Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Antara Mural dan Moral Politik

×

Antara Mural dan Moral Politik

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati sosial politik di Banjarmasin

Selama ini publik lebih akrab dengan istilah moral. Dalam bahasa Inggris, moral, artinya moral, akhlak. Setelah diserap ke bahasa Indonesia, moral berarti ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Juga berarti akhlak, budi pekerti, susila, kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati atau perasaan yang terungkap dalam perbuatan.

Kalimantan Post

Kata mural jarang terdengar, ternyata ini juga berasal dari bahasa Inggris, artinya lukisan dinding, diserap ke bahasa Indonesia dengan arti yang sama. Sejauh ini banyak mural dilukis di dinding jembatan, pagar beton, gang dan sejenisnya, namun tidak dipersoalkan karena murni seni-budaya. Mural politik ada juga, namun jarang. Di masa Presiden SBY, beberapa aktivis pernah berdemo di depan istana sambil menggelar “Pasar Lupa”, dengan menghadirkan kerbau hidup bertulis SiBuYa. SBY kala itu menyikapi biasa-biasa saja dan aparat pun membiarkannya.

Beberapa bulan lalu, khususnya di masa wabah Covid-19, publik sempat ramai oleh munculnya mural-mural bernuansa politik di beberapa daerah. Lukisan atau tulisannya tampak bagus dan mengandung unsur seni. Mural ini dipersoalkan mungkin karena content-nya menyindir atau mengeritik pemerintah. Berdasarkan penelusuran Sarita Channel, di antara mural itu berbunyi “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit”, “Wabah Sebenarnya adalah Kelaparan”, “Terus Dibatasi Tapi Tak Diberi Nasi”, “Tuhan Aku Lapar”, “NKRI Harga Nego”, dan sebagainya. Mural yang cukup heboh adalah yang bergambar wajah mirip presiden dengan tulisan “404: Not Found”. Mural ini dilukis di bawah jembatan kawasan Batu Ceper Tangerang menuju Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Seorang pekerja sablon di Tuban yang mempromosikan baju mirip mural tersebut kabarnya sempat diciduk aparat, tapi kemudian dibebaskan setelah minta maaf. Ada juga mural yang menyindir Ali Mochtar Ngabalin dan sebagainya.

Setelah sempat viral, mural-mural itu dihapus oleh Satpol PP bersama aparat kepolisian. Persepsi yang dimunculkan, meski tak ada unsur pidana, namun mural tersebut tidak berizin, melanggar Perda dan etika. Tetapi publik menduga lebih disebabkan isinya menyinggung penguasa. Sebab sekiranya mural itu berisi pujian, mungkin keadaannya jadi lain. Tindakan aparat tersebut menuai banyak kritik pengamat dan netizen. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan, aparat kepolisian terlalu reaktif menanggapi hal-hal begitu, padahal hanya ekspresi masyarakat terhadap kondisi sekarang.
Presiden Joko Widodo kelihatannya tidak begitu mempersoalkan kritik melalui seni seperti mural, puisi, karikatur dan sejenisnya. Presiden meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengingatkan anak buahnya agar tidak terlalu reaktif dan agresif menanggapi berbagai kritikan. Karena itu Kapolri melalui Kepala Badan Resersi Kriminal Mabes Polri Komjen Agus Andrianto meminta aparat di lapangan menahan diri, tidak terlalu cepat merespon kritik terhadap pemerintah, termasuk mural satire (sindiran). Kritik sah-sah saja dilakukan. Lain halnya kalau berisi fitnah, memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, intoleransi, memang seharusnya ditangani aparat. Payung hukumnya ada, yaitu Surat Edaran Kapolri dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE yang ditandatangani Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.

Baca Juga :  Beras Premium Tapi Kualitas Standar: Rakyat Tertipu dan Resah

Kritik Manifes Cinta
Jika aktif membaca media massa cetak maupun online, sekarang ini yang banyak beredar adalah karikatur-karikator politik. Isinya relatif sama dengan mural politik, yaitu sindiran kepada penguasa dan pihak terkait, termasuk dinamika menjelang dan ketika kampanye pemilu berlangsung.

