Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Tipu-tipu Kebijakan Minyakita, Rakyat Diperdaya

×

Tipu-tipu Kebijakan Minyakita, Rakyat Diperdaya

Sebarkan artikel ini

Oleh : Devi
Pemerhati Sosial Ekonomi

Berdasarkan pantauan MNC Portal Indonesia di Pasar Baru Bekasi, Senin (29/5/2023), produk Minyakita tersedia di beberapa lapak, namun jumlahnya tidak banyak. Pedagang sembako bernama Via mengungkapkan, dalam seminggu dirinya hanya bisa menyediakan Minyakita dua dus (@dus berisi 12 pcs). Itupun dia dapatkan dari tangan ketiga yang artinya harganya lebih mahal dibandingkan dia beli dari tangan kedua/agen. Dia menuturkan, alasan dirinya tidak lagi membeli di agen lantaran ada persyaratan yang harus dipenuhi, yakni harus membeli barang lain atau bundling untuk bisa mendapatkan Minyakita. Jika tidak demikian, pembeli tidak bisa mendapatkan minyak tersebut. Padahal minyak keluaran pemerintah itu banyak peminatnya. Sambungnya, selisih harga dari tangan ketiga dibandingkan beli langsung ke agen bisa mencapai Rp10 ribu per dus. Maka dari itu, ia tidak bisa menjual sesuai ketetapan pemerintah, Rp14 ribu per liter, melainkan harus menjual Rp16 ribu per liter.

Baca Koran

Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara sah telah memutuskan tujuh terlapor atau perusahaan terbukti melanggar UU Nomor 5 tahun 1999 pasal 19 huruf C tentang Monopoli Minyak Goreng. Putusan tersebut termaktub dalam perkara nomor 15/KPPU-I/2022. Tujuh perusahaan yang terbukti melanggar undang-undang tersebut adalah PT Asianagro Agungjaya, PT Batara Elok Semesta Terpadu, PT Incasi Raya, PT Salim Ivomas Pratama Tbk, PT Budi Nabati Perkasa, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai. Ketua Majelis Komisi Dinni Melanie memaparkan, dalam persidangan pihaknya menemukan bahwa para Terlapor tidak patuh kepada kebijakan pemerintah terkait dengan harga eceran tertinggi (HET), yakni dengan melakukan penurunan volume produksi dan/atau volume penjualan selama periode pelanggaran.

Salah satu kebijakan tersebut adalah penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp14.000 per liter dinilai justru menjadi penyebab minyak goreng sulit diperoleh oleh masyarakat. Hal tersebut disampaikan ekonom senior, Faisal Basri saat menjadi saksi ahli dalam persidangan. Faisal menilai inkonsistensi pemerintah dalam kebijakan terkait HET minyak goreng, lambat laun akan menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. “Selain itu, pemerintah tidak memiliki instrumen untuk meredam harga minyak goreng yang pada akhirnya regulasi yang telah dihasilkan menjadi mandul. Karena melanggar kaidah-kaidah dalam mengambil keputusan,” ujarnya melalui keterangan tertulis, dikutip Kamis (23/2/2023).

Baca Juga :  Stunting, Mampukah Diselesaikan?

Dengan penetapan HET, pemerintah menjanjikan akan membayar selisih harga keekonomian dengan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Jadi, kebijakan subsidi hanya bertahan sekitar dua minggu kemudian dihapus, coba bayangkan 1 botol migor disubsidi, uang BPDPKS akan habis untuk subsidi itu. Pemerintah tidak berkomitmen untuk mengalokasikan subsidi untuk minyak goreng karena memang uangnya tidak ada,” tegas Faisal yang juga pengajar di Universitas Indonesia itu.

Politik Ekonomi Islam

Kapitalisme yang menjadi payung sistem ekonomi hari ini akan selalu menjamin adanya liberalisasi kepemilikan. Karenanya, siapapun bebas memiliki barang apapun dengan cara apapun. Bahkan dengan adanya konsep liberalisasi (kebebasan) ini, peran negara dalam distribusi kebutuhan rakyat pun sangat minim. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar bebas ala Kapitalisme yang sangat memungkinkan terjadinya kesenjangan bahkan dominasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.

