Oleh : Putri
Aktivis Mahasiswi
Belum lama ini, dunia khususnya masyarakat Indonesia dikejutkan dengan sebuah kabar yang viral di media sosial, terkait ditemukannya grup WhatsApp siswa sekolah dasar(SD) yang terindikasi lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Pekanbaru, Riau. Pasalnya, sekelompok siswa yang berada di SD tersebut memiliki komunitas untuk siswa LGBT. Hal ini diketahui saat handphone siswa dirazia oleh gurunya dan dimintai kata kunci (password). Menurut Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Nahar, pihaknya telah menjangkau kasus tersebut dan telah ditangani Dinas PPA di Riau. “Ada dua kasus yang mencolok dan sangat terkait, yakni mutilasi mahasiswa UMY secara sadis oleh kaum LGBT, bahkan sampai direbus, serta adanya sekolah internasional yang justru memberi ruang pada benih-benih LGBT untuk tumbuh dan berkembang, Kemendikbudristek RI perlu waspada dan harus segera bertindak sebelum akhirnya pendidikan bisa memproduksi kaum menyimpang yang sangat kejam itu. Kami juga mendesak aparat berwenang segera turun tangan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (01/08).
Gagal Membentuk Karakter
Hal tersebut menunjukkan bahwa akar masalah dari kasus ini adalah karena diterapkannya sistem yang liberal di tengah-tengah kehidupan masyarakat saat ini. Yaitu sebuah sistem yang mengagung-agungkan kekebebasan. Dimana tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi mereka dalam berperilaku. Adanya sikap yang mendukung atau toleran terhadap perilaku LGBT, membuat LGBT ini semakin tumbuh subur.
Selain itu diterapkannya sistem sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan juga turut andil dalam berkembangnya LGBT di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Adanya kasus-kasus ini juga membuktikan bahwa sistem pendidikan yang materialistik-sekuleristik telah gagal membawa manusia kepada jati diri seorang manusia yang sebenarnya.
Pertama, gagal menanamkan akidah yang shahih, bahwa manusia harus mampu menjawab tiga pertanyaan besar, yakni dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup dan mau kemana dia setelah kehidupan. Kalau tiga pertanyaan ini saja belum terjawab secara tuntas, makanya wajar anak-anak menjadikan agama sebagai sebuah standar, menjadikan Rasulullah sebagai panutan yang mulia dan anak-anak ini juga bertindak sebegitu rupa sehingga yang terjadi lepas kendali dan kontrol, bahkan cendrung beraktivitas penuh dengan kebebasan.
Kedua, gagal menanamkan pemahaman yang utuh. Manusia pada hakikatnya adalah sebagai hambanya Allah yang punya akal pikiran serta sikap humanis yang akan menjadikan tindakannya baik. Selama ini jika diamati pendidikan secara makro adalah hanya sebagai ilmu pengetahuan tapi minus tindakan. Kadang-kadang juga yang dipelajari hanya sekedar ilmu teknis, tidak sampai bagaimana sebuah ilmu itu dapat memecahkan masalah, inilah yang paling penting.
Ketiga, gagal membuat negara menjadi maju, baik dari segi pengetahuan maupun keimanan. Karena kalau melihat anak-anak jaman sekarang ini seperti bukan mempelajari sesuatu yang bermanfaat. Di dunia internasional yang mengadopsi liberalisme hingga mendewakan kebebasan dalam konsep hak asasi manusia, LGBT memang mendapat dukungan kuat. Termasuk di Indonesia. Dan pemerintah Indonesia tak mampu mengatasi semua dampak buruk perilaku ini. Tak mampu mengerem, apalagi menghentikan korban-korban berjatuhan. Bahkan LGBT telah berkembang menjadi gaya hidup. Indonesiapun menjadi tempat menjamurnya advokasi, kelompok-kelompok komunitas yang menyediakan suaka bagi LGBT, termasuk Suara Kita dan Arus Pelangi. Bahkan mereka secara terang-terangan memberikan tempat bagi perjuangan hak-hak kesetaraan untuk kelompok LGBT. Belum optimalnya kebijakan nasional yang berpihak pada penguatan keluarga, kontrol sosial yang lemah, serta tidak adanya payung hukum yang tegas terkait perilaku seks bebas dan LGBT menyebabkan generasi muda Ind
onesia semakin rentan sehingga mudah terjebak pada aktivitas seksual yang menyimpang.
Menyelamatkan Ummat
Sebab LGBT adalah buah liberalisme yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme. Selama ideologi kapitalisme masih dipakai dalam sistem kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, mustahil problem LGBT ini bisa selesai dan tak muncul kembali. Sebagai gantinya, negara seharusnya mengadopsi sistem ideologi Islam yang akan menerapkan syariat Islam secara sempurna, syariat yang berasal dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia. Selanjutnya negara akan melakukan beberapa langkah sebagai berikut:
Pertama, negara menanamkan iman dan takwa kepada seluruh anggota masyarakat agar menjauhisemua perilaku menyimpang dan maksiat. Negara juga menanamkan dan memahamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam dengan melalui semua sistem, terutama sistem pendidikan, baik formal maupun non formal dengan beragam institusi, saluran dan sarana. Dengan begitu, rakyat akan memiliki kendali internal yang menghalanginya dari perilaku LGBT. Rakyat bisa menyaring informasi, pemikiran dan budaya yang merusak. Rakyat tidak didominasi oleh sikap hedonis serta mengutamakan kepuasan hawa nafsu.
Kedua, negara akan menyetop penyebaran segala bentuk pornografi dan pornoaksi baik yang dilakukan sesama jenis maupun berbeda jenis. Negara akan menyensor semua media yang mengajarkan dan menyebarkan pemikiran dan budaya rusak semisal LGBT. Masyarakat akan diajarkan bagaimana menyalurkan gharizah nau’ dengan benar, yaitu dengan pernikahan syari. Negara pun akan memudahkan dan memfasilitasi siapapun yang ingin menikah dengan pernikahan syari.
Ketiga, negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin keadilan dan kesejahteraan ekonomi rakyat, sehingga tak akan ada pelaku LGBT yang menjadikan alasan ekonomi (karena miskin, lapar, kekurangan dan lain-lain) untuk melegalkan perilaku menyimpangnya.
Keempat, jika masih ada yang melakukan, maka sistem ‘uqubat (sanksi) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Hal itu untuk memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa. Didalam Kitab Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq menyatakan bahwa para ulama fiqh telah sepakat atas keharaman homoseksual dan penghukuman terhadap pelakunya dengan hukuman berat. Hanya para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ukuran hukuman yang ditetapkan. Dalam hal ini dijumpai tiga pendapat, yakni pelakunya harus dibunuh secara mutlak, pelaku dikenai had zina dan pelaku diberikan sanksi berat lainnya.
Disamping negara yang berperan besar dalam pemberantasan LGBT, Islam juga menetapkan tugas kepada kaum muslim secara umum untuk menjalankan syariat Islam di keluarganya masing-masing. Para orangtua harus terus berusaha membentengi anak-anak mereka dari perilaku LGBT dengan penanaman akidah dan pembelajaran syariat Islam di keluarga.
Islam juga memerintahkan kepada masyarakat untuk berkontribusi dalam pemberantasan LGBT ini dengan cara ikut terlibat secara aktif dalam dakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar kemasyarakat yang ada disekitarnya agar taat kepada perintah juga larangan Allah dan RasulNya. Ketika ada kemunkaran (pelanggaran hukum syariat)oleh para pelaku LGBT ini, maka semua anggota masyarakat harus berusaha mencegah, mengingatkan, menegurnya bahkan ikut memberi sanksi sosial, tidak mendiamkannya.
Didalam naungan khilafah, umat akan dibangun ketakwaannya, diawasi perilakunya oleh masyarakat agar tetap terjaga, dan dijatuhi sanksi bagi mereka yang melanggarnya sesuai Syariah Islam. Sehingga Islam akan tampak aslinya sebagai rahmatanlil‘alamin. Wallahua’lam bishshawab.