Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku-buku sejarah dan budaya Banjar
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Alquran pertama kali. Ayat pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw adalah surah al-‘Alaq ayat 1-5. Pakar literasi nasional Satria Dharma tanpa ragu mengatakan, ayat tersebut merupakan ayat literasi bagi umat Islam. Ia mengistilahkan, reading is the first commandment of Islam. Dari perintah ini mestinya umat Islam berada dalam urutan nomor satu dalam hal kerajinan membaca, melebihi umat-umat dan bangsa-bangsa lain.
Jadi, meskipun pilar agama Islam adalah tauhid, ternyata wahyu pertama yang diturunkan oleh Alah SWT kepada Nabi Muhammad saw adalah perintah membaca. Dari membaca akan diperoleh ilmu pengetahuan, dari ilmu itulah dijalankan amal dan berbagai sisi kehidupan lainnya. Beramal tanpa ilmu bisa sia-sia dan kurang makna.
Nabi SAW dan para sahabat, berusaha untuk mengamalkan perintah membaca. Beliau selain berdakwah secara lisan, juga menyampaikan seruan Islam lewat tulisan, yang disampaikan kepada para raja, kaisar dan pembesar di sekitar jazirah Arab, diantaranya Kaisar Romawi dan Persia, gubernur Mesir dan sebagainya. Beliau memiliki tim penulis, seperti Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit dan bertugas menulis surat-surat dakwah Nabi, juga membaca dan menerjemahkan surat-surat balasan. Zaid bahkan beliau suruh mempelajari tulisan bahasa Ibrani dan Suryani supaya mudah berkomunikasi dengan orang-orang Yahudi dan sebagainya.
Ulama Islam di abad-abad sesudahnya semakin gencar menjadikan media tulisan sebagai media dakwah atau syiar Islam. Ratusan ulama mengarang ribuan kitab yang tersebar ke segenap pelosok wilayah Islam, sehingga tradisi literasi di kalangan umat Islam semakin kuat dan kaya. Semua itu lahir tentu karena kegigihan menggali ilmu, sehingga semakin diperlukan saluran dan media perantaranya kepada umat berupa kitab atau buku. Tak hanya ilmu agama dalam arti sempit, tetapi juga berbagai ilmu dan teknologi sehingga banyak sekali temuan ilmiah saat itu.
Sayang sekali, beberapa kekhalifahan Islam mengalami masa-masa kejatuhan. Seperti jatuhnya kekhalifahan Bani Abbasiyah yang beribukota di Baghdad (1258 M) oleh serangan bangsa Mongol Tartar. Di samping jutaan orang yang dibunuh, juga ratusan ribu buku dibakar, dihancurkan dan dibuang ke sungai Tigris-Irak, sehingga sungai itu berwarna hitam dan hijau oleh lunturnya tinta.
Teladan Ulama Banjar
Ulama Banjar yang lama menuntut ilmu di Timur Tengah, diantaranya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah contoh ulama dengan kemampuan dan warisan literasi luar biasa. Banyak karya beliau yang bisa kita nikmati harini, diantaranya kitab Sabilal Muhtadin dan Tuhfatur Raghibin yang tersebar luas di khususnya di Asia Tenggara. Anak cucu beliau seperti Syekh Jamaluddin juga terkenal dengan kitab Parukunan yang tersebar luas hingga ke tanah Melayu Sumatra. Ustadz Abdul Somad sering menyinggung keunggulan ulama Banjar dalam berkarya tulis. Ust Dr Abie Audah menyebut di antara keunggulan karya-karya ulama Banjar adalah menggunakan Bahasa Melayu dan bernuasa lokal, dengan tulisan huruf Arab-Melayu (Jawi), sehingga cocok dan mudah dipahami oleh orang-orang Melayu Nusantara.
Belum lagi nama-nama lain seperti Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan karya al-Durr al-Nafis, Syekh Abdurrahman Siddiq Mufti Indragiri dengan Amal Ma’rifah dan masih banyak lagi. Belakangan, alm KH Muhammad Sarni (Alabio) dan KH Ahmad Fahmi Zamzam (Pengasuh Ponpes Yasin Banjarbaru) dll, juga banyak mengarang kitab dengan tulisan Arab-Melayu.
Di tengah kelangkaan bahan bacaan dan masih sederhananya teknologi penulisan dan percetakan di masa lalu, ternyata para ulama Banjar dahulu mampu melahirkan karya-karya bermutu dan monumental. Mereka semua pandai menulis buku, tentu juga karena rajin membaca berbagai literatur. Tidak mungkin mereka mengarang kitab/buku dengan “bahapal alias mangaradau”.
