Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan
Opini

Mendambakan Hasil Pemilu

×

Mendambakan Hasil Pemilu

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ahmad Barjie B
Pengamat Pemilu

Penyelenggaraan Pemilu, satu sisi disebut pesta demokrasi yang mengembirakan. Namun di sisi lain, pesta yang satu ini juga sangat berat dan melelahkan. Tegang, stres, lelah, capek, kecewa, marah, dan berbagai perasaan berkecamuk. Itulah yang biasa dirasakan para penyelenggara Pemilu di semua lini dan tingkatan, dari KPU hingga KPPS, Bawaslu dan jajarannya ke bawah, penyedia dan distributor logistik, aparat keamanan, serta berbagai pihak terkait.
Bahkan sebagaimana diberitakan pada Pemilu sebelumnya, banyak petugas KPPS di berbagai daerah sakit, meninggal dan sebagainya saat atau sesudah menjalankan tugasnya. Artinya banyak orang telah mengorbankan kesehatannya, waktu istirahat dan tidurnya, ketenangan dan kebersamaan dengan keluarganya dan sebagainya guna kelancaran dan kesuksesan Pemilu,
Semua ini menggambarkan betapa sistem penyelenggaraan Pemilu saat ini cukup rumit. Jauh dibandingkan dengan Pemilu di era Orde Baru yang mudah dan sederhana. Dengan hanya tiga kontestan (PPP, Golkar dan PDI) dan cukup menusuk tanda gambar tanpa ada nama calon yang perlu dihitung perolehan suaranya, urusan selesai. Berbeda dengan sekarang yang petugasnya harus begadang sampai pagi.
Tingginya kerumitan dan kelelahan dalam penyeleggaraan Pemilu seharusnya menyadarkan semua pihak akan pentingnya melahirkan hasil (output) pemilu yang berkualitas dan didambakan. Selanjutnya para calon legislatif dan eksekutif yang terpilih dapat memberikan imbal balik (outcome) berupa pengabdian kepada rakyat.
Apabila setelah Pemilu, para anggota legislatif dan eksekutif terpilih tidak menjalankan tugas dan amanah rakyat dengan baik dan maksimal, berarti antara proses Pemilu yang sangat berat dan berbiaya tinggi tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh, berupa lahirnya para wakil rakyat dan pemimpin yang amanah dan kapabel.

Baca Koran

Tinggal Kinerja
Seberapa pentingkah Pemilu di Indonesia? Jika diukur dengan sistem demokrasi Pancasila khususnya sila ke-4, tentu saja Pemilu menjadi penting, sebab dari sinilah dapat dipilih dan dilakukan transisi, regenerasi dan perubahan kekuasaan secara prosedural, demokratis, aman dan damai, baik di jajaran legislatif maupun eksekutif.
Sejak awal merdeka, para pendiri bangsa ini sudah mencanangkan Pemilu. Bahkan saat itu sudah diberlakukan sistem demokras liberal. Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta sejak 3 November 1945 sudah mengeluarkan Maklumat X yang isinya mendorong dan merestui berdirinya partai-partai politik, sebagai cikal bakal untuk duduk di Parlemen. Tujuannya agar partai-partai politik tersebut dapat dijadikan saluran paham, ideologi dan aliran politik rakyat secara konstruktif dan bertanggung jawab, sekaligus memperjuangkan amanah, nasib dan kesejahteraan rakyat.
Melihat tujuan pendirian partai tersebut tampak bahwa pada awalnya, partai dijadikan sebagai sarana untuk dua hal: pertama, saluran bagi ideologi yang berbeda-beda agar tidak berkembang liar di tengah masyarakat, dan kedua sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Sekarang, idelogi partai peserta Pemilu sudah nyaris sama. Meskipun masih ada nuansa agama, nasional dan sekuler pada partai-partai yang ada, namun semuanya sudah cair, kecuali hanya beda tipis yang tidak mendasar lagi. Yang membedakan hanya nama-nama partai, kekuatan jaringan dan finansialnya serta para tokoh yang memimpin partai tersebut.
Karena masalah ideologi sudah selesai dan rakyat kelihatannya tidak mempersoalkannya lagi, maka bagi para anggota legislatif dan eksekutif ke depan harus lebih menonjolkan kinerja dan pengabdian kepada seluruh rakyat tanpa kecuali.

