Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Kisruh PPDB dan Tantangan Pemerataan Pendidikan

×

Kisruh PPDB dan Tantangan Pemerataan Pendidikan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan

Kisruh penerimaan peserta didik baru (PPDB) kembali terjadi. Di tahun ajaran 2023 ini, sejumlah daerah melaporkan temuan berbagai masalah terkait PPDB, mulai dari migrasi kartu keluarga (KK), manipulasi KK, jual-beli kursi dan penitipan. Bahkan PPDB tahun ini juga diwarnai oleh protes para orang tua.

Baca Koran

Namun pemerintah menganggap kisruh PPDB sekedar persoalan teknis. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI Muhadjir Effendy menegaskan bahwa kecurangan yang muncul dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi bukan karena kesalahan sistemnya. “Kalau kecurangan numpang kartu keluarga (KK) itu kan bukan salahnya sistem, tapi pengawasannya yang tidak jalan,” kata Muhadjir seusai menutup Seminar National Cooperative Summit 2023 di SMA Muhammadiyah 1 Kota Yogyakarta, Sabtu (22-7-2023). Menurut Muhadjir, untuk mencegah kecurangan, pemerintah daerah semestinya dapat mengantisipasi dengan merencanakan dan memetakan jumlah kursi di sekolah negeri, enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB. (www.cnnindonesia.com, 22/7/2023)

Apakah kisruh PPDB sekedar persoalan teknis? Atau ada persoalan lebih mendasar?

Setengah Hati

Penyelenggaraan PPDB memang hanyalah teknis administratif. Namun penyelewengan teknis administrasi seperti merekayasa data, bukanlah semata persoalan teknis yang bisa disepelekan. Tentu kecurangan-kecurangan ini sangat tidak layak dan menunjukkan budaya perilaku korup.

Selain itu, sebuah sistem tidak patut mendorong perbuatan melanggar hukum, terlebih di ranah pendidikan dimana integritas dan moralitas bermula ditanamkan. Penyimpangan juga tidak bisa diselesaikan hanya dengan membenahi teknis untuk menutup peluang kecurangan.

Penyelewengan pada PPDB dilatari mentalitas rakyat dan juga efektifitas kebijakan dalam menjawab kebutuhan rakyat. Ketika rakyat menemui jalan buntu, maka mereka mencari jalan lain yang tidak sah atau memilih yang tidak sepatutnya. Ini menunjukkan ada kekeliruan sistem yang harus dikoreksi.

Dengan sistem zonasi sekolah favorit tidak bisa sepenuhnya memonopoli siswa-siswa terbaik sebagaimana masa lalu. Sistem zonasi akan memaksa sekolah untuk menerima siswa dan orang tua murid untuk masuk sekolah berdasarkan zona tempat tinggal. Meski demikian masih tersedia jalur prestasi dan jalur afirmasi. Tujuan pemerintah sebenarnya baik yaitu memeratakan penyebaran siswa sehingga meminimalkan kasta sekolah seiring dengan upaya pemerataan kualitas sekolah.

Sistem zonasi seperti mematahkan favoritisme bagi sekolah dan juga persepsi siswa dan orang tua. Selama ini polarisasi kasta sekolah terbentuk secara sistematis. Ada sekolah favorit dan ada pula sekolah ‘pinggiran’ bahkan sekolah ‘buangan’. Sekolah yang favorit cenderung diisi siswa-siswa yang lebih baik prestasi akademiknya dan umumnya juga dari keluarga dengan ekonomi yang baik. Dari pihak sekolah, kefavoritan ini juga menguntungkan karena mereka mendapatkan input peserta didik berkualitas yang tidak begitu sulit diayomi. Karenanya sistem kasta dan polarisasi ini terasa tidak adil dilihat dari berbagai sisi.

Baca Juga :  Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

Meski dengan sistem zonasi pemerintah mengasumsikan pemerataan dan peningkatan kualitas, namun kenyataannya pemerataan masih jauh. Kesenjangan antar sekolah masih terjadi dan jumlah sekolah yang berkualitas juga terbatas. Inilah yang menyebabkan kekecewaan orang tua yang berusaha mengikuti prosedur dan harus menerima kenyataan keterbatasan kursi. Namun ada pula yang gigih dan menempuh kecurangan, yang juga memprihatinkan jika orang tua yang tidak mampu lalu memilih putus sekolah. Sistem zonasi bisa memupus harapan orang tua untuk memperoleh pendidikan yang murah dan berkualitas bagi anaknya.

Inilah konsekuensi karena pemerintah berbagi tanggung jawab dengan swasta dalam menyelenggarakan pendidikan. Sekolah negeri yang murah dan berkualitas dibuat terbatas dari sisi jumlah. Faktanya kursi sekolah negeri berjumlah tidak lebih dari separuh dari jumlah siswa pendaftar. Akibatnya, pendidikan diperebutkan dan diperjuangkan seperti barang dagangan, ada barang, ada harga.

