Oleh : Ahmad Barjie B
Dewan Harian Daerah Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Kalsel
Di Hari Pahlawan 10 November 2023 lalu, Presiden Joko Widodo kembali memberikan gelar pahlawan nasional untuk sejumlah tokoh. Tahun ini gelar pahlawan nasional diberikan kepada enam orang, yakni Ida Dewa Agung Jambe (Bali), Bataha Santiago (Sulawesi Utara), M Tabrani Surjowitjitro (Jawa Timur), Ratu Kalinyamat (Jawa Tengah), KH Abdul Halim (Jawa Barat), dan KH Ahmad Hanafiah (Lampung). Sampai 2023 tercatat 206 orang pahlawan nasional yang ditetapkan pemerintah, 190 laki-laki dan 16 perempuan. Dari jumlah tersebut empat diantaranya dari Banjar Kalimantan Selatan; Pangeran Antasari, Brigjen TNI (Purn) H Hassan Basry, DR KH Idham Chalid dan Ir Pangeran Mohammad Noor.
Kalimantan Selatan sejak 2018 tidak pernah lagi mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah, padahal ada beberapa tokoh yang sudah diajukan dan diusulkan ke pusat, seperti Pangeran Hidayatullah dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Menurut peneliti sejarah dari Balitbangda Kalsel, Wajidi Amrie, banyak kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengantarkan seseorang tokoh menjadi pahlawan nasional. Selain itu di pusat sekarang sudah antri hampir 40 orang calon pahlawan nasional yang tengah diusulkan oleh masing-masing daerah, yang tentu juga berhak untuk mendapatkan gelar yang sama.
Banyak Potensi
Masyarakat Kalimantan Selatan tentu berharap agar jumlah pahlawan nasional dari daerah kita tidak berhenti di angka empat orang. Sebab, kita punya banyak stok tokoh yang juga potensial dan berhak untuk dijadikan pahlawan nasional.
Di kalangan pejuang Perang Banjar (1859-1906) tercatat banyak sekali tokoh dimaksud. Para pemimpin perjuangan dan panglima perang, yang oleh Belanda dimasukkan dalam daftar orang yang dihargai kepalanya jika mampu ditangkap hidup atau mati ada 23 orang. Diantaranya Pangeran Antasari (10.000 gulden), Pangeran Hidayatullah (10.000 gulden), Pangeran Aminullah (4.000 gulden), Demang Lehman (2.000 gulden), Penghulu Abdul Rasyid (1.000 gulden), Haji Buyasin (1.000 gulden) dan masih banyak lagi. Selain hadiah uang, Belanda juga menjanjikan bebas pajak tujuh turunan bagi siapa saja yang berhasil menangkap atau membunuh mereka.
Dari sejumlah tokoh pimpinan Perang Banjar tersebut, baru Pangeran Antasari yang diberi gelar pahlawan nasional, padahal di antara mereka ada yang tewas di medan perang (Datu Aling, Tumenggung Abdul Jalil, Tumenggung Antaluddin, Penghulu Abdul Rasyid, Haji Buyasin, Panglima Wangkang, Sultan Muhammad Seman), dihukum mati/gantung (Saad Pembakal Abulan, Haji Seman mertua Sultan Tamjidillah, Demang Lehman, Panglima Batur), dibuang (Pangeran Hidayatullah, Gusti Perbatasari, Gusti Muhammad Arsyad, Ratu Zalecha) dan sebagainya.
Begitu juga di masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), banyak sekali tokoh pejuang yang berjasa besar dalam perang gerilya hingga Belanda kewalahan dan terpaksa meminta cease-fire (gencatan senjata), seperti Hassan Basry, Aberani Sulaiman, M Hammy Abdullah Majid, M Yusi, Daeng Lajida, Martinus, Damanhuri, P Arya, Abdurrahman Aroba, Abdul Karim, Ali Hamdi Budhigawis, Aluh Idut dan banyak lagi. Di hampir semua kabupaten kota di Kalsel kita punya 13 taman makam pahlawan, belum termasuk pejuang yang makamnya tidak dikenal.
Apalagi kalau memasukkan para ulama dan tokoh lain yang di Kalsel ini boleh dikatakan juga gudangnya ulama dan tokoh yang berjasa dan punya nama besar. UU RI Nomor 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Kehormatan, memberi peluang, bahwa pahlawan nasional tidak hanya yang berperan dalam peperangan melawan Belanda, tetapi juga tokoh lain yang berjasa besar kepada masyarakat. Terbukti dari 200-an pahlawan nasional, banyak mereka yang hidup di masa sebelum penjajahan Belanda, dan banyak pula yang tidak berperang secara fisik mengangkat senjata. Jadi kalau berbicara tentang potensi dan hak, Kalimantan Selatan sangat berhak. Cuma masalahnya, tidak mudah untuk menjadikan para tokoh pejuang tersebut sebagai pahlawan di tingkat nasional.
Upaya Daerah
Menyikapi ketidakmudahan ini, beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, setelah upaya daerah sudah cukup optimal dan persyaratan relatif terpenuhi, maka para tokoh atau wakil rakyat kita di pusat hendaknya gigih melakukan pendekatan. Tidak sebatas dukungan rekomendasi tertulis sebagai prasyarat formal, tetapi lobi intensif. Melihat daftar nama pahlawan nasional dari daerah-daerah lain, tampak tidak semuanya tokoh popular secara nasional, mungkin kualifikasinya relatif sama dengan tokoh-tokoh yang kita punya. Tetapi daerah-daerah lain lebih gigih melobi dan mengawal usulan mereka di pusat hingga berhasil. Kalau kita menunggu saja gelar itu diberikan, agaknya berat dan lambat.
Kedua, pemerintah di daerah (provinsi dan kabupaten kota) hendaknya lebih dahulu menjadikan para tokoh tersebut sebagai pahlawan di daerahnya masing-masing. Kesultanan Banjar pada 2015 lalu pernah menginisiasi langkah ini dengan memberikan gelar Wirasana (Pahlawan Negeri) kepada beberapa tokoh pejuang. Saat itu Sultan Khairul Saleh memberikan gelar Wirasana kepada Panglima Wangkang, Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Mohammad Noor, yang diterimakan oleh zuriyat atau keluarganya.
Dengan gelar pahlawan daerah, pahlawan banua, pahlawan Banjar atau apapun namanya, maka ada atau tidak ada gelar pahlawan nasional dari pusat, kita di daerah sudah lebih dahulu memberikan gelar tersebut, karena kita memang mengakui jasa dan perjuangan mereka. Terkait hal ini, Gubernur Kalsel Sahbirin Noor yang saat ini berposisi sebagai Ketua Umum Dewan Harian Daerah Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Kalsel bersama DPRD dan dinas terkait perlu membuat payung hukumnya, berupa Perda, keputusan gubernur atau apapun namanya, yang disosialisasikan dan dilaksanakan di seluruh wilayah Kalsel. Hal ini penting, agar pihak terkait yang melakukan kajian dan pengusulan bisa berkerja dengan jelas, fokus dan ada dukungan dana dari APBD provinsi dan kabupaten kota. Hasil audiensi dan koordinasi antara DHD Provinsi Kalsel dengan DHC kabupaten/kota selama ini umumnya diwarnai curhat bahwa DHC di kabupaten/kota selama ini kurang memiliki posisi yang kuat dan tidak ada dana rutin untuk bergerak, sehingga kegiatan terbatas. DHN dipusat hingga DHD dan DHC di daerah-daerah merupakan organisasi yang tua, sejatinya merupakan organisasi pewaris semangat historis perjuangan yang diamanahkan pendiri bangsa. Organisasi ini mestinya mendapatkan perhatian dan dukungan dana seperti KNPI dan berbagai ormas pemuda, MUI dan berbagai ormas keagamaan dan sebagainya yang belakangan berdiri.
Melalui inventarisasi dan kajian secara objektif dan proporsional, para tokoh di daerah selanjutnya ditetapkan sebagai pahlawan daerah sesuai kapasitasnya. Namanya diabadikan sebagai nama jalan, jembatan, gedung, sekolah/perguruan tinggi, rumah sakit, dan bersama dengan itu juga disiapkan buku-buku biografinya yang lebih mendalam dan luas, temasuk dokumentasi dan publikasi melalui media online, sehingga tergambar ketokohannya. Generasi muda, anak-anak sekolah, mahasiswa dan masyarakat umum, dapat mengenali para tokoh pejuang di daerahnya, sama atau kalau perlu lebih mendalam pengenalannya dibanding dengan tokoh-tokoh nasional. Sekiranya dana APBD memungkinkan, bagus sekali keluarga atau ahliwaris para pejuang itu diberi santunan, beasiswa, dibedahkan rumahnya, kalau sakit dijamin pengobatannya, dirawat kuburnya, diadakan upacara haulan untuk mendoakan mereka, dan seterusnya.
Bangsa yang selalu ingat jasa pahlawannya akan menjadi bangsa kuat dan besar. Pemimpin yang menghayati perjuangan akan lebih terjamin komitmennya menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai tujuan kemerdekaan dan amanah pejuang bangsa. Wallahu A’lam.