Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pendidikan Keluarga Perspektif Islam vs Barat

×

Pendidikan Keluarga Perspektif Islam vs Barat

Sebarkan artikel ini

oleh: Ghufran Jauhar S.IP
*)Mahasiswa STDI Imam Syafi’i Jember

Pernikahan merupakan suatu kebutuhan dasar setiap manusia yang diikat dengan ikrar janji suci untuk saling berkomitmen. Melalui pernikahan ini, setiap insan dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya dan mempertahankan eksistensinya berupa anak keturunan. Melalui ikatan pernikahan, setiap insan akan mengharapkan untuk mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan kebahagiaan. Disamping itu, pernikahan harus dijalani dengan serius. Hal ini dikarenakan di dalam pernikahan terdapat unsur tanggung jawab dan keimanan kepada Allah.

Baca Koran

Pernikahan mengisyaratkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, di mana perbedaan tersebut akan menghasilkan keserasian dan keharmonisan. Keserasian dan keharmonisan yang dimaksud adalah suatu upaya untuk saling melengkapi satu dan lainnya, bukan justru menuntut kesetaraan. Di antara bentuk keserasian dan keharmonisan adalah terciptanya keluarga sebagai institusi pendidikan pertama bagi seorang anak, sehingga anak mendapatkan pendidikan dari dua karakter yang berbeda yang akan membentuk jiwanya kelak, di mana seorang ayah akan mengajarkannya sikap kedisplinan dan ketegasan dan seorang ibu akan mengajarkannya sikap kelembutan.

Suatu fenomena yang cukup mengherankan terjadi dewasa ini di mana konsep keluarga yang harmonis dikaburkan oleh pengaruh paham keluarga Barat yang menuntut adanya kesetaraan. Konsep ini menuntut adanya kesetaraan dari segala sisi di dalam keluarga, sehingga konsep harmonis yang tercipta dengan saling melengkapi dan saling menunaikan hak serta kewajiban antar suami dan istri menjadi bias. Mereka menganggap bahwa peran seorang wanita sebagai ibu yang melahirkan, mengurus anak dan melayani suami tidak setara dengan peran lelaki yang hanya mencari uang. Mereka memandang bahwa keadaan ini hanya akan menimbulkan kesenjangan. Konsep seperti ini tentunya bertentangan dengan konsep Islam dalam mendefinisikan keluarga.

Dikutip dari majalah Better Homes dan Gardens di Amerika tentang tingkat kepuasan hidup berumah tangga di Amerika Serikat bahwa 85% pembacanya menyatakan bahwa harapan mereka akan keluarga yang harmonis belumlah terpenuhi, dan 7,6% lainnya menyatakan bahwa banyak masalah yang dihadapi dalam keluarganya. Problem keluarga di Barat sebagaimana yang dicontohnya oleh Prof. Hamid Fahmy dalam bukunya Misykat: refleksi Tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi, “mengenai Nancy yang memiliki kebingungan antara memilih hidup sendiri atau berkeluarga. Ia merasa hidup sendiri lebih nyaman daripada berkeluarga. Nancy beranggapan bahwa kesuksesan suaminya membuatnya merasa inferior dan tertindas, sehingga ia memilih untuk berpisah dan mengurus karir dan anaknya sendiri.” Disamping itu, terdapat ketidakstabilan rasio pernikahan juga menjadi problem di Barat. Salah satu penyebabnya adalah adanya kekacauan prilaku seksual di tengah masyarakat. Banyak di antara mereka yang menganggap bahwa pernikahan adalah opsi kedua. Sedangkan opsi pertama adalah seks, memuaskan nafsu birahi terlebih dahulu. Dengan demikian terjadi seks bebas dimana-mana tanpa tebang pilih, bahkan hamil di luar nikah menjadi hal yang lumrah, dimana perempuan Barat menjadi objek pemuas hawa nafsu.

