya wakil rakyat yang tampil beda, vokal, kritis, justru terkena sanksi rekal dari partainya. Mereka tersandera oleh kebijakan dan aturan partai. Bahkan baru-baru ini, salah seorang ketua komisi DPR mengatakan, rata-rata anggota DPR itu dalam memperjuangkan sesuatu sangat tergantung kepada kehendak pimpinan partainya. Jadi, walaupun ia dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem proporsional terbuka, namun setelah jadi, ia tidak otomatis mewakili dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang memilihnya.
Mengingat wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat, idealnya mereka diberi kebebasan individual untuk bersikap dan bersuara. Sepanjang untuk kepentingan rakyat, sikap dan suara tsb harus dilindungi. Mereka harus banyak bicara banyak kerja, banyak melihat, mendengar, menyerap, mau merasakan dan menindaklanjuti aspirasi serta amanat penderitaan rakyat. Sebelum masa baktinya lima tahun selesai, mereka tidak boleh diberhentikan atau digantikan kecuali meninggal dunia atau tersangkut perkara pidana.
Hal ini juga harus berlaku bagi pejabat eksekutif gubernur, bupati/walikota. Sebelum masa jabatannya tuntas, tidak boleh ditinggalkan dan dipromosikan untuk jabatan lain. Pemberi dan pemegang hak suara ada pada rakyat, bukan partai yang mengusungnya. Ketika seseorang sudah menjadi pejabat publik, kepentingan rakyat harus di atas kepentingan partai. Dan mestinya kepentingan partai sejalan dengan kepentingan rakyat.
Pemilu sudah makin dekat. Rakyat tak boleh golput, kita harus memilih yang terbaik di antara yang baik, yang baik di antara yang kurang baik. Kita tidak perlu terlalu berpikir ideal, sebab di dunia ini tidak ada yang sempurna. Jika kita amati orang per orang masih ada harapan, sebab di antara sekian banyak calon ada juga yang memiliki kapasitas dan integritas. Kita tidak bisa memilih orang yang berada di luar sistem, setokoh apa pun. Suka atau tidak suka, sistem inilah yang berlaku sekarang.
Kita harapkan kalau kelak mereka duduk lebih aktif menjaring aspirasi rakyat, dekat dengan rakyat yang diwakilinya, sama seperti waktu minta dipilih. Gigih belajar dan berkonsultasi dengan kalangan senior dan pemilik keahlian tertentu. Sudah waktunya kunjungan dan studi banding yang selama ini menonjol dilakukan para wakil rakyat dikurangi bahkan dihentikan, sebab tidak ada relevansinya dengan tugas wakil rakyat di bidang legislasi, budget dan kontrol. Tukar menukar informasi sekarang begitu mudah dan murah, karena data dapat dikirim begitu cepat dan praktik melalui media online.
Namanya juga wakil rakyat, mereka merupakan orang yang diamanahi mewakili rakyat, memperjuangkan nasib rakyat ke arah yang lebih baik. Rakyat yang memilih harus pula mengontrol dan mengawal agar tugas para wakil tidak keluar dari kehendak rakyat. Dengan begitu antara rakyat dengan wakilnya terjadi simbiosis mutualis, hubungan saling menguntungkan dan membutuhkan secara berkelanjutan. Wallahu A’lam.