Oleh : Ummu Wildan
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Siapa sangka tewasnya seorang remaja bisa meletupkan kerusuhan di sebuah negara besar dan menggemparkan dunia. Nahel M, remaja 17 tahun, ditembak polisi Perancis pada Juni 2023. Awal pemberitaan disebutkan bahwa polisi terpaksa melakukan penembakan karena Nahel menolak berhenti setelah polisi mencoba menahannya akibat pelanggaran lalu lintas. Belakangan bermunculan banyak aksi protes di berbagai kota oleh khalayak luas dan aktivis karena dugaan motif lain yang melatar belakangi penembakan tersebut.
Tuduhan rasisme oleh lembaga kepolisian mencapai titik kulminasi. Meskipun disangkal oleh kepolisian dan pemerintah, data menunjukkan sebaliknya. Sebuah laporan Ombudsman tentang kepolisian Perancis menyebutkan bahwa sejak hukum terkait keamanan diterapkan pada 02017, pemuda dengan tampang kulit hitam atau keturunan Afrika utara mendapatkan 20 kali lebih banyak mendapatkan pemeriksaan identitas secara rasis. Mayoritas korban meninggal akibat penembakan di tempat pemberhentian lalu lintas pun adalah orang-orang keturunan Arab dan kulit hitam.
Perancis adalah negara yang sangat memuja HAM. Sebagai negara pengusung demokrasi, mereka sangat memuja berbagai kebebasan. Kebebasan berperilaku dipuja hingga menjadikan lelaki seks lelaki dilindungi secara hukum. Begitupun pembuat karikatur yang menghina Nabi Muhammad SAW dilindungi atas nama kebebasan berbicara dan berpendapat.
Namun pada kasus Nahel M kali ini, bahkan PBB pun menyuarakan adanya rasisme. Juru bicara kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) Ravina Shamdasani mengatakan bahwa Perancis harus menyelesaikan rasisme dalam badan penegak hukum di negeri itu. Ibarat bangkai, meskipun ditutupi baunya tercium kemana-mana.
Masalah rasisme menjadi persoalan yang tidak bisa diselesaikan bahkan di negara Amerika Serikat yang menjadi kampiun demokrasi. Kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 akibat penanganan rasis oleh kepolisian memicu protes massa besar-besaran di negara itu. Di sejumlah kota bahkan sampai terjadi kerusuhan. Hal ini disebabkan kemarahan yang terpendam yang menemukan pemicu ledakannya.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Isu rasisme tidak muncul ketika Islam diterapkan. Tidak ada ras yang lebih mulia dari ras lainnya.
Dalam khutbah ketika Haji Wada, Rasulullah SAW berpesan bahwa tidak ada kelebihan orang Arab dari yang bukan Arab, yang bukan Arab dari orang Arab, yang berkulit merah dari yang berkulit hitam, yang berkulit hitam dari yang berkulit merah, selain dari ketakwaannya.
Adanya beragam bangsa dan suku adalah fitrah penciptaan Allah atas manusia. Begitupun disebutkan dalam al Qur’an bahwa kemuliaan seseorang hanyalah dipandang dari ketakwaannya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kalian”. (QS. Al Hujurat : 13)
Perselisihan antara sesama manusia tentu sesuatu yang alamiah terjadi. Namun tidaklah penilaian atas perbedaan bawaan yang diberikan oleh Allah SWT layak untuk dijadikan pemberat.
Suatu ketika dua sahabat Rasulullah saw, Abu Dzar al Ghifari dan Bilal bin Rabah terlibat dalam suatu perselisihan. Dalam pertengkaran mereka, Abu Dzar keceplosan mengucapkan, “Dasar kulit hitam! ” Bilal terluka hatinya mendengar ucapan tersebut. Ia pun mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW pun bereaksi. Rona wajahnya berubah. Ia pun menemui Abu Dzar dan menguapkan, “Sungguh dalam dirimu terdapat Jahiliyah! “
Mendengar ucapan Rasulullah SAW, Abu Dzar tersadar akan kesalahannya. Ia menangis memohon ampun kepada Allah SWT.
Abu Dzar bergegas menemui Bilal. Diletakkannya kepalanya dengan satu pipi di atas tanah. Di wajahnya ditaburkannya pasir, berharap Bilal mau menginjaknya. Sambil memohon dengan memelas; berharap dengan begitu Allah akan mengampuninya dan menghapus sifat jahiliyah dari dirinya. Hal ini justru membuat Bilal tersentuh. Abu Dzar yang berasal dari suku Quraisy yang dimuliakan berpelukan dengan Bilal, seorang mantan budak berkulit hitam.
Demikianlah pula keteladanan Rasulullah SAW ketika itu dalam menetapkan perkara atas rakyatnya. Ia menetapkan hukum yang sama tanpa memandang pada perbedaan primordial. Perbedaan yang terjadi atas kehendak Sang Pencipta.
Para pemimpin setelah Rasulullah SAW yang menerapkan sistem Islam pun mengikuti pengajaran ini. Salah satunya adalah Al Mu’tasim Billah. Beliau menurunkan bala tentara yang begitu banyak hanya untuk menyelamatkan seorang budak wanita di Amuriah yang meminta perlindungannya dari Romawi.
Kasus rasisme telah berlangsung sekian lama. Kenyataannya sistem buatan manusia yang berlaku saat ini tak pernah mampu menyelesaikannya. Bahkan negara seperti Amerika Serikat dan Perancis pun masih bergulat dengan kasus ini.
Hanya dengan kembali kepada penerapan sistem dari Sang Pencipta lah perbedaan primordial bisa menjadikan peradaban secerah pelangi yang berwarna-warni. Tidakkah kita rindu pada penerapan Islam secara kaffah?