Sebagai negara demokratis dan terbuka, petinggi dan aparat kita memang sebaiknya tidak merespon negatif kritik dari warga masyarakat, baik secara lisan, tulisan, lukisan dan sebagainya. Di tengah kondisi negara-bangsa kita seperti sekarang, wajar berbagai elemen bangsa melakukan partisipasi korektif, dengan memberi kritikan atau sindiran, secara halus maupun vulgar. Sejak Indonesia merdeka kritik-kritik sudah biasa, ada lewat tulisan, lukisan, puisi, film, drama, karikatur, dan sebagainya. Hal itu tergantung kebiasaan, keahlian dan budaya pengeritiknya. Kita yakin semua anak bangsa ingin negaranya aman, damai, sejahtera, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam keadilan, bukan sebaliknya.

Pemerintah dengan segala aparat seyogianya merespon positif setiap kritikan, asalkan disertai fakta dan data ilmiah yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan fitnah yang bersifat membunuh karakter orang dan pihak yang dikritik. Aksi buzzer yang selama ini terkesan selalu menghantam para pengeritik sudah waktunya dihentikan, karena cenderung melakukan character assassination terhadap pengeritik, bukan meng-counter data dengan data. Hal ini merusak demokrasi yang sehat, yang meniscayakan keterbukaan terhadap kritik.

Setiap pemangku jabatan publik sejatinya siap dikritik, karena mereka telah dipilih oleh rakyat dan digaji dari akumulasi uang rakyat melalui pajak, pungutan, retribusi dan segala macam penghasilan negara yang notabene milik rakyat juga. Adalah janggal saat mau dipilih minta dukungan rakyat, namun setelah dipilih menjauhi dan tak mau lagi dikritik rakyatnya sendiri. Budaya kritik bagian dari ajaran agama, amar ma’ruf dan nahi munkar. Peribahasa Arab mengatakan: “Apabila telah hilang kritik, maka sesungguhnya tidak ada lagi cinta. Cinta itu tetap ada selagi kritik masih ada”.

Baca Juga :  Kecurangan Beras Premium, Mengapa Regulasi Tak Bergigi

Maksimalkan Legislatif
Kritik yang marak selama ini tidak berdiri sendiri. Ia muncul karena komitmen, integritas dan profesionalitas penyelenggara negara dipertanyakan. Beban hidup masyarakat semakin berat, penempatan pejabat publik tidak sesuai keahlian dan lebih cenderung hanya bagi-bagi jabatan dan balas budi atas dukungan politik. Demokratisasi yang dulu dicita-citakan gerakan proreformasi juga terkesan matisuri.

DPR sebagai lembaga perwakilan tidak berfungsi maksimal, sensitivitas dan sense of crisis lembaga ini terasa tipis. Lembaga yang sejatinya bertugas sebagai pengontrol dan pengawas pemerintah dan penyalur aspirasi rakyat, justru memosisikan diri sebagai pendukung penuh dan pengawal pemerintah. Nyaris tak terdengar suara keras DPR memperjuangkan nasib rakyat yang gelisah dan tertumpuk masalah. Masyarakat merasa seolah tidak memiliki wakil di lembaga formal untuk menyalurkan aspirasinya. Akibatnya lahirlah berbagai kritik nonformal, seperti melalui mural dan media sosial yang berhamburan, serta unjukrasa berjilid-jilid.

Apabila kritik dalam berbagai bentuk ingin dikurangi, pemerintah dan jajarannya (legislatif, eksekutif dan yudikatif) harus lebih dahulu menunjukkan moral politik yang positif dan memihak rakyat. Sesuai tugas dan fungsinya, mereka hendaknya tampil menyuarakan arus bawah (bottom up), bukan menyuarakan kehendak pemerintah saja (top down), itulah hakikat demokrasi; dari, oleh dan untuk rakyat. Kalau ada kebijakan pemerintah yang memberatkan rakyat, DPR-lah yang lebih dahulu bersuara kritis.

Di saat rakyat sedang susah, DPR dan segenap pejabat misalnya bersedia memotong gaji dan tunjangannya untuk diberikan kepada rakyat, dan terus menekan pemerintah agar memprioritaskan anggaran untuk penyelamatan kehidupan rakyat, terutama menengah bawah. Jangan sampai dana APBN dan APBD yang berasal dari dan merupakan hak rakyat digunakan untuk proyek-proyek yang tidak berhubungan langsung dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Kalau pemerintah dan DPR benar-benar optimal memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyatnya, kita yakin rakyat akan semakin apresiatif terhadap pemimpin negaranya. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan