Korupsi dan Ambivalensi Beragama
Oleh: Ahmad Barjie B
Pemerhati sosial politik keagamaan
Agama gagal menanggulangi korupsi, begitu judul berita sebuah media. Mengacu kepada banyaknya realitas korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh pejabat, politisi dan pengusaha yang semuanya beragama, ada kalangan menyimpulkan agama gagal menanggulangi korupsi.
Kesimpulan ini tidak tepat karena, pertama, agama apa pun tidak pernah mengajarkan korupsi. Artinya, korupsi adalah perbuatan tercela yang dilakukan oknum atau kelompok yang menganut agama, bukan karena agamanya. Kedua, Indonesia sejak awal berdiri sudah mengklaim bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Dalam keadaan ‘bukan-bukan’ seperti ini, agama apa pun tidak dapat disalahkan sebagai variabel yang tidak berperan menanggulangi korupsi, sebab agama tidak dijadikan sebagai sistem bernegara.
Di negeri ini memang banyak pejabat dan pengusaha tampil agamis, berjiwa religius, bertitel haji, dsb, apalagi kalau menjelang pemilu. Tak sedikit pula yang berilmu agama yang cukup bahkan tinggi. Tetapi semua itu tidak berbanding lurus dengan penghayatan dan pengamalan, termasuk untuk tidak melakukan korupsi dalam berbagai bentuknya. Akhirnya yang terjadi, banyak orang rajin ibadah tapi perilakunya tercela. Ungkapan STMJ (shalat terus maksiat jalan), seolah ada benarnya.
Di negeri ini yang berlaku adalah sistem demokrasi, mulai dari pemilihan para wakil rakyat (DPR dan DPD), pemilihan presiden dan wakilnya hingga pemilihan kepala daerah. Selanjutnya orang-orang yang terpilih dengan suara terbanyak lewat pesta demokrasi itulah yang menjalankan pemerintahan dan pengelolaan negara dan daerah. Merekalah yang kemudian merumuskan peraturan perundang-undangan, menjalankan dan mengawasinya. Ketika ada kalangan ingin memasukkan unsur agama di dalamnya, sering ditolak mentah-mentah, bahkan perda-perda yang dianggap bernuansa syariah pun dianulir. Ketika dari mekanisme demokrasi demikian lahir korupsi, maka demokrasilah yang gagal menanggulangi korupsi, salahsatunya akibat politik dengan biaya tinggi, sehingga modal harus dikembalikan setelah terpilih, dan menumpuk modal lagi agar terpilih periode berikutnya, atau untuk dinasti politik selanjutnya.
Kesalahan Awal
Tidak diragukan, banyak ajaran agama yang sengaja diinjak ketika berkaitan dengan persoalan publik, yang dari situ kemudian mendorong terjadinya korupsi. Agama mengatur segenap potensi sumber kekayaan alam (SDA) yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ajaran agama yang juga diperkuat pasal 33 UUD 1945 ini sudah lama dilanggar. Ketika pengelolaan SDA diserahkan kepada asing dan swasta, maka selain menyuburkan anasir korupsi, sekaligus menjauhkan rakyat dari sejahtera. Menko Polhukkam Mahfud MD mengatakan, sekiranya pengelolaan SDA dilakukan dengan benar dan celah-celah korupsi di sektor pertambangan saja dapat dicegah, maka penduduk Indonesia yang lebih 250 juta jiwa ini tanpa kecuali dapat disubsidi oleh negara Rp20 juta per orang per bulan tanpa harus bekerja, belum sektor-sektor lain.
Agama mengatur jabatan publik tidak boleh diperebutkan dengan mempromosikan diri berlebihan lewat Pemilu atau Pilkada, tidak boleh diperjualbelikan dengan politik uang dan politik dagang sapi, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Agama mengatur rekrutmen pegawai dan pejabat publik harus berdasarkan kejujuran dan keahlian, karena kalau diabaikan akan terjadi kekacauan dan ketidakberesan urusan, tetapi hal ini lagi-lagi diabaikan. Akibatnya, pejabat publik terpilih tidak selalu orang yang jujur, amanah, ahli dan profesional seperti kehendak agama.
