Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Ekonomi

Potensi Milir Batubara di Sungai Barito Rp129 triliun, Diperkirakan Emas Hitam Habis 2030

×

Potensi Milir Batubara di Sungai Barito Rp129 triliun, Diperkirakan Emas Hitam Habis 2030

Sebarkan artikel ini
IMG 20230910 WA0014
Salah satu tongkang batubara yang ditarik tugboat dari milir di Sungai Barito. (Kalimantanpost.com/Antara)

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Batubara masih menjadi primadona Provinsi Kalimantan Selatan dalam eksport keluar negeri. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Selatan (Kalsel) yang merilis perkembangan ekspor dan impor Juli 2023, yakni ekspor barang asal Kalsel mencapai US$965,40 juta atau turun 8,20 persen dibanding nilai ekspor Juni 2023 yang sebesar US$1,05 miliar.

Ekspor terbesar Kalsel Juli 2023 berdasarkan kode Harmonized System (HS) dua dijit disumbangkan oleh kelompok bahan bakar mineral –minyak bumi, batubara, gas alam, timah, dan lainnya — (HS 27) dengan nilai US$837,30 juta.
Berdasarkan kontribusinya terhadap total ekspor Juli 2023, kelompok bahan bakar mineral (HS 27) memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 86,73 persen.

Baca Koran

Di Kalsel sendiri, sebagai penghasil terbanyak
batu bara setiap tahunnya berasal dari Tanah Bumbu dan Balangan. Selain itu ada
ada enam daerah lain juga penghasil tambang, yakni, Kabupaten Banjar, Tanah Laut, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Tabalong dan HSS. Di mana, setiap tahunnya juga menerima ratusan miliar dari pembagian dana bagi hasil bukan pajak.

Untuk diketahui, skema besaran pembagian antara provinsi, kabupaten penghasil, dan kabupaten/kota non penghasil didasarkan pada peraturan menteri keuangan (PMK) dan peraturan pemerintah (PP). Dari 100 persen royalti dan iuran yang diterima dibagi dua dulu:
pemerintah pusat sebesar 20 persen dan Kalsel dapat jatah 80 persennya. Dari 80 persen
tersebut dibagi kembali, dengan rincian 16 persen untuk pemerintah provinsi dan 64 persen untuk pemerintah kabupaten dan kota. Serta 64 persen dari pembagian akan dipecah kembali dengan rincian 32 persen untuk masing-masing daerah penghasil dan 32 persen untuk seluruh
daerah non penghasil.

Daerah penghasil lebih banyak mendapat royalti. Tapi non penghasil juga menikmati,
daerah non penghasil tambang yang turut menerima bagian yakni, Banjarmasin, Banjarbaru, Barito Kuala, Hulu Sungai Utara, dan Hulu Sungai Tengah.

Nah, kemana saja tujuan ekspor emas asal Kalsel selama ini. Ada beberapa negara tujuan seperti China, India, Eropa dan negara lainnya, termasuk bagi kebutuhan domestik untuk pembangkit listrik milik PLN?

Baca Juga :  OJK Libatkan Media Massa sebagai Duta Literasi Keuangan

Mengutif dari Jejak Rekam, menurut Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Prof Dr Ahmad Yunani menghitung dari pemandangan tongkang batubara yang milir dari Sungai Barito dalam setahun potensinya bisa mencapai Rp 129 triliun.

“Dari pengamatan di lapangan, dalam sehari semalam minimal yang keluar ada sekitar 100 tongkang bahkan bisa lebih di perairan Sungai Barito. Sebab, tak kurang dalam setiap 10 menit bertemu dengan tongkang ditarik kapal tugboat ditarik keluar,” ucap doktor ilmu ekonomi lulusan Universitas Airlangga, Surabaya ini dalam diskusi Ekspedisi Batang Banyu di atas kapal dagang Negara dari Banjarmasin ke Negara.

Mantan Wakil Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) ULM ini mengamati dari milir dan mudiknya tongkang berbagai ukuran di perairan Sungai Barito, di antaranya ukuran 300 feet muatan 8.000 metrik ton (MT), dan 330 ft muatan 10.000 MT.