Medsos Pelengkap
Hari ini kita menyaksikan betapa melimpahnya bahan bacaan, baik berupa kitab, buku, majalah, suratkabar dan berbagai media online. Namun sayang, hal itu belum diimbangi oleh minat baca dan minat tulis yang tinggi di kalangan masyarakat muslim, khususnya di tanah Banjar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNESCO menyatakan bahwa hanya satu orang dalam 10 ribu orang Indonesia yang rajin membaca. Namun di pihak lain, dari 250-an juta penduduk, lebih 100 juta memegang gadget, yang mereka tatap sampai 9 jam sehari. Mengingat mayoritas penduduk Indonesia muslim, tentu problema itu menjadi masalah utama bagi umat Islam. Terlebih muslim Banjar yang sejak dulu lebih suka mendengar dan menonton saja daripada membaca. Salahsatu “keunggulan” urang Banjar hampir semuanya memegang Hp, bahkan anak bayi dan bocah yang tak tahu apa-apa saja pegang Hp.
Kenyataan ini tambah parah, karena di tengah kemajuan media sosial sekarang, ada yang menganggap membaca buku/kitab bukan zamannya lagi. Penulis agak terkejut, ada anak bocah –entah diajari oleh siapa– mengatakan, sekarang bukan zamannya lagi membaca buku, sebab sudah ada Hp dan segala macam alat bermuatan teknologi informasi. Sebenarnya, buku tetap utama, bukan ketinggalan zaman, hanya perlu juga dilengkapi dengan media online, sebab di sana juga banyak ilmu, seperti bisa kita akses pada jurnal dan electronic-book. Seorang kepala perpustakaan nasional mengatakan, cerdas yang sebenarnya adalah jika ilmunya bersumber dari buku (berbasis kertas), termasuk majalah, bulletin, surat kabar dll, bukan pintar hasil mengakses ilmu dan informasi dari media online atau dunia maya saja.
Membaca melalui media sosial tentu juga memungkinkan, karena pengetahuan juga banyak disebarkan melalui media sosial. Akan tetapi, media sosial juga banyak berisi hoaks, kabar bohong atau berita-berita yang sulit dipertanggungjawabkan akurasi dan kekuatan dasar literasinya. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari media sosial memerlukan penyaringan, seleksi dan verifikasi lagi, namun masyarakat kita lemah dalam hal yang satu ini, disebabkan lemahnya literasi dan adanya rasa malas untuk menggali ilmu dari sumbernya yang utama. Belum lagi ilmu dan data di media maya gampang sekali hilang karena dimakan virus, hp rusak, terdelete, atau sengaja kita hapus karena ruang memori hp kita penuh.
Jika umat Islam ingin maju, mereka harus membangun kembali semangat literasi yang diwariskan oleh agama dan ulama terdahulu. Mereka harus proaktif menggali ilmu secara objektif, mendalam dan luas, kemudian aktif menyebarkannya secara bertanggung jawab kepada umat. Umat pun harus merespon berupa minat baca yang tinggi. Dengan begitu ilmu dan informasi keislaman, akan muncul dari umat, oleh umat dan untuk umat, sehingga syiar Islam semakin berkembang. Sekaligus juga mengcounter kalau ada tulisan-tulisan dan opini yang menyalahkan Islam akibat kesalahpahaman dan phobia terhadap Islam. Kemauan untuk membaca buku, majalah dan informasi yang berasal dari umat Islam, selain akan menumbuhsuburkan dunia literasi umat dan menyemarakkan syiar Islam, sekaligus juga menyelamatkan media-media milik umat Islam dari kebangkrutan dan kematian.
Saat ini dunia perbukuan, permajalahan dan persuratkabaran banyak menghadapi tantangan berat, bahkan tidak sedikit yang berhenti terbit dan menurunkan produksinya, disebabkan lemahnya literasi dan menurunnya minat baca. Tidak ada kesadaran dan tanggung jawab umat untuk membangkitkan literasi sebagai sumber peradaban yang utama. Padahal kalau umat ini mau maju dan kuat, mereka harus menguasai informasi dan sekaligus sumber informasinya, bukan sebagai penonton dan pemain pinggiran saja. Kalau hal ini dibiarkan maka syiar Islam akan meredup dan merugikan umat Islam sendiri.
Tradisi negara-negara barat dan timur jauh yang masyarakatnya sudah maju tapi masih rajin membaca buku dan surat kabar sampai usia tua, tentu seharusnya menjadi tradisi umat Islam sendiri, sebab agamanya sudah mengajarkan yang demikian sejak berabad-abad lampau. Kalau kita malas membaca, berarti perintah membaca yang diwahyukan pertama sekali oleh Allah belum kita amalkan dengan benar. Wallahu A’lam.