Oleh : Saadah
Pendidik dan Pemerhati Sosial
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Kalimantan Selatan Adi Santoso menjelaskan, untuk kasus KDRT pada 2023 meningkat dibandingkan 2022. “Dari 678 korban tersebut menimpa anak dan perempuan terdiri dari korban laki laki sebanyak 148 orang dan perempuan sebanyak 531 orang,” jelas Adi. (https://abdipersadafm.co.id, /2024/01/09)
Untuk daerah tertinggi kejadian KDRT di Provinsi Kalimantan Selatan berada di Kota Banjarmasin. Kemudian disusul Kota Banjarbaru di urutan kedua, serta Kabupaten Tanah Laut (Tala) berada di urutan ketiga. (https://www.sonora.id)
Tindakan KDRT, seperti memukul, menampar, dan sebagainya, biasanya diawali pertengkaran yang dipicu banyak hal, misalnya masalah ekonomi, hubungan suami istri yang tidak harmonis, adanya orang ketiga, dan lainnya. (https://abdipersadafm.co.id, /2024/01/09)
Kalangan feminis menganggap bahwa KDRT dapat terjadi karena adanya diskriminasi terhadap perempuan dan adanya paham patriaki. Patriarki sendiri adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan dominasi para laki-laki tidak hanya mencakup ranah personal, melainkan juga ranah yang lebih luas lagi, seperti pendidikan, ekonomi, partisipasi politik, sosial, hukum, dan lainnya. (Wikipedia).
Setelah mendalami faktanya dan memahami maksud dari budaya patriarki, dapat menyimpulkan bahwa klaim bahwa budaya patriarki adalah akar masalah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, sesungguhnya hanyalah asumsi. Ini karena faktanya tidaklah demikian. Kasus kekerasan yang terjadi tidak melulu menimpa ibu rumah tangga biasa yang tidak berpenghasilan, melainkan juga dialami istri yang bekerja. Kasus pembunuhan suami terhadap istrinya di Cikarang Barat baru-baru ini menjadi bukti tidak terbantahkan. Dari satu fakta ini saja, sesungguhnya pendapat tadi sudah bisa terpatahkan.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) juga melaporkan bahwa sebagian besar pelaku kekerasan adalah suami (56,3 persen), diakibatkan karena perselingkuhan, suami cemburu, suami mabuk, masalah pekerjaan, impitan pekerjaan yang dialami suami atau istri, juga pemicu lainnya. Fakta-fakta ini makin menguatkan bahwa akar masalah KDRT bukanlah budaya patriarki.
Jika menelusuri secara mendalam, kekerasan yang terjadi pada perempuan, baik di rumah tangga, tempat kerja, atau di mana pun, sebenarnya muncul karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik oleh negara, masyarakat, maupun keluarga dan tidak adanya pemahaman yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga.
Kemudian muncul dan berkembangnya sistem sekuler kapitalisme di tengah umat mengakibatkan kaum muslim kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya. Akhirnya, posisi Islam yang seharusnya menjadi acuan atau landasan berpikir dan bertingkah laku, digantikan oleh pemikiran kapitalisme yang corak kehidupannya hanya mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan yang semu, tidak memiliki nilai dan tolok ukur yang jelas dan baku sebagai pijakan untuk menilai sesuatu dan perbuatan.
Kalau saja kaum muslim mau menengok kepada Islam dan memahaminya, sebenarnya Islam telah memberikan jawaban tuntas terhadap permasalahan apa pun, termasuk permasalahan kekerasan terhadap perempuan.
Syariat Islam sangat menjaga kehormatan perempuan yang tampak dari beberapa aturannya. Salah satunya adanya keharusan meminta izin ketika memasuki kehidupan khusus orang lain agar aurat perempuan—yang di dalamnya diperbolehkan melepas jilbab—tidak terlihat oleh laki-laki nonmahram (lihat QS An-Nur: 27).
Lebih dari itu, Islam memosisikan keamanan sebagai salah satu kebutuhan pokok umat, sebagaimana sabda Rasulullah SAWw., “Barang siapa yang bangun pada pagi hari merasa aman di sekitarnya, sehat badannya, dan mempunyai makanan (pokok) hari itu, seolah-olah ia telah memiliki dunia seisinya.” Artinya, keamanan adalah kebutuhan pokok rakyat. Oleh karenanya, negara wajib menjaga keamanan seluruh rakyatnya, laki-laki maupun perempuan, tanpa diskriminasi.
Telah jelas, Islam menetapkan bahwa “terjaganya kehormatan perempuan” bukan hanya tanggung jawab individu dan keluarganya, melainkan juga masyarakat dan negara memiliki andil besar. Penyelesaian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan hanya akan bisa terwujud dengan tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan suatu sistem yang terpadu yang dilaksanakan oleh negara sebagai pelaksana dari aturan Allah Taala.
Pilar pertama, membentuk individu muslim yang takwa, berkepribadian Islam yang unggul, serta iman, pemikiran, dan jiwa Islamnya kuat. Halal dan haram menjadi standar hidupnya.
Dengan bekal takwanya, seorang muslimah akan menjalankan perannya sebagai ummun wa rabbatul bait, taat pada suami, melayani suami dan anak-anaknya dengan baik, memakai pakaian sempurna, tidak membiarkan laki-laki asing masuk ke rumahnya, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki, sebagai suami akan melaksanakan kewajibannya sebagai pencari nafkah keluarga, melindungi anak dan istri dengan baik, bergaul secara makruf terhadap keluarganya. Alhasil, terjadi kehidupan rumah tangga yang harmonis dan jauh dari kekerasan.
Pilar kedua, kontrol masyarakat. Islam sangat memperhatikan pentingnya hidup berjemaah dan menjaga kesehatan jemaah dengan amar makruf nahi mungkar. Amar makruf yang dilakukan secara menyeluruh, baik di keluarga, lingkungan kaum muslim, organisasi dan jemaah dakwah, serta media-media massa, akan membentuk kesadaran umum di masyarakat bahwa yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya secara mutlak harus dijauhi, semata-mata karena keimanan dan ketakwaan kepada-Nya.
Pilar ketiga, penerapan hukum Islam oleh negara. Negara adalah pelindung warga negaranya, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa. Negaralah yang menjamin terpenuhinya hak-hak warga negaranya berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masyarakat maupun keluarga, termasuk jaminan keamanan masyarakat.
Islam pun memandang bahwa tindakan kekerasan terhadap siapa pun, baik kepada laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau orang dewasa, termasuk tindak kriminal (jarimah) dan pelakunya harus diberi sanksi sesuai kejahatan yang dilakukannya.
Sangat gamblang bahwa akar masalah maraknya KDRT bukanlah budaya patriarki, melainkan sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang kuat mencengkeram negeri. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan aturan buatan manusia yang serba lemah sebagai pijakannya sehingga kenestapaanlah yang akan melanda umat. Hanya dengan Islam permasalahan umat manusia akan terselesaikan tuntas sebab Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dengan tuntas.