Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

STRES DALAM KELUARGA

×

STRES DALAM KELUARGA

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
AHMAD BARJIE B

Oleh : AHMAD BARJIE B

Sekitar 25 tahun lalu, sebuah mingguan ibukota edisi 10 Januari 1998 menyebut tahun 1997 (kala itu terjadi krisis ekonomi moneter di dunia dan awal gerakan reformasi di Indonesia) sebagai tahun stres bagi orang-orang Asia, termasuk Indonesia. Pernyataan ini mengacu kepada hasil penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hongkong yang dilakukan September-Oktober 1997. Dari daftar berskala 0-10 disebutkan tingkat stress orang Vietnam 8,5, Korea Selatan 8,2, Thailand 7,8, Indonesia, Cina, Hongkong, Jepang, Filipina dan Singapura 6,7 sementara Malaysia 5,6 dan Taiwan 5,5.

Baca Koran

Meskipun banyak faktor penyebab stres, namun PERC menyebutkan masalah ekonomi/keuangan sebagai faktor utama. Hal ini dibenarkan pula oleh pakar psikologi Prof Dr dr Dadang Hawari (alm). Ia melihat salah satu stressor psikososial yang menonjol adalah krsis ekonomi atau keuangan dan kelangkaan pekerjaan yang melanda Indonesia.

Jauh sebelumnya, seorang pakar ekonomi Gunnar Myrdal menyatakan, the problem of Asia is the problem of a rice bowl (problema orang Asia adalah problema sepiring nasi). Maksudnya, ketika suatu masalah menimpa bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia, maka masalah tersebut hampir tidak terpisahkan dari urusan perut, urusan makan/pangan atau ekonomi. Hal ini terutama di kalangan masyarakat kelas menengah bawah. Para PNS yang gajinya tidak seberapa besar mengeluh gajinya tidak kunjung cukup untuk dimakan sebulan. Yang swasta mengeluh karena penghasilannya menurun, lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan. Para pedagang mengeluh dagangannya kurang laku, biaya produksi lebih besar dan berakibat ekonomi biaya tinggi dan daya beli konsumen rendah. Yang bekerja serabutan dan pengangguran lebih lagi, dapur keluarganya antara berasap dan tidak.

Memang di banyak kota dan daerah penderita stress menunjukkan angka yang meningkat. Kalau pascapemilu banyak orang yang stres karena tidak terpilih dalam lembaga legislatif atau eksekutif padahal sekian banyak dana sudah dikeluarkan, dalam banyak kondisi stress justru dipicu oleh masalah ekonomi.

Baca Juga :  Hijrahnya Pustakawan

Di Banjarmasin, menurut Direktur Rumah Sakit Jiwa era tersebut (1998) Dr H Yulizatr Darwis, pasien yang berobat jalan dalam sehari mencapai mencapai 15-20 orang. Lebih separoh dari mereka itu mengalami distress, terganggu akibat stres yang dipicu masalah ekonomi keluarga.

Sekarang ini, setelah 25 tahun berlalu, agaknya stress karena faktor ekonomi kembali banyak terjadi. Hal ini menimpa keluarga kelas ekonomi menengah bawah, yang bukan PNS, dan kepala keluarganya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keluarga secara mencukupi. Bahkan dalam kondisi sekarang, suami istri bekerja pun belum menjamin nafkah keluarga terjamin, karena harga-harga sembako dan biaya hidup semakin sulit terjangkau.

Sebenarnya, pemicu stress tak hanya ekonomi. Seorang pakar psikologi Amerika Thomas Holmes menyebut adanya 100 penyebab stress, yang diurutnya dalam ranking tertinggi hingga rendah. Ia mengatakan sebagian besar pemicu stres bukan berasal dari kondisi bangsa atau negara dalam skala makro, melainkan keadaan keluarga dalam skala mikro. Menurutnya, ranking tertinggi pemicu stress adalah kematian anggota keluarga yang dicintai, misalnya kematian anak, ibu, ayah, istri/suami, saudara atau keluarga dekat lainnya. Lebih-lebih jika kematian tersebut secara tidak wajar, seperti kecelakaan transportasi darat, laut, udara dan sejenisnya, sakit mendadak dan hal-hal lain yang tak terduga. Jika suatu keluarga mengalaminya, hampir pasti menimbulkan stress. Kecuali jika kematian itu relatif diinginkan, seperti anggota keluarga yang sudah lama sakit dan sulit merawatnya, atau yang mati tidak disenangi dalam keluarga, maka bisa saja kematian disambut dengan lega.

Selanjutnya, kecelakaan dan penyakit dalam keluarga juga memicu stress, tak saja bagi si sakit/korban, tetapi juga anggota keluarga lainnya, semuanya menjadi tegang dan distres. Stress tak saja terkait dengan sulitnya upaya penyembuhan, tapi juga karena terkurasnya dana keluarga untuk berobat.

Baca Juga :  Ekologi Emosional, Ketika Merawat Bumi Sama dengan Merawat Diri Sendiri

Kemudian, pindah rumah dalam kondisi yang tidak menyenangkan, misalnya pindah dari rumah yang lapang/besar/bagus ke rumah yang sebaliknya; kecil/sempit, jelek dan kumuh. Pindah tugas dan kerja dari kota besar ke kota kecil juga bisa memicu stress. Apakah nanti kalau IKN Nusantara di Kaltim sudah jadi sehingga banyak PNS dan pekerja harus pindah ke sana juga berkaibat stres, kita lihat saja nanti. Yang jelas banyak orang sudah merasa nyaman hidup dan tinggal di Jakarta.

Pindah kediaman karena tuntutan tugas/kerja juga dapat memicu stress, terutama di masa-masa awal ketika adaptasi dengan lingkungan belum terbangun. Mutasi bagi pegawai negeri, atau karyawan ke tempat tugas dan atau daerah yang kurang disenangi juga dapat menimbulkan stress. Kehilangan pekerjaan/PHK atau dipecat juga acapkali mengakibatkan stress. Selanjutnya kemacetan lalu lintas, antri yang terlalu lama dan kesulitan memperoleh kebutuhan pokok seperti sembako, BBM dan sejenisnya juga dapat membuat orang stress.

Tampak bahwa sebagian besar penyebab stres terkait dengan suasana dan kehidupan dalam keluarga dan sekitarnya, bukan karena faktor negara.

Iklan
Iklan