Seiring berjalannya waktu, perubahan tak terhindari dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satunya adalah pergeseran tradisi dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kearifan lokal, khususnya saat bulan Ramadan. Generasi Z, sebagai generasi yang lahir dan tumbuh dalam era digital, memiliki cara pandang dan persepsi yang berbeda tentang nilai-nilai lama tersebut.
Kearifan lokal dalam konteks bulan Ramadan, seperti gotong royong mempersiapkan sahur dan buka puasa bersama, saling berbagi takjil, dan lain sebagainya, mulai luntur seiring dengan semakin individualisnya gaya hidup generasi Z. Bukan berarti generasi Z tidak menghargai nilai-nilai tersebut, tetapi lebih karena perubahan gaya hidup yang lebih dinamis dan mobilitas tinggi membuat interaksi langsung seringkali tergantikan oleh interaksi digital.
Dalam konteks ini, pemikiran Socrates, tokoh filsafat Yunani Kuno, bisa memberi pencerahan. Socrates meyakini pentingnya pendidikan sebagai proses mencari kebenaran dan memahami nilai-nilai moral.
Sebagai generasi yang berada di frontliner perubahan, generasi Z membutuhkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai kearifan lokal, bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai bagian dari identitas dan keberlanjutan masyarakat.
Tantangannya adalah bagaimana merumuskan dan menyampaikan nilai-nilai tersebut dalam bahasa dan medium yang relevan bagi generasi Z.
Mengingat generasi Z adalah generasi digital, pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi dan media digital untuk memperkenalkan dan menjaga kearifan lokal tersebut.
Misalnya, melalui konten-konten yang menarik di media sosial, podcast, atau platform digital lainnya yang banyak digunakan oleh generasi Z. Konten tersebut dapat berisi tentang cerita, makna, dan filosofi di balik setiap kegiatan atau tradisi di bulan Ramadan, sehingga generasi Z tidak hanya memahami, tetapi juga dapat merasakan esensi dari kearifan lokal tersebut.
Selain itu, ada juga potensi untuk menggabungkan tradisi lama dengan inovasi baru. Misalnya, gotong royong mempersiapkan sahur dan buka puasa bersama bisa diadaptasi menjadi virtual cooking session atau virtual buka puasa bersama. Dengan begitu, nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong tetap bisa dijaga meski dalam format yang berbeda.
Menurut filsuf Jerman, Hegel, perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah dan perkembangan manusia. Dalam konteks ini, perubahan bukan berarti penghancuran, tetapi bisa menjadi peluang untuk pembaruan dan penyesuaian dengan kebutuhan zaman. Kearifan lokal bukanlah sesuatu yang statis, tetapi bisa dan harus berkembang sejalan dengan perkembangan zaman.
Transisi dari format tradisional ke format digital dalam menyampaikan kearifan lokal tidak berarti mengurangi esensi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya, format baru ini dapat memperkaya cara penyampaian dan pemahaman terhadap kearifan lokal tersebut. Sebagai contoh, melakukan buka puasa secara virtual tidak mengurangi nilai kebersamaan dan gotong royong, tetapi justru memberikan cara baru untuk mengalami nilai-nilai tersebut.
Kearifan lokal tidak hanya merupakan warisan budaya, tetapi juga bagian integral dari identitas budaya suatu masyarakat. Meski banyak yang berubah seiring berjalannya waktu, kearifan lokal memiliki peran penting dalam mempertahankan dan meregenerasi identitas budaya tersebut. Oleh karena itu, mempertahankan kearifan lokal termasuk di bulan Ramadan adalah upaya penting dalam mempertahankan identitas budaya.
Peran teknologi dalam pelestarian dan penyampaian kearifan lokal di bulan Ramadan merupakan kebaruan dalam konteks ini. Teknologi bukan lagi sekedar alat, melainkan menjadi medium strategis untuk mengkomunikasikan nilai-nilai luhur dan mendekatkan generasi Z dengan akar budaya mereka. Dalam era digital ini, ‘gotong royong’ dan ‘silaturahmi’ mungkin tidak lagi selalu berarti berkumpul secara fisik, tetapi bisa juga berarti berbagi momen, berbagi cerita, dan berbagi makna melalui platform digital.
Penulis ingin menegaskan bahwa pelestarian kearifan lokal adalah tanggung jawab bersama. Generasi Z memiliki peran penting dalam meneruskan nilai-nilai tersebut ke generasi berikutnya, namun mereka membutuhkan bimbingan dan dukungan dari generasi sebelumnya. Oleh karena itu, marilah kita berkolaborasi dan bersinergi dalam melestarikan kearifan lokal, terutama dalam memaknai bulan suci Ramadan.
Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di era digital, generasi Z juga memiliki potensi besar untuk menjadi inovator dalam menciptakan format baru dalam menyampaikan kearifan lokal. Jangan takut untuk bereksperimen dan mencoba hal-hal baru. Ingatlah bahwa perubahan bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi justru merupakan cara untuk menjaga agar masa lalu tetap relevan di masa depan.
Mari kita jadikan Ramadan ini sebagai momentum untuk merenung dan memahami kembali nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal kita. Mari kita jadikan Ramadan ini tidak hanya sebagai bulan puasa, tetapi juga sebagai bulan belajar, berbagi, dan berinovasi.
Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa kearifan lokal akan tetap hidup dan berkembang di hati generasi Z dan generasi-generasi berikutnya.
Untuk menutup, kita kutip kata-kata dari filsuf terkenal, René Descartes, “Cogito, ergo sum” atau dalam bahasa Inggris, “I think, therefore I am.”
Frase ini mengingatkan kita bahwa keberadaan kita tidak hanya ditentukan oleh apa yang kita lakukan, tapi juga oleh apa yang kita pikirkan dan yakini.
Dalam konteks ini, keberlanjutan kearifan lokal bukan hanya terletak pada praktiknya, tetapi juga pada pemahaman dan apresiasi kita terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Mari kita pikirkan, yakini, dan terapkan kearifan lokal kita, karena dengan begitu, kita membuktikan keberadaan dan relevansinya di era digital ini.