Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Dilema Kriminalitas Anak, Dihukum atau Dilindungi?

×

Dilema Kriminalitas Anak, Dihukum atau Dilindungi?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Risna Ummu Zoya
Aktivis Muslimah Kalsel

Mengejutkan, seorang pelajar SMA favorit di Banjarmasin menikam temannya sendiri karena sering di-bully. Padahal mereka berteman sejak SD. Anak ini masih berusia 15 tahun dan kesehariannya juga pendiam. Lantas bagaimana dengan penerapan hukum dalam kasus ini. Dapatkah si pelaku dijerat pembunuhan berencana?

Baca Koran

Menurut Masrudi Muchtar seorang dosen ahli hukum pidana dari Universitas Achmad Yani (Uvaya) Banjarmasin menuturkan, yang perlu diingat adalah kasus anak. Artinya penerapan hukumnya harus menggunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). (Apakabar.com Banjarmasin, 3/8/2023).

Dalam undang-undang peradilan anak, bahwa anak tidak boleh dijatuhi hukuman mati atau pidana seumur hidup. Selain undang-undang SPPA, juga ada undang-undang perlindungan anak. Artinya, yang perlu dipahami aparat penegak hukum bahwa si pelaku juga menjadi korban. Maka ada ketentuan Undang-undang 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Disitu ada larangan, setiap orang dilarang melakukan tindak pidana kekerasan hingga menyebabkan luka berat.

Menanggapi kasus yang saat ini menjadi perbincangan dimana-mana tersebut, Kombes Pol Sabana Atmojo berpesan kepada orang tua murid agar lebih sering berkomunikasi kepada anaknya. “Jangan sampai tidak berkomunikasi, tanya kepada anaknya apakah ada masalah di sekolah? Apakah bahagia saja? Lihat perilakunya,” pesannya. (HalloBanua.com, 01/08/2023).

Anak-anak yang masih dalam proses remaja menuju dewasa semestinya dapat diberi bimbingan agar arah hidup mereka kedepan memiliki visi hidup yang baik. Ketika anak remaja melakukan tindakan kriminal tidak bisa dilihat dari tindakan kriminalnya semata, tapi harus dicek hal yang memicu adanya tindakan tersebut dikarenakan apa. Sehingga perlu memikirkan cara untuk melakukan pencegahan. Namun tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak masih banyak terjadi. Sayangnya, aturan dan sanksi melalui UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) masih menjadi perdebatan terutama bagi korban.

Baca Juga :  Menggugat Gaya Hidup yang Memisahkan Kita dari Alam

Di sisi lain pelaku adalah anak-anak yang dimana mereka juga dilindungi melalui UU Perlindungan Anak. Jadi tidak mudah untuk memenjarakan pelakunya langsung. Sikap remaja yang mudah meledak serta memiliki emosi yang belum stabil perlu diarahkan dan dididik dengan pemahaman islam. Orangtua mempunyai peran dan tanggung jawab untuk memberikan nilai-nilai agama dalam kehidupannya. Kemudian dibantu oleh guru-guru melalui sekolah. Guru dan orangtua dapat saling sinergi dalam urusan pendidikan anak. Bukan saling menyerahkan tanggung jawab.

Inilah dampak dari penerapan sistem pendidikan sekularisme. Islam tak lagi dianggap sebagai acuan dalam aturan hidup. Agama dianggap sebagai pelajaran yang tidak begitu penting karena belajar agama di dongkrinkan hanya bagi anak yang ingin jadi pendakwah. Menjadi pendakwah bukan pekerjaan yang bergengsi, tidak menghasilkan uang yang banyak. Nilai jualnya rendah.

Akibatnya orangtua abai dengan karakter Islami yang harus ada pada anak. Anak tak mampu mengendalikan sikap dan berfikirnya secara Islami. Sehingga naluri anak muda dengan emosi yang tidak stabil dapat membawa mereka pada tindakan kriminal. Untuk mengatasi tindakan kriminal pada anak tak cukup sekedar adanya UU SPPA.

Islam hadir memberikan solusi agar tindakan kriminal tidak massif terjadi yakni dengan melakukan pencegahan seperti bagaimana mengatur remaja dengan naluri pertahanan dirinya atau disebut gharizah baqo. Naluri ini harus dikontrol oleh akal dan iman dari remaja tersebut. Mereka akan dibekali pemahaman islam yang benar melalui sistem pendidikan Islam yang telah diatur melalui lembaga pendidikan arau sekolah yang telah disediakan oleh negara.

Kurikulum yang dibentuk oleh negara adalah Kurikulum berbasis Islam yang menciptakan karakter Islami dan berkepribadian Islam. Melalui lembaga pendidikan resmi dari negara langsung, maka negara akan lebih mudah menanamkan nilai-nilai Islam sejak kecil. Tidak ada dikotomi sekolah umum atau sekolah agama/sekolah Islam. Semua sekolah wajib menjalankan Kurikulum berbasis Islam.

Baca Juga :  Meningkatnya Penggunaan Gadget di Kalangan Siswa MI Nurul Hasanah Kecamatan Cempaka: Waspadai Dampak Jangka Panjang

Islam juga membuat aturan berupa sistem sanksi/pidana menurut Islam, sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) Qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih. Dalam Qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal agar kamu bertakwa”. (QS. Al Baqarah : 178-179)

Sementara itu dalam Islam, berlakunya hukum syara termasuk pemberlakukan sanksi dilihat dari anak tersebut sudah baligh atau belum, bukan ditetapkan berdasarkan umur. Penerapan sistem sanksi atau hukum qishash dalam Islam ini berfungsi sebagai pencegah (zawajir) sekaligus penebus dosa (jawabir) bagi para pelaku, sehingga inilah yang mampu mencegah tindak kriminal terjadi lagi dan mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Wallahu a’lam bishshawab.

Iklan
Iklan