Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Akselerasi IKN atau Pengembangan Kota-kota Besar

×

Akselerasi IKN atau Pengembangan Kota-kota Besar

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ahmad Barjie B
Narasumber Seminar Nasional Aruh Ganal Kerukunan Keluarga Banjar Asia Tenggara di Samarinda 2020

Persoalan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kaltim tidak hanya diperdebatkan sebelum Pilpres 2024, tetapi juga menjadi isu politik panas di masa kampanye pemilu dan sesudahnya. Dinyatakan bahwa pasangan capres/cawapres Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahmud akan melanjutkan IKN, sedangkan pasangan Anies-Muhaimin akan mengkritisi dan mengevaluasi.

Baca Koran

Anies-Muhaimin kabarnya lebih setuju dana besar untuk pembangunan IKN, digunakan untuk mengembangkan kota-kota besar yang ada di Kalimantan seperti Banjarmasin, Palangka Raya, Pontianak, Samarinda, dan juga kota-kota lain di luar Kalimantan seperti Palembang, Padang, Banda Aceh, Makassar, Manado, Palu, Ambon, Ternate, Mataram, Kupang, Jayapura dan sebagainya. Dengan begitu pembangunan lebih merata, sehingga dana tidak terlalu tersedot untuk menggenjot IKN.

Sebenarnya antara pihak yang setuju IKN dengan yang ingin mengkritisi dan mengevaluasi, tidak perlu dipertentangkan secara frontal dan berseberangan. Keduanya masih bisa dikompromikan, dengan melihat urgensi, prioritas dan manfaat masing-masing.

Sama-sama Urgen

IKN untuk jangka panjang memang penting, karena Jakarta sudah sesak dan sulit untuk dikembangkan lebih lanjut. IKN di Kalimantan, dulu di Palangka Raya Kalimantan Tengah, sudah direncanakan oleh Presiden pertama Soekarno. Selama puluhan tahun kita mengira Palangka Raya-lah yang akan menjadi pilihan.

Meskipun begitu, ketika pemerintah pusat memilih Kaltim kita pun memaklumi. Mungkin konstruksi tanahnya lebih kuat. Tetapi IKN di Kaltim juga mengandung kontroversi. Menurut Prof Dr Ir Zulfikar Amir, Gurubesar di Nanyang Technology University Singapura, di antara persoalan proyek IKN adalah: Pertama, rencana program pembangunan IKN terkesan terlalu tergesa-gesa. UU Nomor 3 tahun 2022 tentang IKN hanya diproses oleh pemerintah bersama DPR-RI dalam waktu 40 hari, dan ini merupakan pembahasan RUU tercepat dalam sejarah Indonesia, karena umumnya dan seyogyanya RUU dibahas bertahun-tahun agar matang dan benar-benar sudah melalui uji publik yang komprehensif.

Kedua, IKN mengesankan program pembangunan yang bersifat top down (kehendak elit pemerintah pusat), bukan bottom up (kehendak rakyat bawah). Baginya, program top down yang dianut 30-an tahun oleh Ordebaru, di era reformasi ini sudah seharusnya beralih ke bottom up dengan melihat aspirasi dan kebutuhan rakyat keseluruhan.

Ketiga, pembangunan IKN seyogianya menggunakan modal sendiri dari APBN karena kita yang punya ibukota, bukan mengharapkan investor asing yang tentu berisiko terhadap persoalan kerahasiaan negara, strategi keamanan dan masa depan bangsa. Kalaupun mengharapkan investor asing, hanya sekadar pelengkap saja. Persoalannya, APBN kita lebih diharapkan untuk menyejahterakan rakyat banyak, bukan untuk pembangunan infrastruktur besar seperti IKN, yang dapat berakibat kesejahteraan rakyat terpinggirkan. Masih banyak infrastruktur di berbagai daerah yang terbengkalai dan butuh penanganan segera.

Baca Juga :  HARTA

Zulfikar lebih setuju dana besar digunakan untuk membangun kota-kota lain yang sama-sama butuh pengembangan. Apabila kota-kota lain berkembang pesat, maka akan terjadi kemajuan dan pemerataan, di segi penduduknya, infrastrukturnya maupun kesejahteraannya. Penduduk dari Jawa akan banyak pergi ke Kalimantan misalnya, dan penduduk yang ada di Kalimantan bisa bertahan di banuanya, baik untuk berusaha, bersekolah, berobat, berbelanja, rekreasi dan segala macam. Kalau IKN terlalu diakselerasi pembangunannya, apalagi kalau didanai investor, ia khawatir terjadi kesenjangan dengan kota-kota yang ada di Kalimantan sendiri, sehingga IKN menjadi elit, mahal dan tidak terjangkau untuk rakyat kebanyakan.

Ia menyarankan IKN dibangun secara perlahan, dengan menyontoh beberapa negara besar dunia, seperti AS yang membangun Washington DC dalam waktu 50-an tahun setelah New York, Australia yang membangun Canberra setelah Sydney dalam waktu yang relatif sama, dan banyak contoh lagi. Kalau hal-hal mendasar kurang diperhatikan, akan terjadi risiko bangunan mangkrak atau kegagalan membangun ibukota baru. Risiko begini sudah dialami beberapa negara, yang bukan saja karena krisis pendanaan, tetapi juga warga ibukota terdahulu enggan pindah.

Warisan Pemerintahan

Setiap kepala negara yang berkuasa relatif lama mungkin menginginkan ada legacy (warisan) monumental yang bisa dinikmati generasi kemudian. Karena itu mereka berusaha merealisasikannya, meskipun terjadi kontroversi terhadapnya. Presiden Soekarno dulu membangun Monumen Nasional (Monas) dan Masjid Istiqlal dalam waktu yang hampir bersamaan. Namun karena krisis ekonomi, politik dan kontroversi, Soekarno harus memilih yang prioritas. Meski banyak dikritik sebagai proyek mercusuar, Soekarno ternyata memilih menyelesaikan Monas lebih dahulu, sedangkan Istiqlal dibiarkan mangkrak. Bukan berarti Soekarno tidak taat beragama, tetapi alasannya, kalau tak diselesaikan, presiden sepeninggalnya belum tentu mau menyelesaikan Monas, sedangkan kalau masjid pasti ada yang melanjutkan. Benar saja kemudian, Monas berhasil diselesaikan oleh Soekarno hingga melengkapi bongkahan emas di puncaknya, sedangkan Masjid Istiqlal sempat mangkrak dan baru dilanjutkan dan diselesaikan oleh Presiden Soeharto.

Presiden Seoharto juga demikian, di saat ekonomi negara belum begitu baik di era 1970-an, beliau bersama Ibu Tien membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Banyak sekali yang mengritik saat itu, kecuali beberapa saja yang mendukung seperti Gubernur DKI Jakarta (1967-1977) Ali Sadikin. Belakangan orang pun mengakui penting dan tingginya nilai TMII, tidak saja sebagai destinasi wisata di ibukota, tetapi juga sebagai penanda NKRI yang sangat kaya dengan budaya namun tetap Bhinneka Tunggal Ika.

Baca Juga :  Mercusuar dari Palestina yang Terlupakan

Mungkin Presiden Jokowi juga ingin menjadikan IKN sebagai legacy pemerintahannya. Sayang sekali program ini direalisasikan di ujung kekuasaannya yang tinggal menghitung bulan. Sehingga banyak kalangan ragu, apakah proyek besar ini bisa dilanjutkan sesuai rencana atau harus tertatih-tatih penyelesaiannya. Tetapi sebenarnya proyek apapun akan berlanjut asal sesuai kebutuhan rakyat. IKN memang dibutuhkan, namun lebih dalam jangka panjang, karena itu pembangunannya tidak perlu tergesa-gesa sehingga terkesan kejar tayang. Segala sesuatunya perlu dipersiapkan dan diperhitungkan secara matang, baik infrastruktur fisik, sosial, budaya, ekonomi, bahkan juga dukungan politiknya. Ketika dilaksanakan Seminar Nasional Aruh Ganal Kerukunan Keluarga Banjar Se-Asia Tenggara 2020 di Hotel Mesra International dan GOR Segiri Samarinda, masalah ini juga telah dibicarakan oleh beberapa narasumber seperti HM Roesli Masroen (owner Hotel Mesra), Prof Dr Abdul Rahim (akademisi Universitas Mulawarman), Dr Ir Fazlur Rahman SH MH (Jubir Kepresidenan dan kini Dubes RI di Kazachstan), Dr Abdurrahman Fachir (Dubes RI di Mesir), Ir Ismunandar MT (Bupati Kutai Timur), penulis mewakili Sultan Banjar dan lain-lain. Ketika itu dipertanyakan dan karenanya menjadi tantangan kesiapan orang-orang Banjar, Dayak, Kutai, Bugis dan lainnya agar mampu mengambil peran signifikan di ibukota yang berada di daerah mereka sendiri.

Terkait dengan pemindahan ibukota ini, tentu juga harus dilakukan kalkulasi dan antisipasi kemampuan pertahanan dan keamanan negara dari rongrongan pihak asing, mengingat ibukota sangat vital dan biasanya akan menjadi sasaran utama ketika terjadi sesuatu terhadap suatu negara dan dunia global.

Terlepas dari kontroversi tentang IKN, yang jelas bersama pembangunan IKN diharapkan dalam waktu yang sama kota-kota lain juga dikembangkan sehingga bisa bertambah besar dan maju pesat. Dengan begitu semua kota beroleh perhatian dan dukungan yang sama dari pemerintah pusat untuk bergerak maju. Di sinilah letak prinsip pemerataan pembangunan dan kesejahteraan yang sebenarnya. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan