Oleh : Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Kounikasi MUI Kalsel
Indonesia sering dipuji dunia internasional sebagai negara-bangsa yang berhasil mewujudkan kerukunan umat beragama. Agama-agama eksis dan tumbuh kembang secara sehat, umatnya moderat, bergaul harmonis dan toleran. Pujian ini sebenarnya belum begitu tepat, sebab kerukunan umat beragama belum merata, bahkan terkesan semu dan formal. Masih terjadi pembakaran atau pengrusakan tempat ibadah umat Islam seperti pernah terjadi di Tolikara Papua, tempat ibadah umat Kristen di Aceh Sinkil, adanya penodaan agama dan sebagainya. Ada pula percobaan pengrusakan mushalla, penusukan imam shalat dan ulama, dan sebagainya
Beberapa tempat, Misa Natal di gereja dijaga Banser Ansor NU, bahkan juga kepolisian bersenjata, lengkap dengan water canon, metal detector, sniper, anjing pelacak dan sebagainya. Seolah ada bahaya dan kerusuhan di tempat ibadah yang sejatinya steril dan penuh nuansa damai. Antisipasi bisa saja, tetapi ini tidak ideal. Kerukunan umat beragama baru dikatakan alami dan sehat, jika semua pemeluk agama bebas menjalankan ibadah agama dengan penuh ketenangan, kedamaian, kekhusyuan. Jauh dari rasa khawatir dan takut terhadap ancaman pihak mana pun dan bentuk apa pun.
Kehadiran agama-agama di Nusantara-Indonesia sudah sangat lama, 500-1.000 tahun lebih. Seharusnya kerukunan yang terbangun benar-benar sehat dan matang. Ketika kerukunan belum terwujud optimal, tentu ada yang keliru dan seharusnya diperbaiki. Para pihak harus berani melakukan otokritik terhadap diri dan golongan sendiri. Presiden Joko Widodo dalam pidato perayaan Natal Nasional di Kupang NTT beberapa tahun lalu mengatakan, pendiri bangsa sudah menetapkan Indonesia satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa, bukan satu agama. Jadi, saling berbagi, memahami dan menerima satu sama lain tidak bisa ditawar lagi.
Perbandingan Agama
Banyak penyebab kerukunan umat beragama agak semu, diantaranya penghayatan terhadap ajaran agama sendiri dan agama lain masih kurang. Padahal jika umat beragama benar-benar mengetahui dan menghayati ajaran agamanya, otomatis kerukunan dengan agama lain terwujud. Umat Islam misalnya, sekiranya mengamalkan ajaran Alquran surah al-Baqarah: 256 tentang tidak adanya paksaan dalam beragama, Yunus: 99 tentang keanekaragaman agama di dunia, al-Kafirun: ayat 1-6 tentang eksistensi setiap agama tanpa mencampuradukkan ajarannya, atau surah-surah lain yang menekankan agar umat Islam tidak menghina agama lain, bahwa Islam dengan Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) bersaudara dan sebagainya, itu saja sudah lebih dari cukup untuk mewujudkan kerukunan sejati.
Apalagi jika umat Islam mau membuka diri untuk mempelajari dan aktif bergaul dengan penganut agama lain sebagaimana dicontohkan Nabi, maka kerukunan akan lebih mantap lagi. Rasulullah SAW saat di Madinah menyuruh sahabatnya mempelajari agama dan bahasa Ibrani agar mudah bergaul dan berkomunikasi dengan orang Yahudi. Beliau sendiri sampai wafatnya masih menggadaikan baju besinya kepada tetangganya yang Yahudi. Mufasir Ahmad Musthafa al-Maraghi juga menekankan agar umat Islam, terlebih para ulama dan dai mau mempelajari agama, sekte dan bahasa agama dan golongan lain, sehingga komunikasi lancar.
Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH Ali Musthafa Ya’qub MA (alm) ketika berdialog dengan Jerry Sumampauw dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) mengatakan, kerukunan umat beragama sebenarnya sudah dicontohkan Rasulullah saw. Bahkan beliau juga membentuk Piagam Medinah di mana umat Islam, Nasrani, Yahudi dan Paganis disatukan dalam kerukunan, berkoalisi untuk menjaga perdamaian dan sekaligus membela Negara Madinah dari serangan pihak luar. Hal ini menurut Kyai Ali juga dapat dijadikan sandaran ajaran nasionalisme dalam Islam.
Mengingat pentingnya, para tokoh pendidikan Islam masa lalu mendirikan Fakultas Ushuluddin di lingkungan IAIN, yang salah satu jurusannya adalah Ilmu Perbandingan Agama (IPA). Dengan mempelajari perbandingan agama (muqaranah al-adyan), misalnya agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu, wawasan mahasiswa menjadi luas. Menurut Drs H Abdurrahman Jafri MAg, dosen mata kuliah IPA di Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari, semua mahasiswa dan sarjana jurusan ini mampu menjadi muslim moderat dan inklusif.
Hal sama dilakukan Sekolah Tinggi Teologia Banjarmasin. Sejak puluhan tahun silam mendatangkan dosen tamu dari IAIN Antasari, seperti alm Noordiansyah dan Abdurrahman Jafri untuk mengajar mata kuliah studi Islam. Terbukti dengan saling belajar agama lain, dosen dan mahasiswa dapat saling menghormati dan menghargai. Ketika hidup di masyarakat dipastikan menjadi warga yang toleran. Sayang mata kuliah ini kurang diajarkan di fakultas-fakultas lain, apalagi di perguruan tinggi (PT) umum.
Keengganan mengetahui ajaran agama lain secara benar, rentan menimbulkan sikap eksklusif dan subjektif. Mudah melakukan truth claim (klaim kebenaran) dan menyalahkan agama lain. Jerry Sumampauw mengakui sewaktu kecil, karena berasal dari desa yang 100 persen Kristen, sempat tertutup dalam memahami dan bergaul dengan penganut agama lain. Tetapi setelah kuliah di PT Teologi dan banyak bergaul lintas agama, ia semakin memahami kedudukan agama-agama lain. Perang Salib yang menggunakan simbol agama, baginya sempat menimbulkan trauma dan dipahami sebagai konflik agama, tetapi setelah dipelajari lebih jauh, ternyata bukan perang agama, melainkan perang politik dan ekonomi. Ke depan pihaknya mengupayakan sikap yang lebih inklusif dan terbuka. Sikap begini perlu kita apresiasi dan wujudkan bersama.
Masih Alot
Tidak mudah mengajak ulama dan umat untuk mau mengubah cara pandang. Melalui sebuah seminar lintas agama, penulis pernah melemparkan wacana agar kita mau mempelajari agama-agama lain, meskipun serba sedikit. Namun ternyata masih ada yang menolak. Seorang ustadz mengatakan, jangankan mempelajari agama lain, agama sendiri saja belum habis dipelajari. Jawaban begini seolah benar, padahal keliru. Sampai mati pun kita tidak akan habis mengkaji agama sendiri, karena memang agama memiliki ajaran yang luas dan dalam, makin dipelajari makin dalam, makin diarungi makin luas.
Di kalangan umat lain ternyata juga demikian. Masih banyak yang mematikan televisi ketika siaran agama lain, padahal tidak salahnya kita ikuti, dengarkan dan apresiasi. Dari situ kita beroleh pengetahuan bahwa dalam agama-agama terdapat persamaan terutama dari sisi moral dan etika sosial di samping perbedaan di segi akidah dan ibadah. Dalam konteks kerukunan, persamaan itulah yang kita tonjolkan, bukan perbedaannya. Selama kita menutup diri, selama itu pula ada potensi konflik SARA ketika ada pemicunya.
Mempelajari perbandingan agama, sama pentingnya dengan belajar ilmu perbandingan mazhab (muqaranah al-mazahib) dalam ranah fiqih. Mengapa selama ini umat Islam terkotak-kotak dalam banyak mazhab dan aliran agama, lalu merasa benar sendiri dan menyalahkan mazhab lain, semua itu juga karena tidak pernah mau mempelajari mazhab dan aliran lain. Mengapa ada seseorang gampang sekali menghakimi dan menyalahkan pendapat lain, itu karena ia tak mau membuka diri, dan hanya fanatik dengan satu ulama atau aliran yang dianutnya saja. Sekiranya kita mau membuka diri, sudah lama kita umat Islam mampu bersatu, sehingga lebih kuat dan solid, yang pada gilirannya mampu fokus membangun kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Kita tidak perlu lagi mempersoalkan masalah furuiyah-khilafiyah yang tidak habis-habisnya, karena energi kita seharusnya lebih difokuskan untuk mengatasi masalah-masalah besar yang menghadang. Wallahu a’lam.