Agama juga mengatur pendidikan bersifat universal dan tak boleh ada diskriminasi karena perbedaan status sosial masyarakat. Yang terjadi, komersialisasi pendidikan semakin kentara. Beragam biaya dan pungutan, terus terjadi. Akhirnya, dunia pendidikan yang kita harapkan sebagai benteng utama antikorupsi, justru semakin mahal dan mendidik bibit-bibit korupsi. Masih banyak contoh lain yang tak akan habis dibutiri.
Dalam keadaan agama yang sejak awal tidak digunakan mencegah korupsi secara dini, maka ketika korupsi terjadi tentu tidak tepat agama dikatakan gagal menanggulangi korupsi.
Beberapa Contoh
Semua agama mengajarkan kebaikan dan mencegah keburukan. Agama apa pun yang dianut, sebenarnya bisa dijadikan instrumen mencegah korupsi. Ratu Sima Sanjaya, sebuah dinasti Hindu sebelum Singosari dan Majapahit, terkenal sangat adil kepada rakyat dan tegas pada pejabat. Siapa pun yang bersalah, menzalimi atau termakan hak rakyat, dihukum berat. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Hasilnya, Ratu Sima berhasil menjadikan rakyatnya sejahtera, adil dan makmur. Barang berharga seperti emas perhiasan di taruh di jalan pun tak ada orang yang berani atau mau mencurinya.
Ashoka (300-232 SM) adalah raja ketiga dari Dinasti Maurya India, cucu dari Chandragupta Maurya. Ia pemeluk agama Budha taat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai dharma dari agamanya. Di masa kekuasaannya, kebenaran, keadilan, kebajikan dan antikekerasan dipegang teguh. Ashoka hanya mengangkat para pejabat publik yang disebutnya ”pejabat dharma”, yang selalu berpegang pada kebenaran dan kejujuran. Hasilnya, Ashoka berhasil memakmurkan rakyat, dan keteladanannya sebagai penguasa bersih berhasil mencegah korupsi sekecil apapun.
Kaisar Konstantinus Agung (280-337 M) dan Justinianus (483-565 M) adalah kaisar-kaisar Romawi yang terkenal bersih dan adil. Agama Kristen yang dianutnya di Imperium Romanum dan Byzantium berhasil diimplementasikan dalam praktik pengelolaan negara.
Khazanah Islam di antaranya mengenal keteladanan Dua Umar. Umar bin Khattab sangat tegas, sederhana dan jujur. Ia menolak dinaikkan gajinya, dan urung berutang ke kas negara untuk membelikan baju anaknya dengan jaminan gaji ke depan, karena tak bisa menjamin ia masih hidup di bulan berikutnya. Ia marah kalau fasilitasnya sebagai khalifah melebihi Rasulullah dan rakyat biasa. Dan Umar bin Abdul Aziz terkenal pula karena hal yang sama. Kekayaannya jauh merosot setelah menjadi khalifah. Ia mengancam istrinya akan dicerai jika hidup mewah. Di masanya, tak ada korupsi. Rakyat hidup sejahtera, sehingga orang-orang berzakat kesulitan menyalurkan hartanya karena rakyat sejahtera semua. Rakyat bersatu karena semua sejahtera dan tidak ada kesenjangan. Ia hanya butuh 2,5 tahun memerintah untuk membereskan negara yang sebelumnya korup.
Jadi, kalau ajaran agama dihayati, diamalkan dan diimplementasikan secara benar dan komprehensif dalam pengelolaan negara, maka agama dapat dijadikan instrumen untuk tidak saja mencegah korupsi tapi sekaligus menyejahterakan rakyat. Persoalannya, selama ini para pejabat kita lebih menjadikan agama hanya sebagai alat bahkan tak jarang justru mempolitisasi agama untuk kekuasaan. Kitab suci hanya dijadikan alat formal dalam sumpah jabatan, sesudah itu agama tidak lagi jadi acuan tindakan. Ibadah dilakukan sebagai kewajiban formal dan tampilan kulit saja, belum merasuk ke hati dan teraplikasi dalam perbuatan. Akibatnya berbagai penyimpangan masih terjadi, termasuk korupsi yang terus menjadi-jadi.
Rasulullah SAW memperingatkan, jika shalat tidak mencegah orang dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya tidak ada shalat baginya. Jadi, jika agama ingin diberi peran dalam penanggulangan koriupsi, ajarannya harus dihayati dan diaplikasikan secara komprehensif dan integral, tak saja dalam kehidupan individu tetapi juga dalam sistem pengelolaan negara.
