Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

MUI Melarang Golput dan Politik Uang

×

MUI Melarang Golput dan Politik Uang

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan K omunikasi MUI Kalsel

Di setiap even Pemilu selalu ada orang-orang yang acuh tak acuh, tidak mau tahu dan enggan memilih, yang diistilahkan dengan golongan putih (golput). Mungkin karena mereka beranggapan bahwa mereka tidak berkepentingan langsung terhadap sukses tidaknya pemilu. Ada atau tidak ada pemilu, nasib mereka begitu-begitu juga. Ada tidaknya pejabat publik dan lembaga perwakilan rakyat, mereka tetap sulit memperbaiki nasib dan menyalurkan aspirasinya.

Baca Koran

Pesimisme demikian sepintas cukup beralasan. Sekiranya lembaga perwakilan tidak ada, tugas wakil rakyat sesungguhnya dapat digantikan lembaga lain. Tugas legislasi dapat diserahkan kepada para pakar hukum, pengaturan anggaran diserahkan kepada para ahli keuangan dan pengawasan diserahkan kepada pers dan masyarakat. Ketika berbagai program pembangunan dan penyusunan anggaran ditangani oleh DPR/DPRD, kemudian dilaksanakan oleh eksekutif, bisa saja tugas-tugas itu tidak objektif dan tidak smapai kepada sasaran, karena menjadi arena bargaining politik kepentingan dan bahkan sumber korupsi. Tidak semuanya difokuskan untuk kesejahteraan rakyat.

Tetapi sistem demokrasi tetap menghendaki dan menjadikan pemilu sebagai sarana memilih para wakil rakyat dan pejabat eksekutif, mulai dari presiden, gubernur hingga bupati walikota. Sekali lima tahun ada rotasi untuk mengevaluasi dan memperbaiki kualitas dan integritas para pejabat publik yang menduduki posisi-posisi strategis di legislatif dan eksekutif. Merekalah yang punya kewenangan merencanakan, menangani dan melaksanakan urusan-urusan publik. Karena itu pemilu tetap penting.

Kepedulian Ulama

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak 2009 telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Ijtima’ ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia ke-3 di Padang Panjang Sumatra Barat 26 Januari 2009 sudah mengharamkan golput.

Walau sifat fatwa MUI tidak otomatis mengikat MUI di daerah-daerah, namun sudah banyak MUI daerah, mengamini dan ikut menyosialisasikan fatwa tsb, di antaranya MUI Provinsi Sumatra Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan belakangan juga MUI Provinsi Kalsel. Melalui pertemuan 21 November 2013, MUI Kalsel 10 tahun lalu itu juga bersepakat golput haram, sebagaimana haramnya politik uang. Bahkan belakangan MUI, termasuk juga ulama perorangan seperti Ustadz Abdul Somad dan KH Das’at Latif semakin keras menyuarakan haram dan bahayanya politik uang. Dalam bahasa Ketum MUI Kalsel KH Husin Naparin Lc MA, kontestan pemilu hendaknya tidak memberi, dan masyarakat pemilih tidak meminta. Dengan begitu politik uang tidak terjadi.

Baca Juga :  Hijrah "Disconnect" Momentum Tahun Baru Islam 1447 H

Jika mengikuti media cetak, elektronik dan online, tampak ada kalangan mempertanyakan fatwa MUI. Ada yang menyebut MUI tidak netral, sudah masuk ke ranah politik, menjadi alat kepentingan politik dan tudingan lain. Mereka heran, mau-maunya MUI berfatwa demikian, tanpa melihat realitas di masyarakat, di mana kecenderungan politik uang seperti sudah dianggap hal biasa. Bagi kalangan pengeritiknya, masalah memilih dalam pemilu tetap sebagai hak, yang boleh digunakan boleh tidak. Jangan didekati dengan bahasa agama, wajib, halal atau haram. Terserah masyarakat pemilih saja.

Agar pemahaman tentang fatwa proporsional, kita perlu melihat kedudukan MUI. MUI didirikan atas permintaan pemerintah Presiden Soeharto sejak 1975. Tujuannya untuk memfasilitasi dan memediasi hubungan antara pemerintah dengan rakyat, khususnya umat Islam. Di dalam MUI terdapat unsur-unsur organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, kalangan intelektual dan cendekiawan, pengusaha, ahli hukum dsb. Meski terbatas dan tidak semuanya, MUI difasilitasi dan dibiayai pemerintah melalui APBN dan APBD. Dengan posisinya itu wajar MUI banyak menyuarakan kepentingan umum, termasuk kepentingan pemerintah, dalam arti MUI berkepentingan untuk menjaga kondisi bangsa agar selalu kondusif guna terwujudnya stabilitas nasional dan survivalitas pembangunan.

Namun, tidak berarti MUI selalu propemerintah. Dalam keadaan tertentu MUI juga bersuara keras terhadap pemerintah dan mengeluarkan fatwa yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Di sisi lain, pemerintah pun tidak selalu memaksakan kehendaknya dan atau ingin ulama yang duduk di MUI orang yang disenangi pemerintah.

Kita ingat di masa awal berdirinya (1975) hingga awal 1980-an, MUI diketuai oleh alm Buya Hamka, seorang ulama besar yang sangat konsisten. Buya tidak segan berbeda pandangan secara tajam dengan pemerintah. Beliau tegas mengatakan sesuatu yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Namun Buya juga tidak apriori. Sesuatu yang baik tetap diapresiasi dan didukung sesuai kompetensi MUI. Buya pun berusaha netral, tidak berat ke atas atau ke bawah. Dalam sebuah pernyataannya, Buya mengatakan tidak mudah menjadi ulama MUI, karena sama dengan memasak kue bingka (bikang) di atas bara api. Terlalu dekat kepada rakyat (api) bingkanya bisa hangus. Terlalu dekat pemerintah (jauh dari rakyat) kuenya tidak jadi masak.

Fatwa golput dan politik uang haram, bukanlah untuk kepentingan pihak tertentu, tetapi intinya untuk kepentingan rakyat juga, supaya melalui pemilu terpilih para pemimpin yang bersih, punya integritas dan amanah dalam membangun bangsa untuk kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Kalau segala sesuatu diukur dengan uang, bagaimana dengan calon yang tidak memiliki uang, padahal kita yakin dia mampu memikul amanah tersebut. Apakah mereka yang punya track record baik tersebut dibiarkan tidak terpilih hanya karena kekurangan materi dan uang untuk meraih suara pemilih. Terlalu sayang kalau suara kita dapat dibeli dengan sekian rupiah. Uang itu habis dalam sejenak, namun efeknya berkepanjangan. Bukan hanya lima tahun, tetapi cenderung lebih, sebab mereka yang terpilih biasanya ingin terpilih lagi, begitu seterusnya. Kalaupun periodisasi jabatannya sudah habis, masih bisa dilanjutnya oleh anak, menantunya dan sebagainya, yang sekarang diistilahkan dengan nepotisme dan politik dinasti.

Baca Juga :  Surga Dunia

Lebih Aspiratif

Urgensi dan efektivitas pemilu tergantung banyak hal, tidak saja penyelenggaraannya oleh KPU, Bawaslu dan sejumlah lembaga lainnya, yang menguras uang rakyat, persoalan DPT yang rumit, tetapi tidak kalah penting adalah partisipasi rakyat pemilih. Di tengah tren partisipasi pemilih yang menurun bahkan mengkhawatirkan, golput menjadi momok. Kalau golput terlalu dominan, bisa jadi hasil pemilu diragukan keabsahannya dan DPR/DPRD yang terbentuk tidak legitimated. Pada gilirannya eksekutif yang terpilih pun kehilangan kepercayaan.

Fatwa MUI mencoba mengantisipasi agar golput dan politik uang tidak terus meningkat. MUI dalam tahap ini sudah menjalankan tugasnya. MUI tidak sedang berpolitik, sebab bidang apa saja menjadi ranah MUI untuk memasukinya melalui produk fatwa, sepanjang untuk kemaslahatan rakyat. Fatwa MUI ini relatif sama dengan pendapat alm Dr Syekh Yusuf Qardhawi, seorang ulama besar dunia asal Mesir yang tinggal di Qatar, beliau mengharamkan memilih karena uang, dengan meninggalkan calon amanah dan kompeten yang tak punya uang. Beliau bisa menerima demokrasi pemilu, asalkan benar-benar dilaksanakan dengan baik, benar, jurdil dan tidak curang.

Banyaknya wakil rakyat dan pejabat publik selama ini yang tidak amanah, tidak kompeten dan kapabel, bahkan bermasalah di segi moral dan hukum, tergoda untuk korupsi, boleh jadi karena rakyat pemilih tidak menggunakan akal sehat dan daya kritisnya. Karena itu mari kita gunakan hak pilih dengan benar dan dengan bermodalkan akal sehat. Kita niatkan memilih sebagai bagian dari ibadah bidang siyasah (politik) yang tidak kalah penting dan tinggi nilainya dibanding ibadah mahdhah (khusus) seperti shalat dan puasa. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan