Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Masjid Berdaya dan Ramah Anak

×

Masjid Berdaya dan Ramah Anak

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Pengurus DMI, FKKIC dan MUI Kalsel

Tiga tahun lalu, tepatnya 22 Februari 2020, berlangsung Musyawarah Wilayah (Muswil) Dewan Masjid Indonesia (DMI), Forum Komunikasi Kerjasama Islamic Center (FKKIC) dan Badan Koordinasi Majelis Taklim Masjid (BKMM) Provinsi Kalimantan Selatan di Aula Palimasan Gedung H Djok Mentaya Banjarmasin Post Group. Selain pemilihan pengurus, muswil tersebut juga menghadirkan dua narasumber pusat, yaitu Sekjen PP DMI, H Imam Ad-Daruqutni MA dengan tema “Mendorong Masjid Berdaya dan Ramah Anak”, dan H Ahmad Syafi’i Mufid MA (alm), yang saat itu menjadi Waketum PP FKKIC dan Ketua Indonesian Institute for Society Enpowerment, dengan tema “Membangun Masyarakat Maju dan Berkeadaban melalui Peningkatan Manajemen Masjid”.

Kalimantan Post

Tema di atas sangat urgen dibahas dan ditindaklanjuti, minimal karena : Pertama, jumlah masjid di Indonesia sangat banyak dan karenanya potensi yang dikandungnya juga sangat besar. HM Jusuf Kalla sebagai Ketua DMI Pusat menekankan, karena saking banyaknya jumlah masjid di Indonesia maka secara pasti tidak diketahui, Yang Maha Mengetahuinya hanya Allah SWT. Sebab, di saat mau dihitung di saat itu pula dibangun masjid-masjid baru, baik perubahan dari langgar/mushalla maupun yang dari awal memang dibangun untuk masjid. Relativitas jumlah masjid ini mungkin sama dengan jumlah penduduk, sebab ketika kita menghitung atau melakukan sensus, maka di saat itu sudah lahir lagi sejumlah bayi. Sekadar patokan banyaknya jumlah masjid, dapat dilihat data yang ada di Kalimantan Selatan. Saat ini dan ini pun relatif, jumlah masjid 2.590 buah dan langgar 7.587 buah. Kota Banjarmasin memiliki lebih dari 200 masjid dan 791 langgar, Kabupaten Banjar 350 masjid dan 1.085 langgar dan Kota Banjarbaru 79 masjid dan 236 langgar, dan seterusnya.

Kedua, meskipun jumlah masjid sangat banyak, namun pada umumnya belum menunjukkan fungsinya yang optimal sebagai pusat ibadah dan pembinaan umat. Diantaranya masjid dimaksud kurang berdaya dan ramah anak. Hal ini disebabkan kelemahan dalam banyak hal, mulai dari aspek manajemen, daya dukung sumber daya manusia, sumber dana, juga cara berpikir pengurus, ulama dan masyarakat sekelilingnya.

Memberdayakan Masyarakat

Masjid berdaya adalah masjid yang mampu memberdayakan masyarakat di sekelilingnya, dan di saat yang sama masyarakat juga mampu memberdayakan masjid tersebut sehingga dapat menjalankan fungsinya secara maksimal.

Baca Juga :  KEBANGKITAN UMAT

Saat ini jujur diakui masih banyak warga masyarakat di sekitar masjid, di perkotaan maupun pedesaan, kurang berdaya, tidak maju dan terlambat perkembangannya. Meskipun baru-baru ini, Amerika Serikat telah mencoret (mengubah) status Indonesia sebagai negara berkembang dan memasukkannya bersama Cina ke dalam jajaran negara-negara maju, namun fakta yang terlihat di lapangan masih sebaliknya. Masih banyak masyarakat khususnya umat Islam yang berada dalam taraf hidup menengah bawah, terutama dilihat dari kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya, yang semuanya merupakan indikator manusia berkualitas. Semua itu tidak berdiri sendiri, ada banyak penyebabnya, yang jelas akibatnya tidak menguntungkan.

Pemerintah telah melakukan beberapa terobosan untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung tersebut, misalnya melalui program Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan, bantuan beras, bantuan langsung nontunai dan bantuan sosial lainnya. Tetapi persentasi antara yang membutuhkan dengan yang mendapatkan masih jauh. Artinya mengharapkan seratus persen pemerintah mengatasi masalah sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan, rasanya mustahil terwujud. Di sinilah perlunya bantuan dan peran masjid untuk ikut serta memberdayakan masyarakat, dan hal ini sudah mampu dilakukan oleh beberapa masjid di Indonesia seperti Masjid Jogokarian Yogyakarta, Masjid Namira Lamongan, Masjid Al-‘Azham Tangerang dan sebagainya.

Agar masjid dapat mengoptimalkan perannya, tentu sumbangan para donator perlu terus ditingkatkan. Di sini diperlukan jihad harta bagi kalangan masyarakat, terutama yang berpunya, karena semakin banyak yang didonasikan untuk masjid, maka pengurus masjid juga semakin leluasa mendistribusikan dana tersebut untuk membantu masyarakat sesuai kebutuhannya. Saldo dana masjid tersebut tidak perlu menumpuk dan tidur dalam kas masjid atau disimpan di bank, tidak perlu pula terlalu difokuskan untuk menambah dan merenovasi bangunan fisik, memperindah dan mempercantik masjid karena tidak ada dalil yang memerintahkannya, melainkan harus segera disalurkan untuk pemberdayaan masyarakat.

Apabila masjid mampu memberdayakan masyarakat, maka masyarakat akan terbangun kesadaran beragamanya. Fakta menunjukkan warga masyarakat yang semula abangan, tidak mau shalat dan enggan ke masjid, ketika masjid memperhatikannya, mereka pun menjadi pemeluk agama yang taat, suka ke masjid, baik untuk shalat berjemaah maupun kegiatan kemakmuran masjid lainnya. Sebaliknya, ketika masjid acuh tak acuh, maka warga pun acuh tak acuh, asing dengan masjid, sehingga ia hanya ke masjid ketika jenazahnya dishalatkan. Kita ingin orang-orang aktif ke masjid selagi hidup, bukan sesudahnya.

Baca Juga :  Perlawanan Membebaskan Palestina

Masjid Terbuka

Penting juga digarisbawahi terkait pengelolaan masjid adalah perlunya masjid terbuka. Keterbukaan itu ditandai misalnya dengan pemberian fasilitas, pelayanan dan keramahan petugas masjid terhadap semua tamu Allah (jemaah), tanpa membedakan apakah mereka orang dewasa, tua atau anak-anak, laki-laki atau perempuan, orang kaya, miskin atau gembel sekalipun. Tulisan-tulisan yang sifatnya larangan, misalnya dilarang membawa anak bayi ke masjid, dilarang tidur di masjid, dilarang mandi di masjid, dilarang makan-minum di masjid, masjid yang terkunci dan padam lampunya dan sebagainya, sudah waktunya dihilangkan, berganti dengan sikap dan fasilitas yang mencerminkan keramahan, inklusivisme dan keterbukaan. Sejarah Masjid Nabawi Madinah dan Masjid al-Haram Makkah, masjid sangat terbuka, dan hal tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Risiko kehilangan dapat dihindari kalau masjidnya ramai.

Saat ini kita melihat banyak anak berkeliaran sesudah pulang sekolah. Hanya sebagian yang terakomodasi dalam kegiatan pembelajaran TK/TP Al Qur’an, Diniyah dan sebagainya. Selebihnya asyik dengan permainan yang sia-sia, bermain HP, tiktok dll. Kita ingin mereka ini dapat ditarik ke dalam kegiatan masjid, apa pun bentuknya sepanjang positif. Masjid yang baik bukannya masjid yang sunyi-sepi, sehingga jemaah khusyu’ beribadah, melainkan masjid yang ramai dan makmur. Kalau perlu selama 24 jam nonstop selalu ada kegiatan yang bermanfaat untuk pembinaan masyarakat, generasi muda dan anak-anak. Tidak apa-apa mereka berisik, sepanjang tidak terlalu ribut saja. Jangan gara-gara senang bermain lantas anak-anak dilarang ke masjid, atau pengurus masjid memarahi sehingga mereka jera atau takut ke masjid.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memperingatkan, apabila di masjid tidak ada lagi tawa dan canda ceria anak-anak, maka tunggu 20 tahun ke depan, masjid itu akan sunyi dan kehilangan jemaahnya. Kekuatan umat terletak pada banyak dan solidnya jemaah masjid. Kalau masjid besar dan indah tapi sepi jemaah maka itu tanda kemunduran Islam, sekaligus tanda akhir zaman. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan