Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
Polusi udara di Ibu kota (Jakarta) kian memprihatinkan. Kondisi ini memantik banyak pihak untuk mengkaji sebab hingga solusi atas hal ini. Di antara sebab polusi udara yang disebutkan antara lain adanya 16 PLTU yang beroperasi tidak jauh dari wilayah Ibu kota, 10 PLTU di Banten dan 6 PLTU di Jabar. Di sisi lain, asap kendaraan juga turut andil menyebabkan polusi udara. Demikian juga asap hasil pembakaran tumpukan sampah yang memperparah udara Ibu kota.
Aktivitas perekonomian yang masif sebagai jantung pemerintahan, jelas berdampak pada lingkungan Ibu kota. Sementara itu, dikutip dari Tempo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengambil langkah tegas dengan menghentikan kegiatan empat perusahaan yang terindikasi menyebabkan polusi udara di wilayah Jabodetabek. Pertengahan 2019, pemerintah pusat pernah memutuskan beberapa langkah untuk meredam buruknya udara Ibu kota.
Salah satunya adalah modifikasi cuaca dengan membuat hujan buatan. Sayang, solusi ini ibarat obat penenang karena problem polusi udara di Ibu kota malah kian mengkhawatirkan. Ya, polusi udara telah menjadi masalah serius Ibu kota. Berdasarkan data IQAir, Jakarta menempati peringkat kedua dunia untuk kota dengan polusi udara tinggi (AQI) dengan Indeks Kualitas Udara 158 yang berarti kualitas udaranya tidak sehat. Jauh sebelumnya, sudah banyak pihak yang mengkhawatirkan hal ini.
Belakangan, pemerintah menyerukan beberapa skenario, seperti kebijakan work from home bagi ASN, melakukan tilang uji emisi, hingga mengevaluasi operasi ratusan industri yang beroperasi di sekitar Ibu kota. Salah satu kebijakan yang juga masih terus digenjot pemerintah adalah pengalihan penggunaan energi fosil (batu bara) ke energi terbarukan. Hal ini tertuang dalam kebijakan pemerintah berupa Perpres 12/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Jika sampai masyarakat menggugat pemerintah, ini mengindikasikan tingkat keparahan polusi udara sudah mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari dampak kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan. Contohnya, eksploitasi batu bara sebagai pembangkit listrik. Berdasarkan penelitian, emisi yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara serta pabrik pengolahan yang menggunakan batu bara untuk membuat minyak sawit menyumbang 5—31% dari total polusi PM2.5, dengan rata-rata kontribusi sebesar 9%.
Badan Lingkungan Hidup mengakui adanya kontribusi besar transportasi pribadi terhadap polusi udara di Jakarta. Putusan pengadilan yang “menghukum” tergugat sungguh belum menunjukkan keseriusan pemerintah menyelesaikan persoalan polusi. Rakyat sejatinya belum sepenuhnya memenangkan gugatan tersebut. Yang terjadi adalah kelalaian dan pengabaian penguasa dalam amanah yang diberikan.
Dalam pandangan kapitalisme, memperoleh keuntungan dari proyek strategis adalah harga mati. Seberapa besar upaya mewujudkan proyek strategis, sebanyak itulah keuntungan yang ingin mereka dapatkan dari proyek tersebut. Bagi kapitalisme, meski berisiko dan berbahaya, hal tersebut bukanlah hambatan. Bahkan, mereka bisa menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan yang dikehendaki.
President Director Indo Raya Tenaga Peter Wijaya mengatakan PLTU Jawa 9 dan 10 menginisiasikan penggunaan amonia hijau dan hidrogen hijau dalam upaya mendukung kebijakan net zero emission. Jika pembangunan PLTU dirancang dengan konsep “ramah lingkungan”, tentu membutuhkan dana besar. Sekadar diketahui, amonia hijau dan hidrogen hijau adalah bahan bakar yang tidak menghasilkan emisi karbon dalam proses produksi dan penggunaannya.
Penggunaan keduanya merupakan salah satu solusi transisi energi yang sudah mulai diadaptasi oleh negara-negara maju untuk bahan bakar pembangkit listrik dan kendaraan bertenaga Listrik. Jelas hal ini sangat berpeluang menarik pemodal atau investor untuk merealisasikan proyek ini. Imbasnya, PLTU hanya akan menjadi target komersialisasi listrik. Proyek jadi, rakyat disuruh beli jika ingin menikmati hasilnya.
Sebagaimana proyek-proyek lainnya, nasib PLTU yang mendapat kecaman aktivis lingkungan dan penentangan masyarakat, tidak lebih dari wujud keserakahan para kapitalis yang mengabaikan dampak buruk terhadap lingkungan. Pembangunan infrastruktur publik seperti pembangkit listrik tidak boleh menelan korban. Fokus negara seharusnya pada aspek terpenuhinya pendistribusian instalasi listrik di semua daerah hingga daerah yang sulit terjangkau listrik.
Terhadap wilayah yang tidak ada instalasi listrik, negara bisa membangun pembangkitnya sesuai kebutuhan masyarakat. Bukan malah memaksakan kehendak dengan membangun PLTU pada daerah yang memiliki kelebihan pasokan daya listrik. Dengan demikian, sangat penting untuk memosisikan fungsi penanggulangan polusi udara sebagai wujud pemeliharaan karunia-Nya. Allah SWT berfirman, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(29) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 29—30)
Menjaga kebersihan udara sebagaimana perintah Allah adalah amanah/mandat penciptaan. Tidak semestinya Indonesia merana terdampak polusi udara akibat eksploitasi besar-besaran kapitalisme. Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Ruum: 41)
Dalam hal ini, penguasa memang harus berperan aktif sebagai pengayom dan pengatur urusan umat. Rasulullah SAW bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Langkah strategis yang bisa dilakukan untuk mengatasi polusi udara tentunya berlepas diri dari konvensi-konvensi internasional. Indonesia harus punya sikap politik mandiri. Kepedulian kapitalisme terhadap lingkungan toh kamuflase penjajahan ekonomi bagi negeri kita ini. Di samping itu, penting untuk menyeimbangkan faktor industrialisasi dengan konversi lahan agar tidak menyebabkan kerusakan hutan besar-besaran. Urgen sekali menjaga hutan sehingga tetap pada fungsinya sebagai paru-paru dunia. Berikutnya, tidak semestinya menyerahkan lahan sumber daya alam milik publik kepada kapitalis swasta yang hanya fokus pada profit.
Buruknya kualitas udara telah terbukti sebagai dampak penjajahan ekonomi kapitalisme. Konferensi-konferensi internasional bidang lingkungan pun ajang kapitalisme untuk menjadi pahlawan kesiangan. Seolah berkontribusi positif pada dunia, padahal borok yang mereka buat jauh lebih buruk dan busuk. Jangan biarkan rakyat makin merana. Kebijakan politik negeri muslim terbesar di dunia ini tidak boleh membebek pada tawaran kapitalisme karena pasti membawa kemudaratan.
Oleh karena itu, telah jelas bahwa akar persoalan polusi udara yang tidak kunjung usai ini, sejatinya lahir dari kebijakan yang kapitalistik. Kebijakan ini hanya akan mengakomodasi segelintir elite dengan negara hanya sebagai fasilitator. Berbeda secara diametral dengan sistem Islam yang menjadikan penguasa sebagai pihak sentral dalam mengurusi umat, termasuk penyelesaian polusi.
Negara akan memiliki regulasi yang pro rakyat dan dengan tegas memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar. Kebijakan yang pro rakyat ini ditandai dengan larangan penguasaan harta milik umum oleh swasta sebab harta tersebut milik rakyat. Negaralah yang akan mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Penguasanya tidak akan takut kepada selain Allah SWT karena rida-Nya adalah satu-satunya motivasi dalam memegang amanah mengurusi umat.
Umat bersama penguasa akan bahu-membahu membangun kehidupan yang bersih dan bebas polusi. Ini karena Allah SWT memerintahkan umatnya untuk senantiasa menjaga lingkungannya tempat ia hidup. Dengan begitu, ia akan mampu menjalankan amanahnya di bumi ini, yaitu beribadah kepada Allah Taala.