Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis naskah buku “Dari Banjar Menatap dunia”
Masih ingat dengan Geert Wilders? Dialah politisi Belanda, Ketua Partij Voor de Vrijkhead (VVV) atau Partai Kebebasan. Belum lama ini diberitakan, Wilders yang merupakan politisi anti-Islam Belanda keturunan Sukabumi (Indonesia) kelahiran 1963 menang Pemilu. Kemenangannya ini berpotensi menjadikannya sebagai perdana menteri menggantikan Mark Rutte.
Kalau cukup melek terhadap media, tentu masih ingat bahwa pada 27 Maret 2008 lalu Wilders “sukses” membuat geger dunia, khususnya dunia Islam, melalui film berjudul “Fitna”, berdurasi
16,48 menit. Bersama wakilnya, Arnound van Doorn ia menggarap Fitna dengan produser Scarlet Pempernel.
Bagi umat Islam, film “Fitna” sarat dengan fitnah dan pemutarbalikan fakta. Ia menggambarkan Islam dan Nabi Muhammad SAW dengan kacamata negatif, mengusung radikalisme, terorisme dan mengancam peradaban barat. Wilders cs memandang dan memvisualisasikan Islam menurut pemahaman subjektif. Karena itu ketika Asosiasi Penyiaran Muslim Belanda mengajak Wilders untuk melakukan diskusi secara ilmiah dan terbuka, ia langsung menolak.
Wilders yang dikenal sebagai politisi Belanda yang menjunjung kebebasan tanpa batas, melalui karyanya itu tampak bertujuan untuk melakukan provokasi. Ia sengaja menyiarkan film “Fitna” melalui media online dalam berbagai bahasa, dari bahasa Inggris, Arab, Jerman, Persia dan bahasa Belanda sendiri. Itu sebabnya, film cepat tersebar luas, versi bahasa Belanda diakses 1,6 juta kali dalam dua jam, dan versi bahasa Inggris 1,2 juta kali dalam 5 jam
Banyak protes atas kelancangan Wilders. Sekjen PBB saat itu, Ban Ki Moon mengecam karena film tersebut dapat merusak perdamaian dunia dan hubungan antaragama yang sudah cukup baik.
Pemerintah Iran memanggil Dubes Belanda di Teheran untuk menegaskan protes. Indonesia saat itu juga mengecam dan melakukan protes keras. Banyak muslim dunia berunjuk rasa di depan Kedubes Belanda, negaranya Wilders. Mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad menganjurkan agar dunia Islam memboikot semua produk Belanda.
Bermain Api
Melihat kerasnya protes, banyak kalangan mengira Wilders dan negaranya tidak lagi melakukan hal serupa di kemudian hari. Namun, setelah 10 tahun berlalu, ternyata Wilders sama sekali tidak kapok. Sejak bulan Juni 2018 ia kembali menggelar sayembara, lomba kartun Nabi Muhammad saw, tanpa batas waktu pasti penutupannya. Peserta boleh mengirimkan karya kartunnya, dan silakan mengirimnya lewat akun-instagram resmi Wilders. Ia dan partai VVV menjanjikan hadiah 5 000 Euro (Rp 83,3 juta) bagi karya “terbaik”.
Meski belum banyak publikasi, berbagai kalangan kembali menolak ide nyleneh Wilders. Sekjen Organisasi Konferensi Islam (OKI) Yousef bin Ahmad al-Ottaimen menyebut apa yang dilakukan oleh Wilders dan partainya merupakan langkah provokatif untuk membangun permusuhan dengan umat Islam dunia. Bagaimanapun umat Islam sangat mencintai Nabi mereka, sebagaimana umat lainnya mencintai nabi-nabi mereka, yang hakikatnya nabinya umat Islam juga karena semua nabi bersaudara. Umat Islam sejak lama menabukan visualisasi Nabi Muhammad, baik dalam bentuk gambar, lukisan, patung, kartun, karikatur, film dan sebagainya. Al-Othaimen menekankan, kebebasan berkreasi hendaknya jangan sampai menyinggung dan merusak hubungan antaragama dan umat beragama.
Anehnya, sikap Wilders ini didukung, atau paling tidak direstui oleh Parlemen Belanda. Hal ini tampak dari kompetisi kartun Nabi yang dilaksanakan di Kantor Partai Kebebasan yang berada di gedung Parlemen Belanda. Bahkan kompetisi ini juga disetujui Badan Pemberantasan Terorisme Belanda (NCTV). Partai Kebebasan yang ketika itu merupakan pemenang nomor dua dalam pemilu dan masih menjadi oposisi, tampaknya cukup diakomodasi oleh pemerintah Belanda, sehingga kompetisi kartun Nabi Muhammad yang sejatinya kontraproduktif dan antiklimaks bagi perdamaian dunia justru direstui.
Saling Menghargai
Perdamaian dan peradaban dunia sesuatu yang sangat vital dan mahal harganya. Salah satu upaya mewujudkannya adalah merekatkan persaudaraan antaragama. Para pihak harus saling menghargai dan menghormati eksistensi masing-masing. Meskipun ada beberapa aspek teologi agama yang berbeda satu sama lain, namun ada sejumlah titik persamaan yang perlu direkatkan sehingga energi agama dapat dioptimalkan untuk perdamaian dan kemanusiaan yang hingga harini masih menyisakan masalah besar.
Apa yang dilakukan Wilders dan orang-orang yang sepaham dengannya seyogianya dicegah, baik pada level individu, organisasi maupun oleh penguasa setempat. Kebebasan tidak harus melukai umat agama lain. Kalau seseorang mau berkreasi, maka seyogyanya melakukannya dengan pendekatan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Agama Islam bahkan agama-agama lain pun bisa didiskusikan, asalkan dengan pendekatan ilmiah, yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah juga. Hal itu tidak akan merusak, bahkan positif untuk membangun komunikasi dan pemahaman
antaragama.
Kalau suatu karya, walaupun atas nama kebebasan berkreasi, akan negatif dan menyinggung apalagi disengaja dengan maksud provokatif, seharusnya tidak ditoleransi. KH Hasyim Muzadi (alm), dalam posisinya sebagai Sekjen International Conference of Islamic Scholars (ICIS) dan Presiden World Conference of Religions for Peace (WCPR) menekankan, bagi umat Islam ada beberapa titik sentral yang tidak boleh dinistakan, yaitu Allah swt, Nabi Muhammad saw dan Alquran al-Karim. Hal serupa tentu berlaku bagi agama-agama lain, artinya kita harus menghormati konsep Ketuhanan, Kenabian dan Kitab Suci bersangkutan. Prinsip ini hendaknya berlaku, baik di dalam negeri maupun dalam lintas pergaulan internasional. Kita sepakat untuk setuju dalam keberbedaan, agree in disagreement, sebagaimana dulu diusulkan Menteri Agama era 1970-an Abdul Mukti Ali.
Prinsip saling menghargai dan menghormati semakin penting dalam era digital dan dunia online sekarang ini. Melalui media sosial kita begitu mudah mengakses sesuatu yang belum tentu benar, dan kalau pun benar belum tentu positif untuk disebarluaskan. Kalau kita bisa tersinggung, orang lain punya perasaan yang sama. Mencapai tujuan baik harus dengan cara-cara yang baik pula.
Wallahu A’lam.