Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Dukungan Istri kepada Suami dalam Pendidikan Tinggi

×

Dukungan Istri kepada Suami dalam Pendidikan Tinggi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Wanita, Keluarga dan Pendidikan Anak”

Sekarang ini dunia pendidikan sudah semakin maju, sejak pendidikan prasekolah hingga pendidikan tinggi (S1, S2, S3). Tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan pun semakin merata dan meningkat, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Boleh dikatakan sekarang ini, jika memang ada kemauan dan kemampuan, tidak ada lagi halangan bagi laki-laki dan perempuan untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin, bahkan hingga ke luar negeri.

Baca Koran

Namun setelah pendidikan demikian maju, merata dan terbuka untuk kaum lelaki dan perempuan, ternyata masih ada sikap kedua jenis kelamin ini yang bernuansa negatif. Ada kaum lelaki (suami) yang melarang istrinya menempuh pendidikan (tinggi), dengan alasan tugas-tugas rumah tangga akan terabaikan, dan kalau istri berpendidikan tinggi dikhawatirkan akan (mengatasi) suami. Ketika pendidikan, karier, dan penghasilan istri lebih besar, suami sebagai kepala rumah tangga akan kehilangan harga diri, begitu kira-kira. Di sisi lain ada pula kaum perempuan (istri) yang juga melarang suaminya berpendidikan tinggi, dengan berbagai alasan, seperti dibahas tulisan ini.

Tidak Mendukung

Apabila terbiasa membaca kata pengantar karya tulis ilmiah di perguruan tinggi, khususnya selevel tesis (S2) atau disertasi (S3), baik yang masih berupa naskah maupun sudah dicetak dalam bentuk buku, sering ditemui ucapan terima kasih sang suami kepada istrinya yang telah memberinya dukungan moral selama menjalani perkuliahan. Atau terima kasih ayah kepada anak-anaknya yang bersedia dikurangi waktu bersama, perhatian dan kasih sayang.

Dukungan moral itu misalnya berupa motivasi, semangat, kesabaran, serta berbagi biaya, antara kebutuhan nafkah keluarga (rumah tangga) dengan biaya kuliah. Meskipun di antara suami yang menempuh pendidikan pascasarjana ada yang difasilitasi dengan beasiswa, tetap saja agak “mengganggu” nafkah keluarga, terlebih bagi suami yang tidak lagi mendapatkan pemasukan karena fokus menjalani perkuliahan.

Dukungan lainnya adalah kesediaan istri untuk berpisah dalam waktu yang relatif lama dengan suami, terutama bagi suami yang menempuh pendidikan tingginya di luar daerah dan luar negeri. Perpisahan suami istri demikian bukanlah perkara mudah bagi keduanya. Seorang akademisi yang sudah almarhum bercerita kepada penulis, ia gagal kuliah di sebuah negara Timur Tengah, karena istri selalu memintanya pulang dengan berbagai alasan. Akhirnya ia hanya beroleh ilmu, tetapi tidak sempat meraih gelar yang diinginkan.

Baca Juga :  Pemimpin Indonesia Berganti, Isu Palestina Tetap di Hati

Ucapan terima kasih tentu sudah seharusnya, karena dukungan istri besar artinya bagi suami dalam menjalani dan menyelesaikan perkuliahannya dengan segala suka-duka. Apakah ucapan terima kasih itu tulus atau sekadar formalitas bagi sebuah karya tulis, tentu yang bersangkutan saja mengetahuinya.

Tetapi ada juga karya tulis yang penulisnya tidak mau mencantumkan ucapan terima kasih kepada istrinya. Penyebabnya, sang istri benar-benar tidak mau mendukung kuliah suaminya. Bukan saja tidak mendukung, bahkan menjegal, menghalang-halangi, tidak mau nafkah terganggu, bahkan mengancam bercerai. Akhirnya sang suami berhasil juga menyelesaikan kuliahnya dengan susah-payah. Sebagai balasan, si suami tidak mau mengucapkan kata-kata terima kasih kepada istrinya dalam pengantar karya tulisnya.