Sedangkan sekolah swasta adalah swadaya, dibiayai oleh dana investor dan rakyat yang mengaksesnya. Ada sekolah swasta yang berkualitas baik karena ditunjang dengan modal dan keberanian memasang ‘harga’ mahal sebagai kompensasinya. Selebihnya ada sekolah swasta yang kurang karena keterbatasan modal dan menyasar anak didik yang kurang mampu. Baik orang tua maupun sekolah swasta harus berjuang menyelenggarakan pendidikan.

Dalam sistem hari ini pendidikan dianggap hak semata, bisa diambil dan diterima. Bahkan pendidikan hanyalah investasi yang ditimbang untung rugi dan harus balik modal. Karenanya negara tidak mewajibkan dirinya sepenuhnya untuk menyelenggarakan pendidikan yang memastikan setiap individu warga negara bisa mengenyam pendidikan berkualitas. Negara mengalihkan sebagian tanggung jawabnya kepada swasta. Realitas ini juga selaras dengan konsep good governance yang mengarahkan keterlibatan tiga unsur, yakni pemerintah, swasta dan masyarakat.

Sistem kapitalisme menyebabkan peran negara minimalis dalam mengurusi urusan rakyat. Kebebasan ekonomi dan kebebasan kepemilikan membuat keuangan negara seret karena sumber-sumber ekonomi seperti kekayaan sumber daya alam justru dikuasai individu dan kelompok pemilik modal. Karenanya negara banyak mengambil peran sebagai penetap regulasi atau aturan. Jasa-jasa yang menjadi kebutuhan dasar publik juga diserahkan kepada swasta dan dipertaruhkan pada kekuatan individu. Akhirnya, mereka yang berduit yang bisa teredukasi, pintar dan sehat. Padahal kegagalan memperoleh pendidikan dan kesehatan akan sangat fatal dan tidak boleh terjadi.

Baca Juga :  PENGORBANAN UNTUK SIAPA?

Meskipun ada negara kapitalis yang mampu mengratiskan pendidikan, namun faktanya negara tersebut menerapkan pajak yang sangat tinggi yang menimbulkan efek-efek lain. Jadi sistem kapitalisme memang tidak mampu merealisasikan tujuan mulia pendidikan.

Berbeda dengan sistem Islam. Pendidikan dalam Islam bukanlah sekedar hak tetapi kewajiban. Islam memproyeksikan setiap diri manusia untuk berilmu sehingga bisa mendayafungsikan akalnya dengan maksimal. Manusia yang berilmu akan mampu menjadi orang beriman dan beramal sholeh serta luhur akhlaqnya. Selanjutnya manusia yang berilmu menjadi khalifatullah, wakil Allah di muka bumi yang memakmurkan bumi dan menjaganya dari kerusakan. Karenanya Islam menetapkan kewajiban menuntut ilmu dan menetapkan ilmu-ilmu pengetahuan; ada yang wajib dipelajari, sunah, wajib kifayah dan mubah.

Karenanya pendidikan menjadi kebutuhan dan jasa publik yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Negara bahkan memastikan setiap orang menjadi pembelajar. Negara akan menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas namun gratis. Negara harus menyediakan sarana prasarana dan infrastruktur sekolah yang memadai kepada setiap unit satuan pendidikan. Negara juga menggaji guru, dosen dan membiayai proses pendidikan.

Penyelenggaraan pendidikan secara penuh oleh negara ditunjang sistem ekonomi Islam dan politik pemerintahan. Penerimaan harta milik umum dan kekayaan milik negara yang digariskan syariah menjadi sumber dana. Kepemilikan umum meliputi sumber daya alam seperti barang tambang yang depositnya berlimpah.

Pendanaan oleh negara bukan berarti menutup peluang individu atau swasta untuk mendanai pendidikan. Keterlibatan swasta dalam sistem Islam bukan investasi balik modal atau untuk mengejar laba dari komersialisasi pendidikan sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Namun dalam Islam, swasta menyasar investasi akhirat dengan waqaf dan infaq. Akumulasi dana ini membuat pendidikan bisa diraih setiap orang secara gratis tanpa kecuali.

Sedangkan aspek favoritisme tidak terjadi karena kesenjangan kualitas sekolah sebagaimana hari ini. Namun favoritisme dalam sistem Islam lebih disebabkan oleh kualitas personel-personel guru pada sekolah-sekolah. Dan ini alamiah dan sah-sah saja.

Hanya dengan sistem Islam yaitu negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh, misi pendidikan akan berhasil merubah individu dan masyarakat menjadi sumber daya yang unggul dan mulia. Wallahu alam bis shawab

Iklan
Iklan