Nah, dari kalkukasi anggota Tim Peneliti Ekspedisi Batang Banyu ini melanjutkan jika diasumsikan 1.000 tongkang isi 10 ton per ton dikalikan Rp 1 juta dalam 12 bulan, maka didapat angka Rp 129 triliun dalam setahun. Itu perhitungan berdasar ambang batas rendah.

Hal senada juga dikalkulasi anggota Tim Peneliti Ekspedisi Batang Banyu lainnya, Akbar Rahman. Menurut dia, dengan asumsi hitungan ambang bawah, dalam sehari ada 20 tongkang yang milir dari perairan Sungai Barito, berarti dalam sebulan (30 hari) didapat 600 tongkang.

“Nah, dalam 12 bulan berarti ada 7.200 tongkang dengan kapasitas muatan tongkang 300 feet 8.000 MT, maka dalam setahun bisa mengangkut 57,6 juta ton. Dikalikan harga batubara USD (Dolar AS) 150 per ton atau 2,24 juta ton. Dalam setahun nilai batubara melewati batang banyu (Sungai Barito) 57,6 juta ton dikalikan Rp 2,25 juta, didapat angka Rp 129,6 triliun. Ini belum lagi ketika harga batubara naik jadi 160 dollar per ton, angkanya lebih besar lagi,” kata akademisi Fakultas Teknik ULM ini.

Sementara dari informasi di lapangan, ukuran tongkang yang milir di Sungai Barito bisa pula ukuran 180 feet dapat mengangkut sekitar 2.000 ton batubara. Kemudian, ukuran 230 feet bisa memuat sekitar 4.000 ton batubara. Termasuk, ukuran 270 feet dengan muatan 6.000 ton batubara.

Baca Juga :  Harga Tiga Produk Emas Stabil

Dengan berbagai asumsi ini, dari tongkang terkecil 180 feet, maka dalam sehari ada 100 tongkang keluar dengan mengangkut 200.000 ton per hari. Kemudian, dalam 30 hari kerja, bisa terangkut 6 juta ton, dan setahun bisa 72 juta ton, tentu dikalikan dengan harga batubara termahal Rp 3 juta, maka didapat angka sangat fantastis.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biaya produksi batubara per ton pada tahun 2023 berkisar antara USD15-25. Biaya tersebut bervariasi tergantung pada berbagai faktor, seperti lokasi tambang, kualitas batubara, dan metode penambangan yang digunakan. Bahkan, Kementerian ESDM menetapkan harga batubara acuan (HBA) pada Juni dan Juli 2023. Untuk Juni 2023, harganya mencapai USD 191,36 per ton.

Tak mengherankan Tim Peneliti Ekspedisi Batang Banyu menyimpulkan jika ‘emas hitam’ yang hilir mudik di perairan Sungai Barito sepatutnya bisa menyejahterakan rakyat Kalsel dan Kalteng, terutama dalam kaitan bagi hasil royalti (sumber daya alam), penanganan kerusakan lingkungan hingga akhirnya melahirkan politik SDA dalam bingkai oligarki dan penguasan lainya terbukti sangat kuat cengkeramannya di Banua.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat Syahrituah Siregar dikutif dari laman kalsel.bpk.go.id, menyampaikan daerah tidak bisa selamanya bergantung dengan batubara.

Pasalnya, lambat laun emas hitam tersebut bakal habis.
Berdasarkan data historis, tingkat produksi batubara di Kalsel paling tidak 150 juta ton per tahun atau rata-rata sekitar 400 ribu ton per hari.

Jika tingkat eksploitasi sebesar itu terus berlanjut, diperkirakan pada 2030 deposit batubara akan habis. Jika batubara sampai
habis dan daerah belum dapat sektor pengganti, ekonomi Kalsel akan mengalami
goncangan hebat dengan hilangnya sumber produksi utama selama ini.

Sementara itu sektor-sektor lain yang diharapkan sebagai pengganti masih jauh dari
harapan, karena hanya mampu berkontribusi sangat kecil bagi pertumbuhan. (Mau/KPO-3/Berbagai sumber)

Iklan
Iklan