Oleh : Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel
Salah satu ungkapan tradisional bahasa Banjar adalah “maharap tatiharap”. Maksudnya kalau terlalu mengharapkan sesuatu, setelah gagal akhirnya tertiarap (terjerembab). Orang yang sangat menyintai seorang gadis atau pemuda, setelah gagal menikah akhirnya putus asa, stres, bahkan ada yang bunuh diri. Terlalu mengharapkan menjadi pegawai negeri, setelah gagal lantas menyalahkan sekolah, pemerintah atau bahkan tak mau lagi bekerja baik-baik untuk mengamalkan ilmunya. Terlalu mengharapkan suatu jabatan, kedudukan, setelah gagal akhirnya stres, stroke, sakit, bahkan meninggal dunia.
Beberapa tahun lalu media massa sempat ramai memberitakan kisah pilu seorang mantan calon bupati di Jawa Timur. Setelah gagal terpilih dalam pilkada dan punya utang Pilkada miliaran rupiah ia stres, gila, jalan-jalan hanya memakai celana kolor, dan tidur sembarangan. Cabup malang ini selain tiga kali mencoba bunuh diri, juga suka mengamuk, menghancur harta benda dan mobil keluarga. Akhirnya ia dikirim ke rumah sakit jiwa (BPost 7/8/2008).
Tulisan ini tidak bermaksud mengeksploitasi kasus tersebut, sehingga orang yang jatuh masih ditimpakan tangga. Hanya mengajak pembaca untuk menjadikan kasus tersebut sebagai cermin pembelajaran. Jika mengharapkan sesuatu tidak perlu terlalu membabi buta, sehingga jika gagal akan berisiko besar terhadap fisik dan mental. Ada ungkapan, kalau menyintai sesuatu janganlah terlalu besar, siapa tahu satu saat Anda akan membencinya. Orang yang kalah dalam percaturan politik tidak jarang menyesal, mengapa dulu ia mau-maunya ikut bertarung. Bahkan ada pejabat yang terpilih (menang) pun ikut menyesal, karena gara-gara jabatannya akhirnya ia masuk penjara. Kalau RA Kartini mengusung semboyan “habis gelap terbitlah terang”, kini banyak realita “habis terang muncul gelap”, sebab begitu banyak pejabat publik justru berurusan dengan hukum pasca jabatannya.
Terbuka Peluang
Masalah ini penting kita cermati karena di era reformasi kini selalu ramai dengan musim Pemilu dan Pilkada. Pemilu multipartai membutuhkan banyak caleg, diperkirakan banyak pula yang kurang memenuhi syarat kualifikasi pendidikan, kemampuan, kesiapan fisik, mental dan finansial. Banyak calon bertarung mengadu nasib untuk jabatan politik di legislatif maupun eksekutif (bupati/walikota, gubernur dan presiden). Di era terdahulu, hanya orang yang punya akses kepada partai politik (DPRD) dan merasa mampu saja yang mencalonkan diri. Kini hampir semua orang boleh ikut kontes memilih dan/atau dipilih.
Potensi stres bagi calon cukup tinggi, salah satunya disebabkan biaya politiknya sangat besar, baik untuk keperluan uang politik maupun politik uang. Sistem pemilihan langsung setiap calon merasa kans-nya besar sehingga tidak segan mengeluarkan biaya besar, meski dengan menjual harta atau berutang ke sana ke mari. Terlebih tim sukses biasanya ikut mengipas-ngipasi dan memberi semangat, akibatnya sang calon terprovokasi untuk terus mengucurkan uang dari sumber mana saja. Ada yang rela menggadaikan SDA dan menjanjikan konsesi jika terpilih. Ada kalangan mengatakan, sekarang jangankan calon yang kalah, yang menang pun akan stres. Menurut psikolog Dadang Hawari (alm), kalau di kalangan masyarakat biasa faktor stres terbesar karena masalah-masalah ekonomi, di kalangan pejabat publik dan politisi, stressor psikososialnya tak lain karena motif-motif politik yang tidak tercapai.
Tiap menjelang dan sesudah even-even politik, pengunjung rumah sakit jiwa dan terapi kejiwaan meningkat, ujarnya.
Bukan perkara mudah mengembalikan modal miliaran rupiah lewat gaji dan tunjangan resmi. Hanya korupsi dan akal-akalan saja yang dapat menutupi semua biaya tsb. Tak heran di era reformasi korupsi terus marak dalam berbagai bentuknya. Belum lagi banyaknya beban karena jabatannya diusung oleh banyak partai dan kelompok pendukung. Bagi orang beragama, praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan, yang notabene berdosa, akan mengganggu ketenangan jiwanya. Lama kelamaan ia akan stres dan sakit. Hanya orang yang berbakat korupsi dan imannya tipis saja yang tenang-tenang saja menikmati korupsinya. Amien Rais mengatakan, korupsi itu seperti merokok di WC, mulanya tidak enak karena bercampur bau, tapi lama-lama menikmati dan tidak sungkan lagi.
Agar terhindar dari risiko stres yang berat hendaknya jabatan publik hanya dijadikan sebagai panggilan hidup, tugas mulia dan ladang amal. Bukan sebuah ajang pertaruhan hidup mati. Kalau tidak terpilih berarti Allah tidak menghendaki kita menjadi pejabat dan itu bagus saja, sebab banyak hadits memperingatkan jabatan publik akan menjadi penyesalan di akhirat nanti, akibat banyaknya pejabat tidak amanah. Bahkan pejabat yang korupsi, tidak jujur dan tidak berjuang untuk rakyatnya, tidak akan pernah mencium bau surga.
Luasnya Pengabdian
Penting pula para tokoh melihat lahan pengabdian secara luas. Kalau tidak terpilih menjadi pejabat publik, masih banyak lapangan pengabdian lain yang tidak kalah luhur dan mulia untuk digeluti. Para pengusaha misalnya, mengabdi di dunia usaha sudah sangat mulia, mengapa harus beralih menjadi pejabat dan politisi. Nurhudianto, penulis sejumlah buku memoar tokoh, mengatakan, dunia politik adalah dunia yang bergetah. Ia tegaskan, kalau sebagai pengusaha sudah dapat membantu masyarakat, mengapa harus menjadi pejabat publik dan politisi yang penuh risiko. Memang ada yang bilang jadi pengusaha dan penguasa itu beda, misalnya kalau penguasa selalu dilayani, berjalan dipayungi, tas dibawakan, jendela mobil dibukakan, suara pidatonya didengar, kesana kemari pakai petugas dan mobil pengawal. Tetapi bukankah itu semua polesan dan aksesori sementara saja. A’a Gym menyebut semua itu hiasan luar atau bungkusan saja, bukan isi yang sebenarnya.
Di alam demokrasi menjadi pejabat publik dan politisi memang hak semua orang, tetapi sepantasnya orang-orang yang mampu saja yang maju dan dipilih. Islam tidak mengajari umatnya mempromosikan diri agar dipilih menjadi pejabat, dan Rasulullah pernah melarang hal itu. Tetapi karena kini jabatan nyaris mustahil datang sendiri ke rumah tanpa diperjuangkan, bolehlah mempromosikan diri secara wajar asal mampu dan terjamin amanah, sehingga kalau jadi benar-benar mempu membawa rakyat kepada perubahan kea rah kesejahteraan, perbaikan dan keadilan yang sesungguhnya, dan tampilannya di dalam dan luar negeri membanggakan seluruh rakyat. Seperti halnya Nabi Yusuf as memang pernah menawarkan diri kepada Raja Hexos agar diangkat menjadi bendaharawan negeri Mesir, karena berdasarkan tafsir mimpi Yusuf, negeri Mesir terancam bahaya paceklik yang dahsyat kalua tidak diselamatkan oleh pemimpin yang handal, mumpuni dan punya visi ke depan. Melihat Yusuf jujur, mampu dan amanah, raja pun tidak ragu mengangkatnya. Terbukti Yusuf memang amanah dan mampu menyelamatkan Mesir dari bahaya paceklik selama 7 tahun. Kalau bukan Nabi Yusuf yang jadi tentu Mesir akan ditimpa malapetaka yang dahsyat.
Kalau sekarang ada calon ala Yusuf yang mau dan mampu, silakan mempromosikan diri dan rakyat wajib memilihnya. Agama sudah memberi tuntunan, kalau ada yang lebih baik, maka pilihan harus dialamatkan padanya, bukan yang lain dengan alasan apapun. Jika pemimpin yang terbaik dalam perspektif agama tidak terpilih, maka rakyat ikut berdosa dan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak, disebabkan mengalihkan pilihannya kepada orang yang tidak kapabel. MUI Pusat dalam Musyawarah Nasional di Padangpanjang Sumatera Barat jauh-jauh hari, yaitu tahun 2009 lalu, sudah merumuskan hukum wajib dan haram dalam soal kepemimpinan ini. Wajib memilih pemimpin yang terbaik dalam perspektif agamanya (yaitu shiddiq, amanah, tabligh, fathanah), dan haram memilih yang kurang dalam empat kriteria tersebut.
Jika urusan publik diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggu kehancurannya, begitu pesan Rasulullah dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari. Rakyat tidak boleh golput, mereka punya kewajiban moral menyeleksi dan memilih calon pemimpin secara cermat. Pilihan sembarangan, hanya karena iming-iming hadiah dan uang, berarti rakyat sendiri yang mengkhianati diri dan negaranya. Kalau yang terpilih tidak amanah dan kapabel, bukan semata kesalahan pejabat terpilih, juga kesalahan yang memilih. Wallahu A’lam.