Terutama dengan tidak adanya jaminan distribusi minyak goreng yang merata pada setiap individu rakyat bahkan dengan munculnya permainan para spekulan, ini telah jelas menunjukkan lemah dan kacaunya distribusi kebutuhan rakyat dalam sistem hidup Kapitalisme. Sungguh, jika memandang realitas ini dengan perspektif Islam, tentu adanya kelangkaan minyak goreng di tengah masyarakat adalah kedzaliman. Sebab Allah mensyari’atkan adanya pengaturan yang harus dilakukan oleh Negara melalui pemimpinnya. Oleh karenanya, dalam syari’at, dikenal adanya politik Islam yang berisi pengaturan seluruh urusan umat (masyarakat) dengan menggunakan aturan-aturan Islam yang ditetapkan Allah, al-Mudabbir. Syari’at Islam mampu menyolusi semua aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali aspek ekonomi, yang dikenal pula dengan sebutan Politik Ekonomi Islam.

Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Sistem Ekonomi Islam menyebutkan politik ekonomi Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu rakyat/warna negara, yakni kebutuhan primernya, termasuk kebutuhan sekunder dan tersier sesuai dengan kesanggupannya. Untuk itu, termasuk dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng seperti pada kondisi saat ini misalnya, politik ekonomi Islam mampu memberikan solusi secara benar agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Dalam distribusi minyak goreng ke tengah masyarakat, politik ekonomi Islam akan menjamin penerapan beberapa aturan berikut.

Baca Juga :  SUDAH BENARKAN PUASA KITA

Kedua, politik ekonomi Islam akan memberantas para spekulan yang melakukan penimbunan minyak goreng untuk meraup keuntungan. Praktik penimbunan dengan tegas dilarang oleh Allah SWT dan hukumnya haram. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah”. (HR. Muslim).

Syari’at menetapkan, disebut penimbunan jika memang memenuhi syarat, yakni sampai pada batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang ditimbun. Kemudian, dalam penimbunan ini terjadi penumpukan barang dengan tujuan tertentu seperti menaikkan harga seperti yang dilakukan para spekulan.

Maka kondisi ini akan dihentikan dalam politik ekonomi Islam sehingga tidak ada hal-hal yang menghambat pemerataan distribusi kebutuhan pada setiap individu rakyat. Terlebih, politik ekonomi Islam akan menyelamatkan siapapun dalam Negara Islam dari praktik yang mengandung keharaman seperti penimbunan ini. Bahkan, termasuk jika ada yang melakukan penimbunan barang bukan untuk menaikkan harga, namun demi kepentingan tertentu semisal untuk prestise agar mendapat simpati masyarakat atau untuk menyukseskan program tertentu sedangkan telah jelas terjadi kesulitan di tengah masyarakat untuk mendapatman komoditas tersebut, maka tentu Negara juga tidak akan diam. Akan diberlakukan tindak tega pada oknum yang memanfaatkan kesempatan di tengah kesulitan rakyat secara umum.

Terjaminnya distribusi yang merata dengan politik ekonomi Islam ini tentu menjadi regulasi yang kontradiktif dengan realitas hari ini. Politik ekonomi Islam hadir sebagai kebijakan yang manusiawi karena berasal dari Zat yang mustahil keliru memberikan aturan terbaik pada makhluk-Nya, yakni Allah SWT. Dan ini berkebalikan dengan politik ekonomi ala sistem Kapitalisme hari ini yang murni berasal dari akal manusia sehingga wajar menyebabkan problem yang tak berkesudahan. Jelas sudah komparasi kedua sistem ini, tidakkah berkeinginan menadikan Islam sebagai alternatif solusi problem negeri ini? Wallahua’lam bishshawwab.

Iklan
Iklan