Baca Juga :  Tingkat Kesopanan Aanak Muda

Menjadi Penting
Tampilan wakil rakyat terpilih berbasis kinerja dan pengabdian semakin penting karena sebenarnya Pemilu hanya sarana demokrasi. Tujuan utamanya adalah memperjuangkan nasib rakyat. Artinya jika tujuan ini tidak dapat dicapai maka Pemilu menjadi hampa makna.
Karena hanya bersifat sarana, tanpa Pemilu pun sebenarnya negara masih bisa berjalan. Hal ini dapat kita lihat dari fungsi lembaga DPR itu sendiri. Setelah tidak lagi berwenang memilih presiden, gubernur, bupati/walikota dengan sistem perwakilan, kini tugas utama lembaga ini tinggal tiga, yaitu menyusun UU/Perda, menyusun anggaran pembangunan dan melakukan kontrol terhadap pemerintah. Bahkan banyak pejabat setingkat gubernur dan bupati/walikota justru diangkat sebagai pejabat sementara yang waktunya relatif lama, meskipun tanpa melalui pemilu.
Apabila berpegang pada prinsip bahwa setiap urusan publik harus dipegang oleh orang yang ahli, maka menyusun UU/Perda seharusnya dilakukan para ahli hukum, mulai dari hukum nasional, hukum agama, hukum adat, hingga hukum tata negara. Anggota DPR tentu diragukan keahliannya di bidang hukum di atas. Banyaknya UU yang disoal dan ditolak masyarakat, dilakukan judicial review, serta ribuan Perda yang dianulir menunjukkan, DPR memang bukan ahli di bidang hukum. Namun karena kewenangan, maka mau tak mau mereka dituntut untuk ahli di bidang hukum.
Menyusun anggaran, karena berkaitan dengan keuangan, tentunya akan lebih tepat jika ditangani dan diserahkan kepada para ahli keuangan, ahli perencana anggaran, pakar akuntansi publik dan sejenisnya.
Lebih-lebih peran kontrol, di luar DPR sudah amat banyak orang dan lembaga yang dapat melakukan kontrol kepada pemerintah, mulai dari para pengamat, pemerhati, pers/media massa, ulama, cendekiawan, komisi-komisi, mahasiswa dan sebagainya.
Jelas DPR bukan orang dan lembaga satu-satunya dan yang ahli dalam bidang UU, anggaran dan kontrol. Mereka lembaga politik yang berwenang melakukan ketiga tugas tersebut. Kewenangan itu melekat karena sistem politik itulah yang berlaku, dan mereka telah dipilih oleh rakyat. Terlepas apakah keterpilihannya oleh rakyat karena murni kehendak rakyat, karena mobilisasi, politik uang, tekanan dan sebagainya.
Selama ini DPR termasuk lembaga publik yang banyak disoroti dan dikecam rakyat. Kepentingan pribadi dan motif politik, dapat berdampak tugas mereka tidak dapat dijalankan dengan baik. Ada kecenderungan para wakil rakyat selama ini tidak bebas bersuara dan menyalurkan aspirasi rakyat, karena tersandera oleh arah politik dan kebijakan pimpinan partainya.
Sudah waktunya pengabdian kepada rakyat di atas segala-galanya. Ketika sudah terpilih menjadi wakil rakyat, dari partai mana pun, muara dan energinya hanya untuk mengabdi rakyat. Kalau suatu hal berguna bagi rakyat, para wakil rakyat tidak perlu lagi berbeda pendapat dan berdebat. Yang harus diperdebatkan dan diperjuangkan adalah bagaimana agar rakyat bisa lebih cepat sejahtera dan hidup dalam suasana keadilan.

Iklan
Iklan