Oleh : Anita
Aktivis Muslimah
Perubahan iklim telah menjadi masalah yang serius. Selama beberapa dekade terakhir, dampak yang ditimbulkan sangat nyata terlihat dari bencana alam yang sering terjadi seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan lain sebagainya. Indonesia yang disebut sebagai paru-paru dunia nampaknya kesusahan mempertahankan keberadaan hutan sebagai penyokong utama keseimbangan alam.
Hal ini terbukti dari catatan BNPB yang menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebut sebagai bencana terbanyak selama 2023 (CNN, 12/1/2024). Selain itu, krisis iklim terjadi karena pembangunan yang tidak terencana dan mengabaikan aspek lingkungan. Pembangunan yang seharusnya membawa kesejahteraan berbalik merugikan bagi rakyat. Hal ini menandakan dan menjadi bukti adanya kelancangan pemerintah menghianati amanat undang-undang dengan berpihak pada oligarki dan mengabaikan keadilan bagi kehidupan rakyat. Memasuki musim penghujan, beberapa wilayah di Indonesia telah merasakan dampak tersebut.
Mengutip dari CNN Indonesia (13/1/2024) terdapat 6.467 warga Riau yang mengungsi akibat banjir. Bahkan di daerah ibu kota Jakarta pun tak luput dari bencana banjir akibat hujan deras yang akhirnya menggenangi sampai 3 RT dan 6 ruas jalan (Berita Satu, 11/1/2024).
Inilah kerusakan yang merugikan rakyat. Keputusan pembangunan yang semena-mena demi keuntungan pengusaha, seperti pengalihfungsian lahan, pembangunan wilayah perkotaan, daerah tujuan wisata, dan lain sebagainya selalu disertai alasan investasi yang dapat membuka lapangan kerja. Namun, nyatanya hal tersebut tidak sepenuhnya terlaksana melainkan menambah kerugian yang dialami rakyat.
Kebijakan pembangunan yang didasarkan pada asas kapitalisme hanya mengutamakan keuntungan segelintir orang dan abai terhadap lingkungan serta masyarakat sekitar. Menegaskan hal ini, Allah telah berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada sebagian dari (dampak) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar Rum : 41).
Akibat keserakahan para oligarki merembet pada kerusakan alam, hilangnya hutan, dan menimbulkan bencana. Ini jelas bertentangan dengan apa yang Allah perintahkan dan telah diamanatkan untuk manusia sebagai khalifah di muka bumi. Dimana seharusnya mempu menjaga kelestarian alam dan memanfaatkannya dalam pembangunan yang berkeadilan untuk kemaslahatan masyarakat.
Sebagimana yang dijalankan para khalifah terdahulu, dimana segala pembangunan yang dilakukan berfokus untuk mewujudkan kemajuan, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, jalan, taman, pasar, dan lain sebagainya sehingga dapat dimanfaatkan dan memudahkan masyarakat. Tidak seperti asas kapitalisme dimana pembangunan ditujukan demi kepentingan para investor dan tidak peduli terhadap kepentingan masyarakat disekitar.
Maka, sebagai manusia yang bermartabat hendaklah para penguasa dapat menjalankan aturan sebagaimana yang Allah perintahkan. Melalui tangan mereka haruslah dapat dilakukan pengaturan terhadap keputusan pembangunan yang berlandaskan manfaat bagi masyarakat banyak bukan hanya untuk para pengusaha. Penguasa yang sebenarnya melayani rakyat hendaklah senantiasa memerhatikan kenyamanan dan keamanan rakyatnya. Para penguasa harus selalu mengingat bahwa segala keputusan dan kebijakannya akan dipertanggungjawabkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dimana beliau sampai merasa gundah terhadap pertanggungjawaban beliau nanti jika jalan yang berlubang dilalui keledai membuatnya terperosok. Oleh karena itu, keteladanan ini hendaknya menjadi contoh dan pengingat untuk pemerintah atau penguasa yang membuat keputusan dan menerapkan kebijakan pembangunan yang dapat melindungi rakyat dari segala hal negatif yang merugikan apalagi sampai menimbulkan korban seperti bencana alam. Melalui kebijakan pembangunan yang terencana dan memerhatikan kepentingan rakyat, tentu dapat meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian.