Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Mencintai Anak Secara Proporsional

×

Mencintai Anak Secara Proporsional

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku “Wanita, Keluarga dan Pendidikan Anak”

Di usianya yang sudah sepuh, 70 tahun, Nabi Ibrahim tidak henti-hentinya berdoa kepada Allah agar memperoleh anak. Menyadari usianya yang juga menjelang menopause, Sarah merelakan Ibrahim beristri lagi dengan wanita yang lebih muda. Maka dikawinkanlah Siti Hajar, hamba sahayanya sendiri, wanita yang tidak cantik, tapi diharapkan mampu melahirkan anak.

Kalimantan Post

Atas karunia Allah, Hajar kemudian hamil dan melahirkan Ismail. Saat itu usia Ibrahim sudah 86 tahun. Dapat diduga betapa bahagia dan sayangnya Ibrahim kepada Ismail kecil. Walau belakangan, setelah 13 tahun berjalan, Sarah juga hamil dan melahirkan Ishaq, kala itu Ibrahim sudah berusia 99 tahun, namun kecintaan Ibrahim tetap mendalam terhadap Ismail. Tidak ada yang membanggakan dan membahagiakan Ibrahim, kecuali memiliki anak. Dengan demikian akan ada generasi penerus dakwah.

Suatu hari, ketika Ismail berangsur remaja, Allah SWT mengujinya, sebagaimana diterangkan dalam surah Ash-Shaffaat: 102-106, “Ibrahim berkata: Hai Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, apa pendapatmu”. Ismail menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan Kami panggil dia, “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”

Sebagai catatan, antara Islam dan Kristen berbeda dalam menyebut anak yang diqurbankan Ibrahim (Abraham). Menurut Islam, anak yang diqurbankan adalah Ismail, sedangkan menurut Kristen adalah Isaac (Ishak). Ketika kontroversi ini ditanyakan oleh orang-orang kepada alm KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Gus Dur sambil guyon menjawab: “.. tidak penting siapa anak yang diqurbankan, yang penting keduanya selamat….he he”.

Dimensi Hikmah

Ayat di atas menggambarkan, betapa tingginya kesabaran dan keikhlasan ayah dan anak, yaitu Ibrahim dan Ismail ’alaihimassalam, dalam menjalankan perintah Allah. Dari sini kemudian terjadilah drama qurban, yang oleh Allah diganti dengan seekor kibas (domba) yang besar. Peristiwa ini menjadi monumen bagi ibadah qurban di masa-masa selanjutnya, yang senantiasa kaya dengan hikmah bagi kehidupan manusia. Sejak masa Rasulullah saw ibadah qurban dijadikan syariat Islam, bagi Rasulullah hukumnya wajib, sedangkan bagi umatnya hukumnya sunnat muakkadah (sunat yang sangat dianjurkan) setiap tahun.

Baca Juga :  HAMBA ALLAH

Prof Dr Komaruddin Hidayat menyebut beberapa hikmah yang terkandung dalam ibadah qurban dalam beberapa dimensi. Pertama, kita disuruh mau berkorban harta benda untuk sesama manusia, tapi jangan mengorbankan nyawa manusia. Kedua, kecintaan kepada anak dan kepada dunia, jangan sampai mengalahkan cinta kita kepada Allah. Ketiga, Ibrahim berhasil mendidik putranya menjadi anak yang saleh, taat kepada Allah, Rasul dan orangtuanya. Keempat, ketaatan Ibrahim dan Ismail justru menambah rahmat Allah pada mereka dan keturunannya.

Melalui Ismail lahir keturunan yang mulia, di antaranya Nabi Muhammad SAW. Dan melalui putranya yang lain (Ishaq) lahir para Nabi, seperti Yakub, Yusuf, Musa, Daud dan Sulaiman serta Isa. Karena itu Ibrahim dijuluki Bapak Monoteisme Dunia, karena keturunannya membawa tiga agama tauhid, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam.

Hikmah lain, Allah juga menjadikan Makkah yang semula menjadi tempat peristiwa qurban Ibrahim dan Ismail, menjadi tanah suci yang selalu didatangi manusia untuk berhaji dan umrah. Hingga kini arus manusia datang ke sana tidak pernah surut. Tanah suci itu tidak saja terjamin keamanannya, tapi juga menjadi sumber rezeki bagi manusia sekitarnya, bahkan negara bangsa yang jauh, karena berbagai barang dan jasa laku dijual dengan adanya ibadah haji dan umrah. Padahal, semula tanah itu gersang, penuh pegunungan batu, tandus dan tak menjanjikan apa-apa.

Setiap orang yang punya anak, tentu mencintai anaknya dan keluarganya, tapi Islam menghendaki kecintaan itu tidak melebihi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. “Dari Anas berkata: ”Rasulullah saw bersabda: ”Tidak beriman seorang hamba, sehingga aku lebih dicintainya daripada keluarganya, hartanya dan manusia semuanya” (Shahih Muslid, Jilid I: 44).

Cinta Anak

Baca Juga :  Perempuan dan Anak Membutuhkan Jaminan Perlindungan Siber dari Negara

Islam menyuruh mencintai anak dengan cara mendidiknya beragama (QS At-Tahrim: 6) serta memberikan jaminan kesejahteraan hidupnya supaya tidak lemah dan sengsara (An-Nisa: 9). Tidak ada anjuran dalam Islam agar cinta kepada anak diberikan berlebihan, sehingga mengabaikan kecintaan kepada Allah dan RasulNya dan ketaatan pada ajaranNya. Kecintaan yang berlebihan kepada anak, membuat anak manja, dan manusia lupa. Anak yang diberi fasilitas dan kemewahan, diwarisi kekayaan yang teramat banyak, dapat berakibat anak sendiri bingung menggunakannya. Tak jarang semua itu diperoleh orangtua dengan menghalalkan segala cara: korupsi dan kolusi. Demi anak, orangtua tidak memperdulikan lagi hukum agama.

Di Indonesia, orangtua sering menjadikan anak-anak sebagai simbol kekayaan dan jabatan orangtuanya. Makin kaya dan hebat jabatan orangtua, penampilan anak pun makin mewah. Anak tidak diajari hakikat hidup dan bagaimana menyiasati hidup dengan benar.

Di dunia barat, anak-anak tidak dimanjakan berlebihan. Meski orangtuanya kaya, di usia 18 tahun anak sudah disuruh hidup mandiri. Warisan orangtua tidak semuanya diberikan kepada anak. Jika ingin berhasil anak harus berusaha sendiri. Anak tidak diizinkan membonceng jabatan dan kekayaan orangtua. Biar orangtuanya ’bos’ perusahaan, jika anaknya mau bekerja, harus siap sebagai bawahan. Karier harus dimulai dari nol. Tak ada hak-hak istimewa.

Orangtua dan anak hendaknya senantiasa mengabdi kepada Allah. Apa saja yang dikorbankan karena Allah, maka itu untuk kebaikan dan keselamatan manusia itu sendiri. Allah tidak butuh daging dan darah kurban, tapi Allah ingin agar manusia mau mengorbankan hartanya, agar nafsu hewaniah pada diri manusia bisa hilang.

Sahabat bertanya, “Apakah qurban itu ya Rasulallah”, Rasul menjawab: “Pada tiap helai bulu hewan yang diqorbankan, kita beroleh suatu kebaikan. Barangsiapa berqurban dengan ikhlas dan mengharap keridhaan Allah, maka qurbannya akan menjadi perisai dan siksa api neraka (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Zaid bin Arqam). Nabi juga menyuruh: Besarkan qurbanmu, karena di hari akhirat nanti qurban itu akan menjadi kendaraan menyeberangi shirathal mustaqim.

Iklan
Iklan