Banjarbaru, KP – Teknologi modifikasi cuaca (TMC) di langit Kalsel dilaksanakan selama bulan Juli.
Tepatnya sejak tanggal 7 sampai 11 Juli dan dilanjutkan kembali tanggal 23 sampai 28 Juli. TMC sempat terhenti beberapa saat karena alasan
perbaikan pesawat.
Jika dihitung, sepanjang TMC tersebut telah menghabiskan waktu 29 jam 55 menit.
Pihak Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) selaku pelaksanakan telah melaksanakan 13 sorti penerbangan penyemaian awan dan menghabiskan
10,4 ton bahan semai.
TMC di Kalsel digeber sebelum puncak musim kemaru. Mengapa demikian ?. Menurut Koordinator Lab Pengelolaan TMC BRIN, Budi Harsoyo, upaya
pembahasan lahan gambut melalui hujan buatan lebih tepat dilakukan sebelum puncak musim kemarau.
“Agar lebih optimal, TMC dilakukan sebelum puncak musim kering,” katanya.
Jika sudah memasuki puncak musim kering, peruntukkan TMC lebih tepat kepada misi fire supression. Operasi TMC di Kalsel sendiri
direncanakan hingga akhir Juli, sehingga pada puncak musim kering lahan gambut tetap terjaga kebasahannya.
“Meski hujan terpantau minim, namun TMC terus diupayakan untuk mengoptimalkan potensi awan yang ada,” sahut Koordinator Lapangan Operasi
TMC Kalsel, Adi Bayu Rusandi.
Memasuki akhir Juli ini, gangguan meteorologis seperti keberadaan siklon tropis doksuri di sekitar perairan Filipina berdampak pada
berkurangnya potensi pertumbuhan awan di Kalsel.
“Meski begitu, kami tetap berupaya mengoptimalkan potensi awan yang ada untuk membantu pembasahan lahan gambut di Kalsel,” akunya.
Pembasahan lahan melalui TMC memang difokuskan sebagai langkah antisipasi puncak musim kering.
Hasil kegiatan TMC selama periode 7-11 Juli mampu membasahi lahan gambut di Kalsel.
Ini dibuktikan dari hasil pengukuran tinggi muka air tanah gambut yang naik 1-2 sentimeter.
Meskipun pada periode lanjutan yang dimulai pada 23 Juli hingga sekarang ada kecenderungan penurunan tinggi muka air tanah (TMAT), namun
tidak terlalu tajam. “TMAT masih di atas kategori Rawan (-0,4 m) sehingga kami harapkan saat memasuki puncak musim kemarau lahan gambut
tidak berada dalam kondisi kering yang ekstrem,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru, Goeroeh Tjiptanto, mengatakan pada 2023 dinamika atmosfer menunjukkan kondisi El
Nino lemah, dan diprediksi berkembang menjadi El Nino moderat atau menengah pada akhir tahun nanti.
“Kondisi ini berdampak pada berkurangnya curah hujan di Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan,” katanya.
Ia mengungkap, kondisi dinamika atmosfer saat ini berbeda dengan tiga tahun terakhir.
Pada 2020 sampai 2022, dinamika atmosfer dipengaruhi La Nina, sehingga mengalami kemarau basah atau kemarau dengan curah hujan di atas
normal.
“Tahun ini terjadi El Nino, maka musim kemarau terjadi dengan curah hujan di bawah normal,” ungkap Goeroeh.
Kondisi menurutnya perlu diwaspadai oleh masyarakat dan pemerintah, karena kemarau akan lebih panas dibanding tiga tahun terakhir.
“Cukup kering, namun tidak separah tahun 2015.
Suhu maksimum diprediksi 33 sampai 34 derajat Celcius,”” ujarnya.
Ia menyampaikan, sebagian besar wilayah Kalsel memasuki puncak musim kemarau pada bulan September.
“Hanya di bagian selatan Tabalong dan bagian barat Balangan yang puncak musim kemaraunya pada bulan Agustus,” jelasnya.(mns/K-2)