Baca Juga :  Cermin Retak Otonomi Daerah

Konsep keluarga yang kacau di Barat berimplikasi terhadap meningkatnya kejahatan seperti pemerkosaan, penyalahgunaan obat-obatan, perselingkuhan hingga aborsi yang semakin meningkat. Kebobrokan konsep ini tidak lain muncul akibat usaha mereka untuk memisahkan urusan agama dan kehidupan, dimana mereka menganggap bahwa agama hanyalah angan-angan serta ilusi belaka. Dijelaskan bahwa model keluarga di Barat memiliki sejumlah bentuk, diantaranya: 1). Melajang, karena lebih memilih karier 2). Cohabitation, yaitu orang-orang yang memilih hidup bersama tanpa ada ikatan pernikahan, 3). Rumah tangga “bebas anak”, dimana mereka beranggapan bahwa memiliki anak hanyalah menjadi beban yang membuat kehidupan mereka tidak bebas karena sejumlah tanggung jawab yang harus dipikul. Dengan demikian, konsep Barat menggambarkan bahwa setiap orang bebas ingin memilih model kehidupannya sendiri tanpa perlu memikirkan adanya hukum dan tanggung jawab yang mengikat. Adapun mereka yang memilih untuk menikah karena didorong rasa ingin mencari kesenangan dan kenikmatan, sehingga apabila pernikahan dirasa tidak dapat membawa kesenangan, maka ia pun akan memilih hidup sendiri. Problem lainnya yang berkembang di Barat adalah munculnya kelompok feminism, HAM, LGBT yang saling membahu menggungat kemapanan tentang isu nilai, keluarga dan pernikahan, di mana mereka mengutamakan arus kepuasan individu dengan mendongkrak konsep kesetaraan dan menuntut penghapusan konsep patriarkhi, serta menolak adanya keterlibatan agama yang mengatur “tubuh mereka” dengan motto: “my body, my choise, my pleasure.”

Keluarga merupakan suatu persoalan yang fundamental. Demi mewujudkan keluarga yang ideal, seseorang harus menjadikan keluarganya sebagai tempat tinggal senyaman mungkin. Disamping itu, keluarga juga harus memiliki nilai-nilai yang dibutuhkan untuk menjaga ketahanan dan keutuhan yang dibangun seperti keseimbangan jiwa antara suami dan istri yang saling mengetahui kewajibannya sebagai orang tua terhadap anaknya. Pernikahan memerlukan bentuk yang pasti yang disebut dengan “pernikahan yang bertanggung jawab” yaitu pernikahan yang melahirkan rasa tanggung jawab antar suami dan istri demi keutuhan keluarga dan anak-anaknya yang didukung dengan keteguhan dalam mengikuti ketentuan agama. Ketika seseorang menghilangkan nilai-nilai agamanya dalam dirinya, maka hal itu akan menyebabkan jiwanya rusak. Dengan demikian, termasuk sebuah kemustahilan apabila kesehatan kepribadian dan jiwa tidak dibangun di atas agama dan keimanan yang kuat, sehingga sebuah keluarga yang tidak memegang teguh agamanya akan mudah goyah dan terombang-ambing oleh tipu daya dunia.

Baca Juga :  Jalan Rusak, Nyawa Terancam: Bukti Negara Abai Melayani Rakyat?

Penanaman nilai-nilai agama dalam keluarga memerlukan metode dan lingkungan yang baik. Orang tua perlu memberikan latihan-latihan keagamaan untuk menumbuhkan nilai-nilai dan rasa aman pada anak seperti memberikan contoh pembiasaan berperilaku baik, dan berbuat adil pada anak. Kemudian, penanaman nilai-nilai agama terhadap anak harus dimulai sedari kecil agar ketika anak tumbuh dewasa akan tertanam dalam dirinya nilai-nilai religius sehingga akan membuatnya lebih mudah mencerna ilmu agama ketika ia dewasa. Dengan demikian, apabila keluarga telah dibangun diatas pondasi nilai-nilai agama yang kuat, maka akan menstimulus keluarga tersebut untuk senantiasa berbuat kebaikan yang dapat menghalangi keluarga tersebut dari hal-hal yang kurang bermanfaat. Wallahu a’lam.

Iklan
Iklan