Alasan Ilusi

Terdapat beberapa alasan mengapa selama ini ada (atau banyak?) kalangan istri yang tidak merestui dan mendukung suaminya menempuh pendidikan tinggi, khususnya jenjang S2 dan S3. Pertama, istri khawatir nafkahnya berkurang, sebab banyak biaya kuliah yang harus dibayar, terutama jika suami kuliah dengan biaya sendiri. Ada yang mengatakan, “daripada membayar uang kuliah sekian juta, lebih baik memberi istri dan anak-anak yang butuh biaya”. Kedua, dengan menempuh kuliah lanjutan S2 dan S3, pekerjaan dan jabatan yang ada akan tertinggalkan dengan risiko penurunan penghasilan, sementara jabatan tersebut belum tentu akan didapatkan lagi setelah pendidikan selesai. Sudah menjadi rahasia umum, banyak pegawai dan pejabat yang kehilangan jabatannya setelah merampungkan pendidikannya di luar, sehingga ada yang berpendirian lebih baik dengan gelar kesarjanaan seadanya asalkan jabatan tetap di tangan.

Ketiga, tidak sedikit pula kalangan istri khawatir suaminya yang kuliah lagi akan melupakan istri di rumah. Sudah lumrah pendidikan tinggi S2 dan S3 diisi oleh mahasiswa beragam usia, ada yang sudah relatif tua ada yang masih muda. Ada yang sudah punya pasangan, ada pula yang jomblo. Istri khawatir dengan kuliah lagi, suami akan berpacaran atau berselingkuh dengan perempuan-perempuan muda, baik teman kuliahnya maupun perempuan lain yang menarik hatinya, sementara si istri merasa dirinya sudah beranjak tua, yang secara fisik tidak lagi menarik bagi suaminya.

Baca Juga :  Pahlawan Kebudayaan dan Kesenian (Mengenang Titiek Puspa)

Keempat, istri khawatir suami yang terlalu tinggi pendidikannya, tidak lagi menghargai sang istri. Pergaulannya semakin berkelas, bahasanya tinggi, komunikasi tidak lagi nyambung. Kalau ini terjadi alamat rumah tangga terganggu keharmonisannya, hambar seperti sayur kurang garam, datar seperti lapangan bola, bahkan tidak jarang diselesaikan melalui perpisahan dan perceraian. Hal-hal begini tentu tidak bisa dipukul rata, dalam arti banyak saja suami yang pandai menyesuaikan diri meskipun istri berpendidikan relatif rendah.

Kekhawatiran lainnya, karier suami yang akan meningkat mengakibatkan suami nanti jarang di rumah. Istri juga menghantui suami dengan pesimisme, buat apa kuliah lagi, bukankan umur sudah relatif tua. Lebih baik bersiap dengan amal ibadah untuk sangu mati.

Tawaran Solusi

Pendidikan tinggi sangat penting dan menjadi kata kunci bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Karena itu suami istri hendaknya saling mendukung apabila pasangannya ingin meningkatkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Beberapa kekhawatiran di atas tidak perlu terjadi. Solusinya, suami hendaknya tetap setia kepada istrinya yang setia. Istri adalah “padaringan”, sumber rezeki, doa mereka sering menjadi pembuka kesuksesan suami. Tidak sedikit suami sukses justru karena ada istri hebat dan salehah di belakangnya.

Istri tidak perlu curiga dan khawatir berlebihan kepada suaminya. Bagaimana pun kemajuan suami hakikatnya kemajuan istri juga. Suami yang reputasi, karier dan jabatannya naik karena pendidikannya meningkat, ujung-ujungnya juga menguntungkan istri dan keluarga, baik dari segi penghasilan, reputasi, citra dan status sosial.

Dalam pandangan agama, siapapun yang keluar rumahnya atau daerahnya untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai kembali (selesai) pendidikannya. Nilai ibadah yang dikandungnya sangat besar, bahkan melebihi ibadah-ibadah lainnya. Jadi, istri yang mendukung kuliah suaminya, atau siapa pun yang berkontribusi terhadapnya, hakikatnya ikut berjuang di jalan Allah dan beroleh pahala. Rewardnya tak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan