BANJARMASIN, kalimantanpost.com – Pengunjung mengeluhkan mahalnya Harga Tiket Masuk (HTM) ke Kampung Ketupat di Jalan Sungai Baru Banjarmasin yang baru dibuka sekitar satu pekan lalu (29/06/2023).
Tarif masuk tempat wisata kampung ketupat sebesar Rp15.000 pada hari biasa dan Rp20.000 rupiah pada akhir pekan
Ungkapan rasa kecewa terhadap tempat wisata tersebut ramai disampaikan melalui media sosial.
Dikutip dari media sosial Wisata Kampung Ketupat, postingan instagram kampung.ketupat empat hari lalu, dari 21 buah komentar, sejumlah akun terpantau mengeluhkan harga yang terlalu mahal.
“Semalam ke sana, di kira gratis, sekalinya bayar 25 ribu rupiah di kali ber empat jadi 100 ribu rupiah. Putar balik ae kada jadi. Kalo menurut ulun kemahalan pang lah belum lagi makan, maaf cuman saran aja kalau 5 ribu rupiah per orang bisa rami urang masukkan,” tulis najwa juhariah.
Sementara, akun deddy55 mengatakan: “harga tiket masuk sebesar 25 ribu rupiah per orang, membuatnya balik kanan karena biaya yang diperlukan 75 ribu rupiah untuk dirinya, istri dan 1 orang anak.”
Selanjutnya akun alesha.hqa juga mengeluhkan terlalu mahal. “Tadi kesini kemahalan kak, 25 ribu rupiah banyak yang mengeluh dengan mainan yang sedikit teh yang hambar, mohon maaf mungkin untuk anak harga bisa dimurahi sedikit,” tulisnya.
Wakil Ketua Komisi 3 DPRD Kota Banjarmasin, Afrizaldi mengatakan keberadaan tempat wisata kampung ketupat di Kota Banjarmasin menjadi terobosan dengan memanfaatkan ruang publik sebagai tempat wisata.
Dirinya mengaku kaget dengan adanya biaya masuk ke tempat wisata kampung ketupat dan berjanji untuk segera melakukan evaluasi terkait keluhan warga.
Menurutnya, adanya pembebanan biaya masuk harus menjadi perhatian Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olah Raga dan Pariwisata (Disbudporapar) bersama Dinas Perdagangan dan Industri (Disperdagin) terkait pengelolaan tempat wisata dan etalase UMKM dengan pihak ketiga (Investor).
Perlu dipikirkan dinas dan investor duduk bersama membahas masalah ini.
Jangan sampai keinginan untuk memberikan kontribusi kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru membebani masyarakat tutur Afrizaldi. (Mar/KPO-3)